Kekuasaan dan Pengetahuan

Kekuasaan: Ragam Perspektif

“Kekuasaan” berasal dari kata dasar “kuasa’, yang diberi afik ke dan sufik an. Kata kekuasaan ini berorientasi pada kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan. [2] Kata “kuasa” juga memiliki arti khusus; (1) kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kekuatan (selain benda atau badan), (2) kewenangan untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu, (3) orang yang diberi kewenangan untuk mengurus (mewakili dan sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatan atau martabatnya. [3]

Arti kekuasaan di atas, menunjukkan bahwa kekuasaan selain menunjuk kepada kata benda (kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan), juga menunjuk kepada arti sifat, yakni benda dan orang yang diberi kewenangan. Dengan demikian, nampak bahwa kata kekuasaan telah mengalami eskalasi dan pluralitas makna. Meski demikian, makna yang terbebntuk selalu berpusar pada tiga pangkal pokok, yaitu pengaruh, kemampuan, dan kemampuan.

“Kekuasaan” adalah istilah yang mempunyai pengertian majemuk dan digunakan oleh berbagai cabang ilmu pengetahuan (kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan media, pengetahuan dan sebagainya) serta dibicarakan dari berbagai sudut pandang.
Dalam kenyataan sosial, kekuasaan biasanya terjalin dalam bentuk hubungan (relationship). Dengan kata lain, ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler dan the ruled). Dalam pola ini tidak ada persamaan martabat, yang satu selalu lebih tinggi dari yang lain dan cenderung melahirkan unsur-unsur pemaksaan. [4]

Dalam konteks politik, kekuasaan juga cenderung diselenggarakan lewat berbagai cara. Jika mengikuti Niccolo Machiavelli, cara apapun yang digunakan tidak menjadi soal, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Tersirat dalam pemikiran Machiavelli adalah diterimanya cara-cara kekerasan dan represi, seperti teror, intimidasi, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan dalam mempertahankan kekuasaan. [5] Tetapi cara Machiavelli yang mengandalkan kekuatan, kekerasan dan mengabaikan aspek moral, tentu bukanlah satu-satunya cara. Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Itali, melihat praktek kuasa abad ini seringkali tidak lagi tampil dengan pedang terhunus dan bunyi dor senapan, melainkan dalam pertarungan ide-ide. Pada titik ini, terget utama adalah bagaimana kelompok yang dikuasai atau masyarakat dapat menerima penguasa atau negara dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Praktek kekuasaan semacam ini disebut dengan “hegemoni”. [6]

Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, mendeterminasikan kekuasaan pada kekuatan intelektual dan moral yang diperagakan secara sensual. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, ia tidak hanya harus memiliki serta menginternalisasikan nilai-nilai dan norma dari sang penguasa, lebih dari itu ia juga harus memberi persetujuan atas subordinasi penguasa.

Dalam tilikan Gramci, peran hegemoni yang dilangsungkan oleh negara – dalam konsep Gramsci dikenal dengan “negara integral” – mencakup paduan kompleks antara dua suprastruktur. Pertama, aparatus koersif, yakni masyarakat politik yang diperankan oleh institusi-institusi legal yang memiliki kekuasaan struktural langsung pada negara, seperti pemerintah, tentara, polisi, pengadilan, birokrasi, dan sebagainya. Kedua, aparatus hegemonik, yaitu masyarakat sipil yang mencakup seluruh transmisi yang lazim disebut “swasta”, seperti media, lembaga pendidikan, agama, dan sebagainya, memiliki peran signifikan dalam membentuk kesadaran masyarakat. [7]


Kekuasaan dan Pengetahuan

Dalam amatan Foucault, kekuasaan yang dimaksud bukan Kekuasaan, dengan “K” besar, yang lazim dipraktekkan pada zaman feodal, abad ke-17 sampai abad ke-19. [8] Foucault juga berlawanan dengan paham Marxis, termasuk Gramsci, yang melihat kekuasaan sebagai satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain. Bagi Foucault kekuasaan tidak terpusat pada satu titik satu sumber otoritas. Karena itu, kekuasaan harus dipahami secara anonim: bukan semacam daya atau kekuatan yang terdapat pada beberapa orang yang bisa dimiliki, dibagi dan dikurangi. Kekuasaan bukan suatu institusi, bukan struktur, bukan pula suatu kekuatan yang bisa dimiliki. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dan kompleks dalam masyarakat. [9]

Dengan demikian, Foucault tidak lagi menyajikan suatu metafisika tentang kuasa, tetapi suatu mikrofisika. Artinya, masalahnay bukan apakah itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu beroperasi dalam suatu bidang tertentu. Berpijak dari pemahaman ini, Foucault menjelaskannya sebagai berikut:

Pertama, kuasa sebagai strategi. Pertama-tama kekuasaan berlangsung tidak melalui kekerasan atau persetujuan (Hobbes, Locke). Kekuasaan juga tidak beroperasi secara represif (Freud, Reich) atau melalui pertarungan kekuatan (Machiavelli) dan bukan juga dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan, “kekuasaan harus dipahami dalam banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan terus-menerus”. Dengan demikian, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. [10]

Kedua, kekuasaan tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Pada level ini, kekuasaan digambarkan oleh Foucault sebagai ‘perang bisu’ yang menempatkan konflik dalam berbagai situasi sosial, dalam ketidasetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh masing-masing. Dalam hal ini, kekuasaan tidak lagi dapat dilokalisasi pada tempat, orang atau institusi tertentu. Kekuasaan ada di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh boleh disebut hubungan-hubungan sosial-ekonomis, hubungan-hubungan menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. [11]

Di manapun ada kekuasaan, di situ ada perlawanan. Namun, perlawanan pun tidak pernah berada di luar kekuasaan. Pendeknya, mau tidak mau, kita selalu berada “ di dalam” kekuasaan. Kita tidak luput dari kekuasaan, tidak ada yang secara mutlak di luar kekuasaan karena kita pasti ditundukkan oleh hukum. [12]

Ketiga, kekuasaan tidak represif tetapi produktif. Pada titik ini, kekuasaan seringkali dianggap subyek yang berkuasa – raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum – yang melarang, membatasi, menindas, dan sebagainya. Menurut Foucault, kekuasaan tidak bersifat subyektif. Ini juga salah satu alasan mengapa ia menolak pandangan Marxisme: ia melihat kekuasaan bukan sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan kemudian (sesudah beberapa syarat telah terpenuhi) si B dapat menguasai si A. [13]

Menempatkan subyek sebagai pelaksana kekuasaan, menurut Foucault, merupakan keterputusan epistemologis. Sebab, manusia sebagai subyek seringkali menjadi obyek pengetahuan bagi ilmu-ilmu manusia, [14] yang pada gilirannya ilmu-ilmu tersebut menancapkan kekuasaannya melalui mekanisme disiplin:

“Ilmu-ilmu yang disambut baik oleh kemanusiaan kita sejak satu abad (baca: abad 19) mempunyai acuan teknis disiplin dan investigasi penuh dengan detil-detil dan keculasan. Disiplin dan investigasi ini diterapkan dalam psikologi, psikiatri, pedagogi, kriminologi, dan pengetahuan-pengetahuan aneh lainnya, seperti halnya kekuasaan penyelidikan yang dimiliki ilmu terhadap binatang, tumbuhan, dan tanah. Di sinilah semua kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri”. [15]

Teknik disiplin dan investigasi tersebut semakin melekat dan menyatu pada ilmu-ilmu manusia, seperti psikologi. Sebut saja, ters, wawancara, dan interogasi, bertujuan mengoreksi mekanisme-mekanisme disiplin dengan dalih supaya lebih manusiawi. Psikologi pendidikan mau mengoreksi rigoritasi sekolah. Wawancara dengan dokter atau psikiater untuk mengoreksi akibat-akibat disiplin kerja. Teknik-teknik itu pada dasarnya hanya untuk mencabut individu dari disipliner yang satu dan mengalihkan ke lembaga disipliner yang lain, yang pada gilirannya mereproduksi skema hubungan kekuasaan-pengetahuan. Di sinilah kita bisa melihat bahwa strategi kekuasaan sangat inovatif dan produktif. [16] Dan di sini pula kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif, seolah-olah kuasa meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstrasikan, menyelubungi, menyembunyikan. Pada kenyataannya kuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus kebenaran, individu dan pengetahuan secara terus-menerus. [17]

Dengan demikian, harus ditegaskan bahwa kekuasaan-pengetahuan ibarat sekeping mata uang yang selalu bertaut secara politis. Artinya, tidak mungkin pengetahuan tanpa kuasa. Begitu sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. [18] Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan dalam wacana tertentu. Wacana tertentu itu kemudian menghasilkan pengetahuan, yang pada gilirannya pengetahuan itu mereproduksi kekuasaan kembali. Akibat perselingkuhan antara kekuasaan dan pengetahuan ini kemudian lahirlah kebenaran. Pertautan semacam ini, mempostulatkan bahwa kebenaran tidak abstrak dan jatuh begitu saja dari langit, tetapi ia diproduksi. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana/pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan sendiri. [19]

Tes, wawancara, jajak pendapat, dan konsultasi yang melekat pada ilmu psikologi, adalah contoh dari sekian ritus-ritus kebenaran tersebut. Sebab, ritus-ritus tersebut mempunyai kriteria keilmiahan yang menjadi ukuran kebenaran, yang gilirannya membentuk individu. Di sini, kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. Psikologi mendefinisikan pribadi yang dewasa. Lalu, kriteria ini menjadi model identifikasi yang harus dicapai setiap individu. Ini yang dimaksud Foucault bahwa kuasa dapat membentuk individu melalui wacana/pengetahuan. [20]

Pembentukan individu tersebut berlangsung ketika transformasi wacana/pengetahuan dan kuasa memproduksi kebenaran yang dihasilkan dari kombinasi antara praktek diskursif dan non-diskursif. Pada tingkatan praktek diskursif individu tidak lagi dikendalikan lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan definisi dan pendisiplinan. [21] Berbagai relasi itu di antaranya yang menentukan kita, memilah, mengisolasi, menegasikan dan mengklasifikasikan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah dan yang tidak. [22] Semua organ tubuh dan pikiran dengan sendirinya akan terperangkap dalam kesadaran panoptikon: sebuah kesadaran kontinyu dengan pengawasan diskontinyu. [23]

Sedangkan tingkatan non-diskursif adalah perangkat yang selalu menjadi penyangga yang menjamin beredarnya wacana dominan yang lahir di masyarakat. Foucault mengasumsikan bahwa sebuah pengetahuan tidak mungkinditerima secara natural. Sebab demikian, pengembangbiakan pengetahuan kebenaran biasanya didistribusi melalui mekanisme-mekanisme verbal ini. Tidak mungkin sebuah pengetahuan bisa diterima dan diperagakan secara massif, kecuali ada keterpaduan antara praktek diskursif dan non-diskursif sebagai penyangganya. Penyangga ini mewujud dalam praktek-praktek sosial yang beroperasi di semua domain kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, ritual keagamaan, kinerja ekonomi politik, bahkan sampai pada penjabaran kekuasaan dan kontrol negara terhadap rakyat. [24]

END NOTES:
[1] Bagian tulisan ini pernah dibawakan di berbagai kesempatan, termasuk “Diklat Jurnalistik Lanjutan” UKPI DEMA IAIN Sunan Ampel Surabaya, 15-16 Mei 2010, di IAIN Sunan Ampel Surabaya, “Pelatihan Kader Dasar (PKD)” Komisariat Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada Maret 2009.
[2]WJS Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Arkola, 1996, h. 529.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, h. 468.
[4] Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XVII, h. 35-36.
[5] Yasraf Amir Piliang, “Pengantar”, dalam Tim Maula (ed.) Jika Rakyat Berkuasa, h. 19-20.
[6] Yudi Latief, “Hegemoni Budaya dan Alternatif Media sebagai Wacana Budaya Tanding”, dalam Idi Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, h. 294.
[7] Saya menyitir pendapat Antonio Gramsci ini dari tulisan Akhol Firdaus, Kurikulum Malang Kadak: Politik Pengetahuan MSI di IAIN, Gerbang No. 13. Vol. V Oktober-Januari, 2003, h. 44.
[8] Dalam masyarakat feodal, mekanissme kekuasaan berlangsung dalam hubungan atas-bawah, penguasa dan yang dikuasai, tanah dan hasilnya. Pada abad ke-17 dan 18, kekuasaan berlangsung melalui pengawasan dan bukan melalui kewajiban periodik. Sedangkan dalam abad ke-19, kekuasaan diwarnai oleh persandingan antara wacana kedaulatan dan hukum dengan pemaksaan disiplin yang menjamin kohesi sosial.
[9] Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Penerjemah Tahayu S. Hidayat, h. 115.
[10] Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan” dalam Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-15, Januari-Februari 2002, h. 11-12.
[11] K. Bertens, “Michel Foucault” dalam Filsafat Perancis, h. 320.
[12] Foucault, Seks dan Kekuasaan, h. 117.
[13] K. Bertens, “Michel Foucault”, h. 322. Lihat juga Etienne Balibar, “Konfrontasi antara Foucault dan Marx”, dalam Basis Nomor 01-02 Tahun Ke-15, Janurari-Februari 2002, h. 16.
[14] Karlina Leksono, “Berakhirnya Manusia dan Kebangkrutan Ilmu-ilmu”, dalam Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-15 2002, h. 26.
[15] Foucault, Seks dan Kekuasaan, h. 180-181.
[16] Hasil penelitian Foucault yang dibukukan dalam The Will of Knowledge, jilid pertama dari History of Sexuality, adalah bukti kuasa itu produktif, tidak represif. Persepsi umum yang menganggap periode victorian represif terhadap seks, dalam penelusurannya ternyata Foucault menghasilkan kesimpulan yang asimetris. Seks, pada periode iut, malah jauh dari terdiamkan, meledak, berkecambah dan menyebar dalam berbagai bentuk wacana. Seks bukan menghilang, diskursus seputar seks justru berebut memasuki ruang publik. Menurut Foucault, wacana seks pada awal abad 18 ternyata mengalami proliferasi wacana yang mengambil beberapa bentuk. Wacana gereja seputar daging dan dosa pecah menjadi multi-wacana yang menuntut pembicaraan dari berbagai aspek. Berbagai sekolah, klinik psikiatri, bermunculan ditopang oleh berbagai wacana seputar seks, seperti demografi, psikologi, pedagogi, biologi dan sebagainya. Berbagai kategori seputar seks pun bermunculan, seperti heteroseksual, homoseksual, pedofilia, zoofilia, nekrofilia, sado-masokisme, eksibisionis, peeping tom, dan sebagainya. Lihat Donny Gahral Adian, “Mengatur Kuasa, menuai Wacana” dalam Basis Nomor 01-02 Tahun Ke-15, Januari-Februari 2002, h. 43-47.
[17] Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, h. 12.
[18] K. Bertens, “Michel Foucault”, h. 488.
[19] Eriyanto, “Wacana: Perspektif Foucault”, dalam Analisis Wacana, h. 66-67.
[20] Ibid.,
[21] Dalam amatan Foucault, pendisiplinan yang berlangsung di Eropa sekitar abad 17 dan awal-awal abad 18 dilangsungkan melalui empat prosedur pengkondisian: pertama, pengawasan hierarkis. Pelaksanaan disiplin mengandaikan suatu mekanisme yang memaksa melalui pemantauan yang tidak dapat dilihat oleh pihak yang dipantaunya (invisible). Kedua, normalisasi yang dipraktekkan melalui pemberian sanksi (punishment) mengenai ketidaktepatan waktu (keterlambatan, ketidakhadiran), aktivitas (kurang semangat, tidak memperhatikan), tingkat laku (tidak sopan, tidak taat), wicara (bohong), tubuh (postur yang tidak teratur, tingkah laku yang tidak benar), seksualitas (tidak murni, nafsu) diterapkan pada bengkel kerja, sekolah dan kemiliteran. Hukuman disiplin ini dimengerti sebagai sesuatu yang dapat membuat individu merasakan akibat atas pelanggaran yang telah dilakukan. Ketiga, pengujian (l’examen) yang merupakan paduan dari teknik pengawasan hierarkis dan normalisasi. Pengujian merupakan pemantauan-normalitatif yang mampu mengklasifikasi, menentukan mutu dan hukuman yang dipantau. Lihat, Michel Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel tubuh Manusia Modern, h. 92-104.
[22] Eriyanto, “Wacana: Perspektif Foucault”, h. 71-72.
[23]Panoptikon adalah penjara yang dijadikan perangkat disiplin yang sempurna memungkinkan pengamatan sekejap yang mampu memantau semuanya secara tetap. Jeremy Bentham sebagai arsitek bangunan ini, merancang bangunan penjara dengan menempatkan menara pengawas persis di tengah-tengah sel penjara yang mengitarinya. Dengan desain itu, narapidana tidak pernah tahu apakah mereka sedang diawasi atau tidak, tapi mereka selalu diawasi sepanjang waktu (kontinyu). Perilaku mereka menjadi disiplin karenanya. Lihat, Michel Foucault, Power/Knowledge, terjemah Yudi Santosa, h. 181. Lihat juga, Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, h. 432.
[24]Akhol Firdaus, “Kurikulum Malang Kadak: Politik Pengetahuan MSI IAIN”, Jurnal GerbanG, No. 13, Vol. V. 2002, h. 50.
read more “Kekuasaan dan Pengetahuan”

Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif: Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang Fenomenologi Sosial Alfred Schutz

Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif:
Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang
Fenomenologi Sosial Alfred Schutz


A. Konteks dan Realitas Sosial Pemikiran
Krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern akibat reduksi-reduksi metodologis dan instrumentalisasi pengetahuan, menandai runtuhnya bangunan epistema modern yang amat kental dengan nuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Afklarung.

Jamak dipahami, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda secara diametral dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas.

Namun pergeseran pendulum ini tidak berlangsung lama. Positivisme telah menggeser pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, tapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermiskin dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.

Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan. Positivisme berpretensi untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.

Yang menjadi persoalan serius dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, seperti dirintis oleh August Comte yang kemudian disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’. Tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. Adagium positivisme yang kental dengan savior pour prevoir, mengetahui untuk meramalkan, menyiratkan suatu intensi yang kuat untuk merekayasa masyarakat (social-engineering).

Dengan mencangkokkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan reflektif dan pemahaman intersubyektif.

Disadari atau tidak, sampai saat ini pengaruh positivisme dalam ilmu-ilmu sosial sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan posmodern pada awal abad ini meruapakan senjakala kedigdayaan positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme (August Comte, Herbert Spencer), struktural fungsional (Talcott Parson, Kingsley Davis, Robert Merton), struktural konflik (Marx, C. Wright Mills, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf), dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.

Untuk menjawab krisis pengetahuan tersebut, tentu saja membutuhkan fenomenologi sosial. Diharapkan ketidakmampuan ilmu-ilmu berbasis positivistik untuk menangkap masalah nilai dan makna dapat dijembatani oleh analisa fenomenolgis. Dalam konteks ini, pendekatan fenomenologi Alfred Schutz tentu perlu diketengahkan, sekurang-kurangnya dapat menjadi metode alternatif khusunya bagi ilmu-ilmu sosial.

B. Memahami Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
1. Biografi dan Pergumulan Intelektual Schutz

Alfred Schutz lahir dan dibesarkan di Vienna pada 13 April 1899, ketika kota itu menjadi ibu kota kekaisaran Austria-Hungaria. Dia meninggalkan tanah airnya pada usia tiga puluh delapan pada saat aneksasi Nazi. Sesudah tugas militer dalam Perang Dunia Pertama, dia belajar di Vienna pada ahli hukum termasyhur, Hans Kelsen, dan ahli ekonomi Ludwig Von Mises, salah seorang kritikus yang paling pedas atas Max Weber. Secara intelektual, Schutz tertarik pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action), dan filsafat ‘fenomenologi’ Edmund Husserl yang ia kenal secara pribadi.

Dalam pergulatan intelektualnya, Schutz lebih dikenal sebagai seorang pengacara, ahli ekonomi, filsuf, ketimbang sebagai sosiolog. Namun demikian, dia banyak menulis tentang filsafat ilmu sosial dan sering bertindak sebagai seorang propagandis untuk sosiologi fenomenologis juga terlibat secara intens dalam dialog yang bermanfaat dengan para pakar Amerika, khususnya murid-murid George Herbert Mead (1863-1931), seorang filsuf Chicago yang penafsiran psikologisnya tentang interaksi sosial memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan fenomenologi Schutz.

Pemikiran-pemikiran Schutz banyak yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai, di antaranya The Phenomenology of The Social World, (Northwestern University Press: Evenston, 1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (di dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam tahun sebelum ia meninggalkan Austria untuk kemudian menetap di New York, tempat dia bekerja pada New School for Social Research dan Bussines. Collected papers I. The problem of social reality, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1962), Collected papers II. Studies in social theory, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1964), Den sociala världens fenomenologi, (Göteborg: Daidalos, 1999), The Structures of the Life-World. Evanston: Northwestern Unversity Press, 1973), Reflection on the Problem of Relevance (Yale University Press: New Haven, 1970), bagian dari sebuah karya teoretis sistematis yang tak pernah ia selesaikan.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran Schutz semasa hidupnya tidak begitu berpengaruh, boleh jadi karena pemaparan gagasan filosofisnya sangat abstrak dan teknis. Mungkin juga karena lingkungan New School for Social Research dan Bussines yang tidak memberi tempat bagi berkembangnya teori ilmu-ilmu sosial selain teori ilmu-ilmu sosial yang menganut paradigma positivistik. Karena pada masanya, para teknokrat, politisi, birokrat, kelompok-kelompok profesional dan para ilmuwan Amerika terpesona degan model pemikiran rasional-tekonokratis, yang ditandai dengan keberhasilan tekonologi modern. Ilmu-ilmu sosial sosial dikembangkan sejauh menjadi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Tapi usaha Schutz yang tak mudah patah arang, akhirnya gagasan-gagasannya tentang apa yang ia sebut ‘dunia-sosial’, makin lama makin bertambah berpengaruh di tengah-tengah para pemerhati ilmu-ilmu sosial yang haus akan metode baru untuk memandang hubungan-hubungan sosial.


2. Weber-Husserl: Titik Tolak Fenomenologi Schutz

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Schutz begitu terpesona pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln) dan dielaborasi dengan konsep Lebenswelt (‘dunia-kehidupan’) Edmund Husserl. Konsep tersebut merupakan terobosan teoritis yang diintrodusir dan dipopulerkan Husserl dalam pendekatan ‘fenomenologi’.

Husserl, sebagai pendiri pendekatan ini, mengancang pendekatan fenomonolgis, pendasaran terhadap realitas yang tampak, bagi ilmu pengetahuan rangka menyelamatkan subjek pengetahuan. Konsep Lebenswelt, dunia-kehidupan, merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berpikir positivistis dan saintis.

Menurut Husserl, dunia-kehidupan adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Padahal, dunia-kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan yang paling praktis pun, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh karena itu, semboyan Husserl “kembali kepada benda-benda itu sendiri atau pada realitasnya sendiri (Zu den Sachen selbst)” menyatakan suatu usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.

Konsep dunia-kehidupan ini memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada Alfred Schutz untuk membangun sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Dengan bertolak Dari definisi Max Weber tentang tindakan, yaitu tingkah laku sejauh pelaku-pelakunya melihatnya sebagai sesuatu yang secara subyektif bermakna, Schutz menetapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan ‘interpretatif’. Namun Schutz menolak andaian Weber yang memusatkan tindakan bermakna pada individu. Menurutnya, makna suatu tindakan yang secara subyektif bermakna itu memiliki asal-usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan atau dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu.

3. Key-words dan Proposisi-proposisi
Fenomenologi sosial yang diintroduisr oleh Schutz mengandaikan adanya tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian, sebab dunia sehari-hari dalah lokus kesadaran intersubjektif yang menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Karena itu, dunianya secara keseluruhan tidak akan bersifat pribadi, bahkan di dalam kesadaran pun seseorang selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa sejarah hidup seseorang bukan semata-mata hasil produk tindakan pribadi. Kesadaran semcam ini, menuut Schutz merupakan tesis eksistensi alter-ego, pemahaman akan aku-yang-lain, sehingga memungkinkan adanya pemahaman timbal-balik antar sesama anggota komunitas (consociates).

Dengan demikian, kehidupan sehari-hari sebagai wadah kehidupan sosial yang sarat dengan kesadaran intersubyektif (makna timbal balik yang dihasilkan dalam interaksi ssosial ). Kesadaran ini mengacu pada teori Max Weber mengenai ‘tindakan sosial’. Apa yang dimaksud Weber dengan tindakan sosial adalah apabila tindakan atau perialku seseorang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, atau setidaknya mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Tindakan yang diorientasikan pada benda fisik belum dapat dikatakan tindakan sosial, tapi tindakan katika diorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.

Persoalannya, bagaimana kita dapat memahami makna subyektif tindakan individu? Schutz menawarkan perlunya memahami konteks makna suatu tindakan. Menurutnya, ada sebuah konteks makna lain yang tidak berhasil dibedakan Weber, yaitu motif tujuan (in-order-to motive/Um-zu-motiv) yang merujuk pada suatu keadaan di masa yang akan datang (in te future prfect tense), dan motif karena (because motive) yang merujuk pada konteks situasi di masa lampau (past experiences). Motif-motif tersebut yang menentukan tindakan yang akan dilakukan seorang aktor. Dalam kerangka ini, tindakan sesorang hanya merupakan suatu kesadaran terhadap motif yang menjadi suatu tujuan dan bukan pada motif yang menjadi sebab. Karena kesadaran kepada motif yang menjadi sebab pada akhirnya dapat diperoleh melalui refleksi.

Pendasaran Schutz terhadap motif-motif itu dalam memahami tindakan orang lain berangkat dari asumsi, pertama, bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk secara mutlak memahami motif yang lain dalam kehidupan keseharian, motif-motif itu setidaknya dapat memberikan peluang akan pemahaman yang lain. Kedua, dengan adanya pemahaman ini akan memungkinkan kita untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna tindakan orang lain.

Dengan memahami makna tindakan seseorang melalui motivasional context, menurut Schutz, sesungguhnya telah tercipta kesadaran sosial bagi setiap individu. Akibatnya, pemahaman terhadap tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis menunjuk pada kesadaran sosial. Kesadaran akan hal ini pada gilirannya mengandaikan hadirnya kesadaran akan orang lain sebagai penghuni dunia yang dialami bersama. Rentetan kesadaran ini yang melahirkan bahwa orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari, dan makna dasar bagi pengertian manusia adalah akal sehat (common sense), yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Akal sehat didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu, misalnya, adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Akal sehat terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.

Dengan adanya tipifikasi semacam itu akan sangat membantu bagi penyesuaian diri dalam bekerja sama dengan orang yang tidak dikenal secara pribadi maupun dalam dunia yang lebih luas. Dengan tipifikasi pula pengetahuan langsung mengenai eksistensi orang lain tentu akan sangat mudah diketahui sehingga mudah pula membangun hubungan dengan apa yang disebut Schutz ‘orang-orang sezaman’ (contemporeries), ‘para pendahulu’ (predecessors), dan ‘para penerus’ (successor) yang sama sekali belum dan tak akan memiliki pengalaman-pengalaman bersama. Hubungan-hubungan yang dibangun juga bisa langsung (face to face) atau tidak langsung (they-relationships) seperti hubungan dengan orang-orang sezaman yang masih hidup bersama kita yang belum pernah kita jumpai, atau dengan para pendahulu dan penerus.

Tipifikasi-tipifikasi yang diabstraksi dari pengalaman langsung inilah yang dalam dunia keseharian dapat membentuk sistem sosial obyektif yang dengannya orang dapat berhadapan dengan sosio-kultural yang melampaui dunia sosio-kultural para consociate mereka. Kata Schutz:

"Supaya menemukan pegangan di dalam kelompok sosial, aku harus mengetahui berbagai cara berbagai pakaian dan bertingkah laku, mengenakan aneka ragam lencana, alat-alat, dst. yang dianggap oleh kelompok itu sebagai sesuatu yang menunjukkan status sosial dan diakui secara sosial sebagai sesuatu yang relevan".


END NOTES

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 51
Dalam sejarah epistemologi, sebagai juru bicara keruntuhan Abad Petengahan adalah Rene Descartes, kemudian Leibniz dan Kant, serta Hobbes, Locke, dan Hume.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas ….., hal. 53
Ibid., hal. 56
Ibid., hal. 58
George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. A-14
Secara keseluruhan, biogarfi Alfred Schutz dirujuk dari buku The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. xvii-xviii
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Edisi Revisi, Bandung: Rosda, 2006, hal. 157-158
‘Interpretatif’ merupakan salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang ditetapkan setelah terlibat dalam diskusi serius, yang sering disebut dengan Methodenstreit (perdebatan tentang metode). Diskusi tersebut berusaha mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang dilakukan di Jerman. Yang terkenal disini adalah distingsi yang dibuat oleh para pemikir neo-Kantianisme, misalnya Windleband yang membedakan ilmu alam sebagai ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (geistewissenschaften) dan eklaren (menjelaskan dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Lihat, Heru Nugroho, “Metodologi Penelitian Sosial”, Makalah disampaikan dalam Seminar jurusan Sosiologi FISIP UGM dalam rangka “Penyempurnaan Kurikulum Sosiologi”, Yaogyakarta 15 September 1995. Lihat juga, F. Budi Hardiman, Kritik Idelogi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, hal. 12
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967, hal. 316.
Uraian singkat tentang Pemikiran Weber mengenai ‘tindakan sosial’ disitir dari Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. 15
Ibid., hal. 88
Ibid., halk. 91
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality, hal. 316
Ibid., hal. 350
read more “Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif: Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang Fenomenologi Sosial Alfred Schutz”

Charles Horton Cooley: Pembuka Jalan Menuju Teori Interaksionalisme Simbolik

A. Pendahuluan

Pada bagian diskusi ini, kita akan membincang tentang pemikiran Charles Horton Cooley. Tentu saja diskusi ini sangat menarik, karena kita akan diajak memahami realitas sosial bukan dari struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution) yang sangat makro, seperti pernah kita diskusikan dalam pemikiran Herbert Spencer, Emile Durkhiem dan Karl Marx, tapi dari sudut pandang yang mikro.

Seperti telah kita pahami, sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mempelajari kehidupan manusia, yang di dalamnya termasuk hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan berulang-ulang. Dengan perhatian semacam ini, Sosiologi berbeda dengan Psikologi, yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan prilaku individu perindividu. Meski dalam perkembangannya kita mengakui, bahwa Sosiologi juga mempelajari tindakan individu, tapi kapasitasnya tetap sebagai masyarakat.

Bertolak dari perbedaan kajian Sosiologi dan Pskologi ini, maka dalam Ilmu Sosiologi dikenal distingsi antara Sosiologi Makro dan Sosiologi Mikro. Mengiktuti pendapat Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro mengkaji berbagai pola dan prilaku sosial dalam skala yang lebih luas. Pusat perhatiannya adalah kepada masyarakat sebagai obyek keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya seperti ekonomi, politik, agama, pola kehidupan keluarga dan sebagainya. Sedangkan Sosiologi Mikro, adalah meneliti berbagai polal pikiran perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif kecil. Para osiolog Mikro tertarik pada berbagai gaya komunikasi verbal dan non-verbal dalam hububgan sosial face to face antar individu dalam komunitas masyarakat. Pada titik ini, Interaksionalisme Simbolik memposisikan diri.

Interaksionalisme Simbolik (selanjutnya dibaca interaksi simbol) sebagai bagian dari Sosiologi Mikro, beranggapan bahwa realitas sosial muncul melalui proses interaksi. Dalam hal ini, teori interaksi simbol sama dengan tekanan Simmel pada bentuk-bentuk interaksi. Namun, teori interaksi simbol lebih dalam daripada bentuk-bentuk interaksi nyata menurut Simmel. Teori interaksi simbol berhubungan dengan media simbol di mana interaksi terjadi.

Teori interaksi simbol sendiri bukan merupakan satu teori terpadu dan komprehensif. Teori ini tidak lebih dari sumbangan rintisan dari beberapa tokoh, seperti Charles Horton Cooley, William I. Thomas, George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Sayang, dari beberapa tokoh ini tidak dapat kita ketengahkan semuanya, tulisan ini secara spesifik akan membahas pemikiran Charles Horton Cooley.


B. Mengenal Cooley: Sebuah Tinjauan Biografis
1. Keluarga dan Pendidikan

Charles Horton Cooley lahir di Ann Arbor, Michigan, tahun 1864. Keluarganya pindahan dari Massachusetts ke bagian Barat New York, kemudian pindah dan menetap di Michigan. Bapaknya menjadi pengacara yang ambisius dan terpandang, yang pada tahun 1864 dipilih menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Michigan. Cooley menamatkan sarjana mudanya tahun 1887 di Universitas Michigan. Dia bekerja untuk waktu yang singkat di Interstate Commerce Commision dan Census Bureau. Dia lalu tertarik untuk bergelut dalam kehidupan akademis karena kegemarannya untuk membaca, menulis dan merenung. Dia menamatkan studinya di Universitas Michigan dan ditunjuk untuk satu posisi fakultas di sana, dan menghabiskan seluruh kehidupan profesinya di situ sampai meninggal tahun 1929.

2. Pergumulan Intelektual
Ann Arbor adalah kota pelajar yang tenang. Lingkungan sosial ini telah membentuk watak Cooley sehingga suka menyendiri dan kontemplatif. Tak heran bila teori sosialnya mencerminkan lingkungan sosial dan temperamennya. Sewaktu di Michigan Cooley pernah berteman dengan Mead. Nilai-nilai dan posisi ideologisnya Cooley bersifat progresif seperti Mead dan kebanyakan kaum intelektual lainnya di Amerika pada waktu itu, Cooley menerima prinsip dasar evolusi sosial sebagai kunci kemajuan sosial. Namun, Cooley keberatan terhadap pendekatan organik Spencer, sebagian karena Spencer kurang memperhatikan tingkat psikologis individu dalam mengemukakan prnsip-prinsip evolusinya, yang mengatasi individu. Juga, seperti Mead, Cooley tidak menerima implikasi-implikasi politik Laissez-faire dari teori Spencer.


C. Pemikiran Charles Horton Cooley
1. Looking-glass Self

Pendekatan organis Spencer memberikan pendasaran teoritis bagi Cooley untuk melihat saling ketergantungan individu melalui proses komunikasi sebagai dasar keteraturan sosial. Dalam karyanya yang terkenal Human Nature and the Social Order, Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis. Proposisi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak jelas dan belum terbentuk. Pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya, seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis (sympathetic understanding) antara individu yang satu terhadap yang lain. Dengan pemahaman itu, mereka dapat masuk dan mengambil bagian dalam perasaan dan ide orang lain. Mereka dapat menangkap apa yang dipikirkan orang lain. Hal ini tentu berhubungan erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa, menolak atau menyetujui penampilan dan perilakunya.

Analisis Cooley mengenai pertumbuhan sosial individu yang mengacu pada perasaan diri, sebenarnya mengacu pada gagasan William James tentang “konsep diri-sosial”. Konsep diri di sini dipahami cara seseorang melihat dirinya melalui mata orang lain. Konsep ini kemudian diintrodusir oleh Cooley sebagai looking-glass self.

“Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semuanya itu milik kita… begitu pula dalam imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penampilan, cara tujuan, perbuatan, karakkter dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya.
Suatu ide diri semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting: imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu…”

Tentu, analogi cermin ini tidaklah cukup. Cermin tidak dapat memberi persetujuan atau penolakan. Cooley lalu menganalisa variasi konsep-konsep perasaan diri, seperti kebanggaan, kesombongan, kehormatan, kerendahan hati, serta karakteristik lain-lainnya yang biasanya digunakan untuk menggambarkan kepribadian seseorang. Menurutnya, ada sejumlah varian dalam hubungan antara perasaan diri setiap individu. Misalnya, kepekaan setiap individu bisa berbeda dalam menangkap pandangan orang lain. Boleh juga terjadi perberbedaan tingkat stabilitas dalam mempertahankan suatu jenis perasaan-diri tertentu dalam menghadapi reaksi orang lain yang bertentangan. Mereka berbeda dalam intensitas dan seringnya dukungan sosial yang dibutuhkan untuk mempertahankan perasaan-diri mereka, berbeda dalam campuran perasaan tertentu yang bersifat positif dan yang negatif yang dihubungkan dengan konsep-diri mereka; juga berbeda dalam hal dimana aspek khidupan mereka sangat erat hubungannya dengan perasaan-diri.

Sebagai contoh, orang yang egoistis tidak peka khususnya terhadap definisi-definisi sosial atau perasaan mereka yang ada di sekitarnya. Orang yang sombong sangat peka dan membutuhkan dukungan sosial terhadap suatu gambaran-dirinya yang tinggi. Orang yang produktif harus memiliki suatu konsep-diri yang tegas, namun ia tidak perlu dinilai sebagai seorang yang sadar diri, karena prestasi mereka mungkin menguntungkan orang lain dan memperoleh dukungan dan penghargaan mereka. Orang yang sedang turun harga dirinya sangat peka terhadap reaksi-reaksi orang lain yang bersifat negatif, dia menggabungkan dengan perasaan-dirinya sendiri sebegitu rupa sehingga yang bersifat positif dari reaksi itu tidak dapat dilihat lagi.

Orang mungkin menemukan perasaan-diri yang tidak selaras dengan reaksi dan perasaan orang lain, sehingga mereka berinisitaif untuk berprilaku defensif agar tidak mendapat ejekan dari orang lain yang memberikan reaksi yang tidak sesuai. Orang lain mungkin sangat tertarik dalam suatu kegiatan sehingga mereka nampaknya terbenam dan tidak sadar akan kesan yang dia buat terhadap orang lain. Beberapa peserta kontes ratu kecantikan, misalnya, akan menganggap badannya itu sangat penting secara fisik, sedangkan orang lain nampaknya lupa akan penampilan fisiknya dan mendefinisikan segi-segi konsep-dirinya menurut, katakanlah, pekerjaan atau posisi ideologisnya. Meskipun perbedaan-perbedaan itu ada, suatu konsep-diri yang muncul dalam suatu isolasi total dari lingkungan sosialnya, mengkin tak akan akan peduli terhadap perasaan dan reaksi orang lain.




2. Kelompok Primer
Perasaan-diri seseorang juga sering ditarik ke pelbagai kelompok di mana dia menjadi bagiannya. Dalam kondisi seperti itu, mungkin cara berpikir atau berbicara tentang “keluarga saya”, “klub saya” atau “tetangga saya” akan diganti dengan “keluarga kami” atau “tetangga kami”. Seperti dikemukakan oleh Cooley, “diri kelompok” atau “we” tidak lain adalah “I” yang mencakupi orang lain. Dengan kata lain, orang tersebut telah mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu dan berbicara atas kemauan bersama, pandangan, pelayanan, atau yang lain-lainnya menurut “we” dan “us”.
Perasaan “we”, pengalaman antara kesatuan diri dan orang lain, mula-mula muncul dalam konteks kelompok primer. Cooley menggambarkan kelompok primer sebagai berikut:

“Kelompok primer saya artikan sebagai kelompok yang ditandai oleh persatuan (association) dan kerja sama tatap-muka yang bersifat intim. Kelompok itu disebut primer dalam beberapa pengertian, terutama sebagai dasar pembentukan sifat sosial dan ideal-idealnya individu. Hasil dari persatuan yang intim itu secara psikologis adalah suatu perpaduan tertentu dari kepribadian-kepribadian (individualities) kelompo, sehingga diri (seseorang), untuk banyak tujuan sekurang-kurangnya, menjadi cermin kehidupan dan tujuan bersama kelompok itu. Mungkin cara yang paling sederhana untuk menggambarkan keseluruhan ini adalah dengan mengatakan bahwa itulah “we”, yang mencakup jenis simpati dan pemahaman timbal-balik yang terjadi secara alamiah. Orang hidup dalam perasaan bersama dan menemukan tujuan-tujuan kehendaknya yang utama dalam perasaan itu”.

Contoh-contoh kelompok seperti itu adalah “keluarga, kelompok bermain anak-anak, dan kelompok tetangga atau komunitas orang dewasa”. Kelompok persahabatan dan banyak tipe kelompok kerja dapat ditambahkan dalam daftar ini.
Perlu dicatat di sini, kesatuan kelompok primer yang ditandai dengan cinta dan keharmonisan bukan berarti tidak memendam konflik. Kompetisi dan ingin menonjolkan diri antara yang satu dengan yang lain akan ditemui. Namun, dorongan-dorongan individualistis atau yang bersifat kompetitif ini sering diperlunak dan diperhalus oleh pemahaman simpatetis antar individu. Pemahaman simpatetis itulah, yang mendorong kesatuan pada kelompok itu. Dalam kondisi seperti ini, individu berkembang dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan sosialnya, seperti kesetiaan dan kerelaan untuk membantu dan bekerjasama antara yang satu dengan lain.


3. Dari Institusi Sosial ke Masyarakat Demokratis
Kelompok primer juga merupakan dasar bagi institusi sosial yang lebih besar, yang bersandar pada perasaan-perasaan dan ide-ide bersama yang digembleng melalui proses komunikasi antarpribadi. Dengan demikian, akan tercipta satu struktur sosial yang kokoh yang menjamin adanya keteraturan sosial (social order). Dalam hal ini, Cooley menegaskan:

“Suatu institusi hanyalah suatu tahap dari pikiran orang banyak (publik mind) yang bersifat mapan dan tegas, dia tidak berbeda dalam sifat dan pokoknya dari pandangan umum, meskipun yang sering kelihatan adalah bahwa dia memiliki suatu eksistensi tertentu dan bersifat independen, apalagi kita melihat sifat permanennya dan apalagi kita melihat kebiasaan-kebiasaan serta simbol-simbol di mana institusi itu berselubunng”.

Institusi mungkin memiliki suatu karakter yang nampaknya obyektif, yang kelihatan terlepas dari pandangan umum dan perasaan individu. Tapi kenyataanya, justru tak ada satupun struktur dan institusi serta pola normatifnya dalam masyarakat yang lepas dan keluar dari pikiran dan perasaan individu. Dengan demikian, masyarakat demokratis modern pun bertolak pikiran orang banyak dari seluruh masyarakat yang ditandai oleh perasaan kesatuan yang sama serta kehangatan emosional seperti pikiran kelompok dalam suatu kelompok primer. Begitulah impian Cooley.

D. Implikasi Pemikiran Charles Horton Cooley
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa tekanan pemikiran Cooley berangkat dari usahanya untuk menemukan asal-usul sosial dengan pusat perhatian pada saling ketergantungan antara individu dan masyarakat, konsep diri, dan komunikasi antarpribadi sebagai dasar organisasi sosial, baik dalam bentuk kelompok primer sampai pada instisusi sosial dan masyarakat demokratis modern.

Lepas dari kontroversi yang menyertai pemikirannya, Cooley tetap berjasa besar dalam analisa Sosiologi Mikro. Pemikirannya cukup berpengaruh dan memberikan inspirasi, utmanya bagi perintis Teori Interaksi Simbol seperti Mead dan Blumer.

END NOTE
Secara garis besar, tulisan ini disarikan dari buku Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia: 1994.
Riyadi Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 1
Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua, Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 2
Doyle Paul Johnson, hal. 27
Riyadi Soeprapto, hal. 114
Disitir dari Doyle Paul Johnson, hal. 28
Ibid., hal. 29
Ibid., hal. 31
read more “Charles Horton Cooley: Pembuka Jalan Menuju Teori Interaksionalisme Simbolik”

Memahami Pemikiran Karl Marx : Sekedar Pengantar

A. Pendahuluan

Pemikiran Karl Marx hampir saja menjadi “barang” langka di Indonesia. Semua itu bermula dari ambisi Soekarno untuk mentahbiskan diri sebagai presiden seumur hidup. Dengan dukungan kuat Partai Komunis Indonesia (PKI), Soekarno memodifikasi nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM) sebagai poros tunggal kekuatan politiknya. Mungkin Soekarno lupa, bahwa Komunisme di Indonesia bukan sekedar aktualisasi Marxisme, melainkan menganut Marxisme-Leninisme tulen yang menempatkan kekuatan-kekuatan politik lain bukan sekedar lawan, tapi musuh. Ia tidak akan pernah melepas kekuasaan secara suka rela. Gerakan 30 September 1965 yang berbuntut pada lahirnya petaka nasional: sebuah fase sejarah yang pekat dan penuh dengan pertumpahan darah dan air mata, adalah bukti kongkretnya.

Sejak itu, lahirlah pandangan streotipe dalam memori kolektif masyarakat Indonesia: apapun yang berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme adalah “haram”. Sejak itu pula Orde Baru merasa mendapat dukungan luas masyarakat untuk membubarkan PKI, tentu dengan segala organisasi pendukungnya, dan melarang penyebaran Marxisme-Leninisme. Sayangnya, arti “penyebaran” itu juga termasuk “mempelajari”, sehingga Marxisme-Leninisme sebagai ideologi Komunisme bahkan seluruh Marxisme, termasuk pemikiran Marx, disingkirkan dari materi kuliah di berbagai universitas dan perguruan tinggi. Semuanya telah menjadi mitos (untuk tidak mengatakan sengaja dimitoskan) dan tabu untuk dibicarakan apalagi sampai ditelanjangi yang mengundang hasrat ingin tahu (coriocity) masyarakat terhadap “jenis kelamin” Marxisme atau Marx dan Marxisme-Leninisme.

Apa jadinya jika Era Reformasi tidak segera bergulir dan pemikiran Marx tetap dilarang dipelajari? Bisa jadi Program Sosiologi Unair dan ilmu humaniora yang lain gulung tikar. Sebab, pemikiran Karl Marx tidak hanya menjangkau momen besar filsafat, melainkan juga motor yang menstimulir lahirnya teori-teori Sosiologi bahkan sampai Ekonomi. Menurut Giddens, pemikiran Marx telah merentang selama tiga abad dan mempengaruhi lingkungan politik dan dunia cendikiawan. Meski diakuinya, banyak pemikiran yang sezaman, seperti Tocqueville, Comte, dan Spencer yang mewarnai Sosiologi Modern, namun pengaruh pemikiran Marx jauh lebih besar dibanding pemikiran mereka. Karena itu, Giddens mengaku perlu untuk “berkelahi” lebih dulu dengan pemikiran/ajaran Marx sebelum merumuskan teori strukturasinya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ruang pemikiran Marx dalam ilmu-ilmu humaniora, utamanya Sosiologi, cukuplah besar dan signifikan. Karena itu, dengan segala keterbatasan dan kekurangan tulisan ini tidak mungkin meng-cover seluruh pemikiran Marx secara detail dan tuntas. Namanya “sekedar pengantar”, tulisan ini hanya berusaha mengupas pemikiran Marx muda, yaitu materialisme dialektis yang mendasari oreintasi filsafatnya sebagai praksis revolusioner. Lebih dari itu, juga akan diketengahkan pandangan sejarah materialis yang menandai kematangan Marx serta beberapa implikasi pemikirannya.

B. Mengenal Marx: Sebuah Tinjauan Biografis
1. Keluarga dan Pendidikan


Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier, Prussia. Daerah ini termasuk kawasan Rheiland Jerman yang memilki sejarah penting bagi perkembangan filsafat. Marx besar dalam lingkungan keluarga Yahudi progresif. Ayahnya bernama Heinrich Marx dan Ibunya Henrietta. Pada masa itu, ayah Marx termasuk pengacara sukses dengan pola hidup borjuis yang penuh dengan kemewahan. Wajar, jika waktu itu rumah Marx sering dikunjungi para artis dan cendekiawan.

Suasana politik Jerman yang terus berubah dan tidak menguntungkan bagi pengacara keturunan Yahudi, keluarga Marx kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama Protestan-Lutheran yang relatif liberal.

Marx memulai pendidikannya dengan model sekolah rumah (home schooling) sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx mendaftar di Universitas Bonn untuk belajar hukum. Di sana ia bergabung dengan Trier Tavern Club, dan sempat menjadi presiden Klub, sehingga prestasi sekolahnya buruk. Setahun kemudian, ayah Marx mendesaknya untuk pindah ke Universitas Friedrich-Wilhelms di Berlin, agar dapat lebih serius belajar. Di sini, Marx banyak menulis puisi dan esai tentang kehidupan, dengan menggunakan bahasa teologis yang diperolehnya dari ayahnya yang deis.

Perjalanan studi Marx di Berlin adalah fase yang sangat menentukan bagi pergumulan intelektualnya. Di Berlinlah kemudian minat Marx ke dalam filsafat tumbuh dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Club Young Hegelian: kelompok radikal yang sering juga disebut sebagai Hegelian-kiri. Kelompok menemukan metode dialektika Hegel, dan memisahkannya dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan di Prussia pada saat itu.

Sebagai profesor di Berlin (dari 1818 sampai wafat 1831), Hegel sangat termasyhur karena filsafat politik yang diajarkannya. Dalam filsafat politik itu, Hegel menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Marx muda yang gusar dengan situasi politik Prussia akhirnya menemukan senjata intelektualnya dalam filsafat Hegel yang kemudian menentukan arah pemikirannya sekaligus mengantarkannya memperoleh gelar doktor pada usia 23 tahun, tepatnya 15 April tahun 1841, dengan tesis yang bertajuk ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’. Namun, Marx harus menyerahkan disertasinya ke Universitas Jena, karena ia menyadari bahwa statusnya sebagai Kaum Hegelian Muda (Young Hegelian) yang radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.

2. Problem Sosial yang Mengiringi Pergumulan Intelektual Marx
Kebebasan berpikir yang menjadi spirit Marx sejak menjadi anggota Kaum Hegelian Muda, akhirnya menjadi senjata bumerang bagi perjalanan karirnya. Keinginan Marx untuk menjadi dosen terpakasa harus kandas karena pahamnya yang radikal dan tidak mudah berkompromi.

Di tengah situasi politik Prussia yang sangat reaksioner, tentu tidak akan ada tempat bagi Marx. Karena waktu itu, pengawasan berlangsung dengan sangat ketat. Tidak sedikit guru-guru besar universitas yang liberal ditahan. Pers disensor, bahkan undang-undang dasar yang dibuat sesudah peran Napoleon, yang memberikan banyak kebebasan kepada rakyat dihapus.

Dalam situasi seperti itu, akhirnya Marx ke Koln dan memilih menjadi wartawan sebagai medan artikulasinya. Di sana Marx menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zitung, sebuah koran liberal-progresif. Karena kritiknya terlalu keras dan selalu menyerang absolutisme Prussia, akhirnya harian ini diberangus, Marx pun mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi dan memutuskan pindah ke Paris bersama Jenny, putri bangsawan Baron von Westphalen yang baru dinikahinya pada 1843.
Selama di Paris (1843-1845), Marx terlibat dalam kegiatan radikal. Pada waktu itu, Paris merupakan pusat liberalisme dan radikalisme sosial dan intelektual yang penting di Eropa. Kondisi ini memungkinkan Marx untuk berkenalan lebih intens dengan pemikir-pemikir penting dalam pemikiran sosialis Prancis, seperti St. Simon, Proudhon dan tokoh revolusioner, seperti Blanqui. Di Paris, Marx juga mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik Inggris, seperti Adam Smith dan David Richardo.

Peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di Paris adalah pertemuannya dengan Friedrich Engels, yang akhirnya menjadi kawan kerja yang dekat sampai Marx meninggal. Sebagai anak seorang pengusaha Tekstil, Engels dapat memberikan informasi langsung kepada Marx mengenai gaya hidup borjuis dan kondisi-kondisi proletariat. Engels pernah menjadi seorang manajer dari salah satu perusahaan ayahnya, tetapi hubungan dengan Marx menjadi lebih penting daripada kesadaran kelas borjuisnya. Engels terkesan akan keberhasilan Marx dalam analisa ekonominya, seperti tercermin dalam Economic and Philosophical Manuscripts.

Selama di Paris, Marx dan Engels mulai menulis mengenai suatu interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai interpretasi alternatif terhadap filsafat sejarah Hegel. Dalam dalam tulisannya, kondisi-kondisi materil serta hubungan-hubungan sosial yang muncul dari kondisi-kondisi itu merupakan dasar perkembangan intelektual atau kekuatan yang mendorong perubahan sejarah, bukan munculnya ide atau pertumbuhan akal budi. Karya ini akhirnya diterbitkan dengan judul The German Ideology; kemudian Engels menggambarkannya sebagai titik tolak untuk prinsip-prinsip materislisme historis.

Tak lama kemudian, Marx diusir dari Paris tahun 1845 oleh pemerintah setempat. Sebagian alasannya karena tekanan dari pemerintah Prussia yang merasa terganggu oleh tulisan-tulisan Marx yang berbau sosialis. Marx akhirnya bertolak menuju Brussel. Di sana dia tenggelam dalam kegiatan-kegiatan sosialis Internasional. Dia mengadakan kontak dengan buruh-buruh dan juga kaum cendekiawan; di antaranya adalah pelarian Jerman, seperti dia sendiri. Banyak kenalan barunya yang terlibat dalam League of the Just: organisasi internasional yang revolusioner.

Pada tahun 1846 Marx dan Engels bertolak menuju Inggris. Tidak lama sesudah itu, mereka membentuk panitia urusan surat menyurat, supaya dapat mempertahankan kontak dengan sosialis Prancis, Jerman dan Inggris. Segera Marx dan Engels diundang untuk mengikuti Communist League, suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London dan dimaksudkan sebagai pengganti League of the Just. Sesudah perdebatan sengit antara Marx dan Weitling dalam organisasi itu mengenai waktu yang tepat untuk revousi proletariat dan mengenai peran persiapan kaum borjuis, Marx ditugaskan untuk menulis suatu pernyataan yang akan menjadi program teoretis untuk organisasi itu. Hasilnya berupa Manifesto Komunis, diterbitkan pada tahun 1847, dan bertahun-tahun lamanya merupakan bacaan yang paling laku dari tulisan-tulisan Marx yang lain.

Pada tahun 1848 Marx diundang lagi ke Paris oleh suatu pemerintahan yang baru. Ini merupakan masa-masa pergolakan, karena itu gerakan-gerakan revolusioner dengan cepat mendapat sambutan di seluruh Eropa. Sesudah tinggal sebentar di Paris, Marx kembali ke Jerman untuk menerbitkan Neue Rheinische Zeitung, dan dengan cara ini bermaksud mempengaruhi arah revolusi itu. Marx melihat periode tersebut sebagai awal suatu titik balik sejarah yang penting yang akan segera menuju ke satu kulminasi proses perubahan sosial yang mendasar yang sudah dimulai oleh Revolusi Perancis¬¬, baik serangan pada tahun 1789 maupun serangan tahun 1848 terhadap dominasi aristokratis tradisional, dipelopori oleh munculnya kelas borjuis. Tetapi revolusi-revolusi tahun 1848 diikuti oleh orang-orang kelas buruh yang lebih terorganisasi, lebih sadar diri, dan secara potensial lebih berpengaruh daripada yang terjadi Revolusi Perancis sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam keyakinan akan hasil akhirnya, Marx tidak seperti beberapa orang revolusioner mengenai kelas buruh, mendukung suatu gabungan antara kelompok borjuis dan proletariat, sampai dominasi aristokrasi dilenyapkan. Fase revolusi tersebut dimaksudkan mempersiapkan kondisi-kondisi materil dan sosial untuk kemenangan akhir kelas proletariat atas kelas borjuis.

Dengan perpindahannya ke kota London mulailah tahap baru dalam hidup Marx. Ia meninggalkan aksi-aksi konspiratif dan revolusioner dan memusatkan perhatiannya pada pekerjaan teoretis. Ia semakin menyadari dirinya sebagai pemikir dan penemu huku-hukum yang menentukan perkembangan masyarakat, sama seperti Newton menemukan hukum-hukum yang mendasari gerak materi. Sejak dari Paris Marx semakin memperhatikan ilmu ekonomi. Dalam pelbagai tulisannya, Marx memaparkan pokok-pokok pandangan materialis sejarah. Ia mengklaim dapat memastikan bahwa kapitalisme mengandung benih-benih keruntuhan dalam dirinya sendiri dan bahwa keruntuhan kapitalisme niscaya akan menghasilkan masyarakat sosialis.

Dengan demikian, Marx berada di bawah tekanan untuk memberikan bukti kebenaran klaimnya itu. Inti pandangan materialis sejarah adalah bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh perkembangan dalam bidang ekonomi. Maka untuk membuktikan tesisnya, Marx harus memperlihatkan bahwa ekonomi kapitalis niscaya menuju kehancurannya. Maka Marx menenggelamkan diri dalam studi ilmu ekonomi. Ia harus membuktikan secara ilmiah bahwa ekonomi kapitalis memuat kontradiksi-kontradiksi yang niscaya akan meruntuhkannya.

Akhirnya, pada tahun 1867, terbitlah buku pertama dari karya utama Marx yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan keniscayaan sosialisme: Das Kapital, yang buku kedua dan ketiganya baru diterbitkan oleh Engels setelah Marx meninggal dunia. Beberapa buku catatan pinggir Marx diterbitkan oleh Karl Kautsky sejak permulaan abad ini dengan judul Teori-teori tentang Nilai lebih.

Meskipun Das Kapital mengecewakan banyak teman Marx—dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya—namun Marx semakin dikenal di kalangan para pemmpin gerakan buruh di benua Eropa. Pada tahun 1864 wakil-wakil pelbagai partai buruh nasional telah mendirikan Asosiasi Buruh Internasional Pertama yang lazimnya dikenal dengan nama Internasionale Pertama. Marx turut dalam dewan pimpinannya. Melalui Internasionale ini Marx dapat behubungan dengan gerakan-gerakan buruh terpenting di Eropa walaupun ia sendiri tidak pernah menduduki jabatan pimpinan. Ia sering dikunjungi dan dimintai nasehat. Kegiatan Internasionale ditandai oleh konflik yang makin tak terdamaikan antara Marx di satu pihak dan sayap anarkistik di bawah Mikail Bakunin di lain pihak. Karena konflik itu, sembilan tahun kemudian Internasionale Pertama bubar.

Dalam kehidupan pribadinya Karl Marx tergolong sebagai orang yang kurang beruntung. Meski kehidupan berkeluarga dengan istrinya cukup bahagia, namun mereka terus-menerus didera kemelaratan, bahkan sering kurang makan. Salah seorang anaknya mati karena kurang makan dan istrinya sering bereaksi histeris. Marx tidak mempunyai pendapatan yang tetap dan tidak tahu bagaimana berurusan dengan uang. Hanya karena kiriman bantuan dari Engels (yang memiliki sebuah pabrik tekstil di Manchester) mereka dapat bertahan. Apalagi Marx suka bersikap otoriter dan menyinggung perasaan orang lain, terutama rekan-rekan sosialisnya. Siapa yang tidak tunduk pada kepemimpinan teoretisnya akan diserang dengan gaya menghina, termasuk penjelekan nama pribadi mereka. Karena itu, hubungannya dengan hampir semua teman seperjuangan lama-lama ambruk. Hanya persahabatannya dengan Engels yang tetap bertahan. Sejak tahun 1860-an Engels mampu menyediakan kiriman uang bulanan tetap bagi Marx, sehingga 20 tahun terakhir keluarga Marx relatif bebas dari kesulitan ekonomis. Tahun-tahun terakhir hidupnya begitu sepi. Jenny, istrinya yang menyertai selama 40 tahun, meninggal pada 2 Desesmber 1881 setelah mengidap penyakit tanpa pengobatan yang cukup. Marx sendiri tidak dapat mengantar ke pemakamannya karena sedang sakit parah.

Sosok Marx setelah istrinya meninggal memang semakin lemah. Pada suatu pagi, 14 Maret 1883, Marx telah terbujur kaku di atas kursi depan meja belajarnya. Layar kehidupan telah tetutup baginya, tetapi sulit mengatakan kalimat yang sama bagi ide-ide yang ditinggalkannya. Engels, sahabat yang paling memahami Marx sepanjang hidupnya, dalam pidato dukanya memberikan gambaran ringkas, bahwa “Karl adalah orang yang paling dibenci, tetapi juga paling dikasihi banyak orang pada zamannya”.

C. Memahami Pemikiran Karl Marx
Seperti diketahui, pemikiran Karl Marx mengalami tahap-tahap perkembangan seiring usia dan problem-problem sosial yang mengitarinya. Karena itu, banyak ahli membagi pemikiran Marx menurut tingkat usia: Marx Muda dan Marx Tua. Masalahnya, apakah antara keduanya terdapat kontinuitas atau diskontinuitas? Louis Althusser dalam Pour Marx (1965), berpendapat bahwa pemikiran Marx Muda dan Marx Tua terjadi diskontinuitas, potongan (coupure) yang tajam. Marx pra-1846 adalah humanis, Marx pasca 1845 anti humanis atau ilmiah. Menurut F. Magnis-Suseno, pendapat itu dipengaruhi oleh pandangan strukturalis Althusser dan kecurigaan komunisme tulen terhadap filsafat Marx Muda, yang saat itu juga Althusser menjadi anggota komite sentral Partai Komunis Prancis.

Banyak juga para ahli yang menekankan kontinuitas antara pemikiran Marx Muda dan Marx Tua, seperti pernah diutarakan Jen Y-ves Calves SJ dalam La Pensee da Karl Marx (1956), Anthony Giddens dalam Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (1986), dan Franz Magnis-Soseno dalam Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999).
Dari dua pendapat kelompok ahli tadi, tampaknya tulisan ini akan mengikuti anggapan kedua, yang akan memotret pemikiran Marx Muda dan Marx Tua sebagai suatu kontinuitas atau kesinambungan.

1. Marx Muda: Dari Dialektika Materialis Sampai Praksis Revolusioner
Seperti diurai di atas, bahwa Marx setiba di Berlin sangat terpesona pada filsafat Hegel dan langsung bergabung dengan Club Young Hegelian. Meski pada akhirnya Marx berbalik mengkritik Hegel, namun sampai akhir hayatnya ia mengakui bahwa Hegel seorang pemikir besar yang temasyhur. Sampai di hari tuanya ia dengan bangga mengakui, bahwa pemikirannya ditentukan oleh Hegel. Karena itu, untuk memahami secara utuh pemikiran Marx, lebih awal kita harus memahami beberapa unsur kunci dalam filsafat Hegel.

Dalam literatur filsafat Jerman, Hegel dianggap sebagai puncak pemikiran sekaligus perlambang idealisme Jerman, setelah Schelling, Fichte dan Kant. Yang membedakan filsafat Hegel dari filosof-filosof lain bukanlah apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel mengetahui adalah proses di mana obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama dan selesai. Dengan kata lain, pengetahuan/realitas tak ubahnya sebuah ongoing proses, yang selalu disangkal atau dinegasi. Semua realitas atau pengetahuan saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Itulah yang disebut Hegel sebagai Dialektika.
Dari sini dapat dipahami, bahwa salah satu aspek penting berpikir dialektis adalah totalitas. Dengan artian, seluruh yang ada di dalamnya memiliki unsur-unsur saling bernegasi, saling berkontradiksi dan saling bermediasi, yang umunya dikenal dengan tahap, tesis, antitesis dan sintesis.

Dialektika sebagai wujud pengetahuan manusia merupakan realitas yang sedang aktif dan terus bergerak: dari sesuatu yang tidak sempurna menuju yang sempurna, dari pengetahuan sederhana ke pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut (sering juga disebut roh absolut) merupakan titik akhir filsafat yang dilebur dari segala fenomen pengalaman dan kesadaran. Semua unsur dunia, sejarah, penghayatan diri, pikiran, manusia, seni, agama, filsafat berhenti dan mengendap dalam pengetahuan absolut.
Hegel percaya, bahwa kekuatan yang mendorong perubahan sejarah dalah munculnya pengetahuan absolut yang menginisaisi kesempurnaan manifestasi ide-ide. Sehingga Hegel dan beberapa pengikutnya sampai pada satu asumsi, bahwa struktur sosial dan politik negara Prussia merupakan suatu perwujudan ide-ide. Di sini Marx dan para Hegelian muda yang kritis, menolak ajaran-ajaran gurunya yang sudah diterimanya. Karena bangunan politik negara Prussia yang dianggap Hegel sebagai pengejawantahan ide-ide yang menjunjung tinggi rasionalitas (melawan absolutisme penguasa) dan kebebasan (hak asasi manusia) tidak terwujud, bahkan makin konservatif dan otoriter. Namun demikian, Marx tetap menggunakan analisa dealektik Hegel dalam mengembangkan teori dan filsafatnya, tetapi dia menolak idealisme Hegel dan menggantinya dengan pendekatan materialistik.

Gagasan pokok yang diambil oleh Karl Marx dari Hegel, yaitu terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa segala sesuatu berkembang terus. Dua karakteristik dialektika Hegel ini kemudian digunakan Marx untuk perspektif lain, sebab teori asal hukum dialektika hanya berlaku terbatas pada dunia abstrak yang mengambil wadah dalam pikiran manusia. Marx justru membalik dialektika itu ke dalam dunia yang nyata (real), materi atau dunia benda konkrit. Dengan kata lain, segala sesuatu bersifat rohani merupakan hasil dari materi, bukan sebaliknya.
Dialektika materialisme yang mendasari kritik Marx terhadap idealisme Hegel, sebetulnya telah diintrodusir oleh Ludwig Feuerbach (1804-1872) dalam Das Wessen des Christentum (Essence of Chrsitianity): sebuah buku yang menimbulkan banyak protes dan kemarahan dari kaum Gereja, pada 1841. Dalam bukunya, Feuerbach mengakui filsafat Hegel adalah puncak rasionalisme modern, tetapi dalam suasana semacam ini dominasi agama, yang dalam terminologi Hegel disebut roh absolut, tetap mewarnai kehidupan, sehingga dunia materi khususnya “manusia” tidak ditempatkan pada martabat semestinya.

Feuerbach mengakui metode Hegel mengandung unsur pembebasan manusia melalui proses penyadaran roh yang kontinyu. Tapi pembebasan ini menurut Feuerbach tidaklah cukup, karena pikiran adalah tesis, sedang kenyataan (sebagai antitesis) tempatnya juga dalam pikiran. Artinya, all that real is rational, all that rational is real. Padahal menurut Feuerbach, yang nyata hanyalah materi, sedang pikiran (meski dalam bentuk yang paling murni) hanyalah merupakan alienasi dari kenyataan materil (alam). Karena itu, ide-ide yang menjelma dalam kesadaran (concience) tidak lain dari pernyataan alam, Singkatnya, ide menyusul alam dan bukan alam menyusul ide.
Pengandaian itulah yang mendasari “kritik agama” Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi sebaliknya Tuhan adalah proyeksi atau ciptaan angan-angan manusia. Namun manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri, sehingga manusia merasa takut dan perlu menyembah dan menghormati Tuhan. Disinilah agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, yang pada gilirannya manusia mengalami hambatan dalam merealisasikan hakekatnya yang sosial yang berimplikasi pada sikap-sikap intoleran dan fanatik. Keterasingan semacam itu, bagi Feuerbach, tidak dapat diakhiri tanpa meniadakan agama. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya. Teologi harus diganti menjadi antropologi: suatu agama tanpa Tuhan tapi agama cinta kasih. Namun, bagi Marx kritik agama Feuerbach tidak akan membebaskan manusia dari keterasingan, sebab pendekatan itu tidak praktis. Agama sebenarnya hanyalah gejala sekunder, penyebab keterasingan paling mendasar adalah struktur-struktur dalam masyarkat yang dikonstruksi oleh sistem ekonomi. Karena itu, yang terpenting bukan lagi memahami keterasingan, tapi bagaimana menghapusnya. Orientasi filsafat tidak hanya melulu berkutat pada bagaimana cara memahami atau menginterpertasi dunia, tapi yang terpenting bagaimana cara mengubahnya. Pada titik ini, lewat dialektika material yang dipungut dari Hegel dan Feuerbach, Marx mencanangkan filsafat sebagai praksis revolusioner.

2. Materialisme Historis: Fase Kematangan Pemikiran Marx
Dalam beberapa bagian tadi sudah disebutkan, bahwa agama bukanlah faktor mendasar yang menyebabkan keterasingan manusia, melainkan secara dominan disebabkan oleh kelas-kelas dalam masyarakat: kelas yang satu menindas kelas lainnya. Karena itu, keterasingan tidak cukup diatasi hanya dengan membubarkan agama, tetapi harus melalui perjuangan kelas.

Istilah “kelas” sebenarnya tidak didefinisikan secara tegas oleh Marx, tetapi dalam beberapa karyanya Marx sering menggunakan istilah “kelas” yang secara eksplisit selalu merujuk pada penggolongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi.

Bertolak dari interpretasi ini, Marx menurunkan tesis sejarah perkembangan masyarakat ke alam empat tahap: pertama, masyarakat komunal primitif, yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat sederhana. Alat-alat itu bukan milik perseorangan, tetapi milik komunal. Keadaan ini tidak berlangsung lama. Sebab, masyarakat mulai menciptakan alat-alat baru yang dapat memperbesar produksi. Periode zaman batu telah beralih pada penggunaan tembaga dan besi. Tentu, mau tak mau, kondisi semacam ini akan mengakibatkan perubahan sosial: pembagian kerja dalam produksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang mulai berkembang, dan keperluan produksi pun juga meningkat, sehingga dibutuhkan kaum pekerja dalam rangka produksi. Di sinilah mulai tercipta hubungan produksi dalam masyarakat komunal itu.

Kedua, masyarakat perbudakan (slavery). Dalam masyarakat ini, hubungan tercipta berkat hubungan produksi antara pemilik alat produksi dengan tenaga kerja. Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, upah budak/pekerja di bawah standar, dan pada saat yang sama pemilik alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Tapi akhirnya, budak sadar akan kedudukannya (manfaat tenaganya). Timbul ketidakpuasan yang kemudian menyulut perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.

Ketiga, masyarakat feodal. Perkembangan di tingkat ini bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilikan alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat—puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis—yaitu kelas feodal yang menguasai hubungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud.

Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor/bidang usahanya lewat pendirian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksinya yang semakin bertambah. Fenomena baru ini tidak dapat dibendung kehadirannya dan mendorong terbentuknya sistem kapitalis, yang menghendaki terhapusnya feodalisme.

Keempat, masyarakat kapitalis. Hubungan produksi dalam sistem masyarakat ini didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan kaum buruh, yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya. Fenomena baru dalam sistem kapitalis ini adalah adanya pembaharuan pabrik-pabrik, mesin-mesin dimodernisasi dengan menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran hasil produksi semakin ketat, sementara upah dan kesejahteraan yang didambakan kaum buruh tidak kunjung datang.

Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, terdapat dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan: kelas bawah/proletar yang terdiri dari kaum buruh/pekerja dan kelas borjuis yang terdiri dari para majikan atau pemilik alat-alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak hingga akhirnya lahir pertentangan kelas.

Kelima, masyarakat sosialis. Tahap perkembangan ini merupakan formulasi akhir dari lima tahap perkembangan sejarah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberikan kebebasan bagi manusia dalam mencapai harkatnya yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Dengan lain kata, sebuah sistem yang menginginkan terhapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.

Setelah memahami sejarah perkembangan masyarakat, struktur masyarakat manakah yang membidani lahirnya keterasingan? Marx menunjuk masyarakat kapitalis. Sebab, keterbagian masyarakat ke dalam kelas atas dan bawah, majikan dan buruh, borjuis dan proletar, otomatis menunjuk masyarakat pada fungsinya dalam proses produksi. Kelas atas yang dihuni oleh para majikan memiliki alat-alat kerja: pabrik, mesin dan tanah. Kelas bawah yang dihuni oleh kaum buruh hanya memiliki tenaga yang dijual kepada kelas atas. Dengan demikian, hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan.

Bertolak dari analisa ini, kelas atas adalah kelas yang kuat dan kelas bawah adalah kelas yang lemah. Kelas atas dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka, bukan sebaliknya. Kelas bawah yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh para kapitalis. Jadi, dalam sistem kalpitalis hubungan antara kelas atas dan kelas bawah adalah hubungan kekuasaan: yang berkuasa adalah kelas atas, para kapitalis, kaum borjuasi yang memiliki modal dan alat-alat produksi, sedang yang dikuasai adalah kelas bawah, kaum proletar atau para buruh. Dalam pola hubungan ini eksploitasi tidak dapat dihindarkan. Kelas atas bisa memanfaatkan pekerjaan kelas bawah untuk survive. Sementara kelas bawah diproyeksikan untuk mengerjakan apa yang menguntungkan kelas atas, bukan sebaliknya.

Sistem produksi kapitalis yang membidani lahirnya kelas atas dan kelas bawah, kini tidak hanya tercermin dalam bidang ekonomi tapi juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx yang mendasari asumsi ini adalah negara kelas: negara dikuasai—secara langsung atau tidak langsung—oleh kelas atas atau orang-orang yang menguasai bidang ekonomi.

Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah seperti yang diimpikan Plato sebagai macro-antrophos, subyek besar yang bisa memayungi dan mengatur masyarakat tanpa pamrih, tapi tidak lebih sebagai perpanjangan tangan kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Negara bukanlah wasit yang netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Sebagaimana ditulis Friedrich Engel, “Negara….. bertujuan untuk mempertahakan sayarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa”.
Dalam perspektif ini, maka negara adalah lawan masyarakat kecil. Karena itu, orang kecil tidak perlu mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga orang kecil. Bahkan dalam meomen-momen tertentu, negara memungkinkan untuk memodifikasi kepentingan kelas atas seolah-seolah menjadi kepentingan umum. Selubung semacam ini disebut Marx sebagai ideologi.

Konsep “Ideologi” yang diintrodusir Marx menunjuk pada ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah terhadap sesuatu yang semestinya tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi.

Dalam beberapa karyanya, Marx memberikan contoh argumentasi kapitalisme yang khas ideologis. Misalnya, kapitalisme mengklaim sebagai sistem sosial-ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese dan sangat menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju serta memberi imbalan atas setiap prestasi. Tapi kapitalisme mengabaikan kesamaan tidak mungkin terjadi. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh, ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan, tetapi karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.

Kritik ideologi Marx tidak hanya diproyeksikan untuk merobek selubung kapitalisme, tetapi dapat digunakan untuk menganalisis struktur kekuasaan dalam masyarakat, termsuk yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurutnya, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Begitu juga agama, ia hanya dapat memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang tabah menerima “nasib” atau “salibnya”, sehingga rakyat kecil terbuai dan lupa untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Sebaliknya, mereka malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, sutau sikap yang justru menguntungkan kelas-kelas yang menindas.

Pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat dan seni juga ikut andil mensukseskan kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia bersedia menerima kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Tuntutan moral agar kita bersikap ikhlas dan tidak mau menang sendiri, secara efektif juga dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya.

Mengapa agama, moralitas, nilai-nilai budaya dan sebagainya selalu dan dengan sendirinya menguntungkan kelas-kelas atas? Menurut Marx, “pikiran kelas penguasa sampai kapan pun sesak dengan hasrat untuk berkuasa. Di sini, selain sebagai kekuatan material masyarakat, kelas berkuasa juga berusaha menjadi kekuatan spiritual masyarakat”. Mengapa demikian? Karena hanya kelas-kelas yang “menguasai sarana-sarana produksi material yang sekaligus menguasai sarana-sarana produksi spiritual”. Hanya kelas-kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kalaupun orang-orang kecil mempunyai pengertian sendiri (seperti masyarakat Jawa diwakili dalam wayang oleh para punakawan), pengertian itu tidak dapat disebarluaskan sehingga masyarakat yakin bahwa nilai-nilai orang-orang kraton lebih tinggi (dan para punakawan hanyalah abdi para ksatria). Pada umumnya nilai-nilai resmi masyarakat adalah nilai-nilai kelas-kelas atas.

Sampai di sini kita dapat memahami, bahwa kenyataan yang paling menentukan dalam sejarah perubahan dan perkembangan masyarakat adalah struktur kelas-kelas sosial. Kelas-kelas itu lahir dan terbentuk tidak dengan sendirinya, tapi merupakan usaha manusia untuk mengamankan dan mempertahankan hidupnya. Sehingga lahirlah kelas atas sebagai kelas penindas, dan kelas bawah sebagai kelas yang ditindas.

Untuk menghapus penindasan tersebut, menurut Marx, dibutuhkan hadirnya tatanan baru dalam masyarakat, yaitu sosialisme: sebuah sistem masyarakat yang meniscayakan adanya penghapusan hak milik pribadi. Marx percaya, hal ini pasti terjadi. Dalam banyak tulisannya Marx memperlihatkan, bahwa keruntuhan kapitalisme bukan sekedar ilusi, tetapi merupakan hukum sejarah obyektif. Pada titik ini, Marx mengklaim bahwa sosialismenya bersifat ilmiah. Klaim ini berangkat dari satu pengandaian bahwa sosialisme tersebut didasarkan pada pengetahuan tentang hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Pengetahuan itulah yang disebut “materialis sejarah”.
Dalam pandangan Marx, kapitalisme dengan segala kontradiksi internalnya yang akut, tidak akan dapat bertahan dan segera mengarah pada kehancurannya. Kontradiksi yang dimaksud Marx adalah kenyataan bahwa kapitalisme di satu pihak menciptakan proletariat sebagai sumber eksploitasi, tetapi di lain pihak proletariat sebagai ciptaan kapitalisme adalah kelas yang akan mengubur kapitalisme. Kesadaran rasa senasib dan sepenanggungan dalam kelas proletariat, makin lama makin mengkristal dan menjadi semangat juang yang kokoh dan tak terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri mati. Mereka akan memberontak dan melakukan revolusi sosialis, yang dapat membeaskan manusia dari keterasingan dan melahirkan struktur masyarakat tanpa kelas (clasless society), bukan revolusi seperti Revolusi Prancis yang hanya membebaskan manusia dari penghisapan feodal yang kemudian melahirkan struktur kekuasan baru yang mewujud dalam kekuasan kaum borjuasi.

Revolusi sosialis yang diluskikan Marx, pertama-tama dilakukan dalam ranah politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk memproteksi akses kaum kapitalis agar tidak memakai kekayaan dan fasilitas yang masih mereka kuasai serta untuk mencegah kemungkinan revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara.

Apabila perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Dengan demikian, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai “panitia untuk mengurus kepentingan borjusi” tidak mempunyai dasar lagi. Bukan berarti negara telah ‘dihapus’, tapi menjadi layu dan mati sendiri, kemudian lahirlah sosialisme dan komunisme; suatu keadaan masyarakat tanpa kelas pasca penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.

D. Implikasi Pemikiran Marx
1. Terhadap Agama
Diakui atau tidak, filsafat Marx yang materialistis telah membawa dampak ateistik dalam perilaku masyarakat dunia. Dan Marx sendiri sejak awal kehadirannya dalam dunia filsafat mengaku sudah menjadi ateis. Dalam tesis doktornya di Universitas Jena sambil mengutip ucapan Promeatheus—dewa yang melakukan makar terhadap Zeus—bahwa ia tidak mau melepaskan sikap fasiknya dan tidak mau mengakui adanya Allah serta melakukan ibadah kepada ilah-ilah.

Dalam beberapa tulisannya, Marx mengkategorikan agama sebagai penunjang kepentingan kelas atas. Dari sinilah bermula segala kritik Marx, karena dilihatnya para pendeta dan pembesar gereja telah bersekutu dengan penguasa represif. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan penderitaan massa. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama telah memainkan peranan di luar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama bukannya mendukung perubahan sosial yang akan membahagiakan lapisan mayoritas, tapi sebaliknya menjadi alat legitimasi yang menguntungkan segelintir elite. Pada tempat inilah—di luar pembahasan yang yang bersifat teologis—Marx menyebut agama dan penganjur agama sebagai pendukung status quo, dan dari sana Marx mengumandangkan bahwa “agama adalah candu masyarakat”.

2. Terhadap Komunisme
Masyarakat komunis merupakan tatanan masyarakat yang diramalkan Marx akan meruntuhkan tatanan masyarakat kapitalis. Meski prediksi itu tidak berbanding lurus dengan kenyataan, harus diakui bahwa komunisme saat ini telah menjelma sebagai salah satu ideologi dunia dengan pengikut separuh penduduk bumi. Ideologi ini menjelma sebagai universum symbolicum yang melegitimasi lahirnya Rusia, Cina dan yang lain. Mereka menyebut diri setia dengan beberapa tesis-tesis dasar Karl Marx, meski mereka juga tetap bertengkar memperebutkan kebenaran ideologi dan melontarkan tuduhan revisioner satu sama lain. Namun di tengah-tengah perkembangan dunia, kaum komunis tidak pernah melupakan cita-cita awalnya, yaitu merebut hegemoni dunia dalam rangka tercapainya masyarakat sosialis. Untuk maksud itu, tidak jarang revolusi diterjemahkan dengan mempersiapkan kekuatan militer dan senjata-senjata pemusnah peradaban. Semangat untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan mengembalikannya pada posisi yang semestinya, kenyataannya justru sering berbalik menjadi pemicu lahirnya genocide dan pelanaggaran HAM.

3. Terhadap Perkemabangan Gerakan Buruh
Sampai saat ini, Marx adalah “tuhan” bagi gerakan politik kaum buruh. Pemikirannya yang tidak bermaksud sekedar memaparkan sebauah ajaran filosofis, tapi mengarah pada tindakan praksis, revolusi proletariat, telah menginisiasi lahirnya organisasi-organisasi kaum buruh.


4. Terhadap Filsafat Modern dan Kontemporer

Seperti telah banyak diurai, pemikiran Marx yang diacukan untuk tujuan praksis adalah untuk membunuh filsafat. Namun, tujuan tidak itu ternyata tidak dapat menemui kenyataan. Yang terjadi justru pemikirannya menjadi motor yang sangat menentukan dalam filsafat modern. Sartre adalah sosok yang dapat diambil sebagai contoh. Filosof abad 20 ini menggeluti filsafat eksistensialisme lebih dari separuh usianya. Di akhir hayatnya, ia mengakui keunggulan Filsafat KarlMarx: I consider Marxisme the one philosohy of our time wich we caonnot go beyond.

Filsafat modern atau bahkan kontermporer kembali dipenuhi oleh premis-premis yang pernah dilontarkan Marx. Ini bisa dilihat dengan munculnya usaha-usaha kreaatif dari filosof yang tergabung dalam Neo-Marxisme dan Sekolah Frankfurt, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan Eric Fromm.
Di antara titik balik yang penting dari analisis Marx terhadap masyarakat kapitalis adalah tesis bahwa masayarakat Barat dewasa ini identik dengan masayarakat industri yang sakit karena menuju pada arah yang berdiemnsi tunggal (one dimension man), yaitu masyarakat yang represif dan totaliter. Pokok soal ini menjadi kritik Herbert Marcuse yang pisau analisisnya merupakan resonansi filosofis dari Karl Marx. []
read more “Memahami Pemikiran Karl Marx : Sekedar Pengantar”

Golput: Gerakan Opoisi Rakyat

Pengantar

Pilihan politik untuk tidak memilih (non-voting behaviour) atau yang lebih populer dengan Golongan Putih (Golput), akhir-akhir ini menjadi fenomena politik Indonesia yang cukup mengejutkan. Dari berbagai pelaksanaan pilkada dan pemilu, Golput memperlihatkan angka yang fantastis. Dalam pilkada di Jabar, Golput mencapai 32,6% atau 9.130.604 jiwa mengalahkan suara dari yang katanya pemenang pilkada yaitu Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebesar 7.287647 pemilih. Pilkada DKI-Jakarta juga memiliki prosentasi melebihi tiga puluh persen, yaitu 39,2% atau 2.241.003 jiwa, mengalahkan pemenang (2.010.545). Tidak berbeda dengan Pilkada Jawa Tengah, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih adalah golput. (Kompas, 02 Juli 2008).

Fenomena demikian juga terulang lagi di Jawa Timur. Lihat saja, hasil perhitungan suara pilgub Jatim, secara umum GOLPUT di Jatim mencapai 38,3% atau 11.153.406 jiwa dari total jumlah pemilih 29.062.718. Jadi yang memilih hanya 17.014.256 plus 895.046 suara tidak sah. Prosentasenya melebihi dua pemenang yang boleh mengikuti putaran kedua (Soekarwo-Syaifullah Yusuf, 26,43% atau 4.498.332 atau Khofifah-Mudjiono, 24,82% atau 4.223.089). Bahkan kalau jumlah pemilih keduanya dijumlah (hanya 8,7 juta) masih jauh di bawah angka Golput (Kompas, 13 Nopember 2008).
Pada Pemilu 2004, jumlah pendukung Golput 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34 persen terhadap total pemilih terdaftar. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu, seperti Partai Golkar 24.480.757 (16,54 persen), PDI-P 21.026.629 (14,21 persen), dan PKB 11.989.564 (8,10 persen). Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU 23 April-4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan haknya 124.449.038 (83 persen), suara yang sah 113.498.755, dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81 persen).

Inilah perolehan Golput terbesar sepanjang sembilan kali pemilu di Indonesia sejak 1955. Pada pemilu 1999 angka Golput hanya 10,4 persen, sedangkan pada Pemilu 1955, angka Golput tertinggi selama ini, hanya 12,34 persen. Di DKI Jakarta, barometer politik Indonesia, dari 6.461.572 pemilih terdaftar, Golput meraih angka tertinggi 33,20 persen atau 2.144.971, PKS 15,24 persen (985.031), Partai Demokrat 14.06 persen (908.246), PDI-P hanya 9,00 persen (581.806), Partai Golkar 5,56 persen (359.122) (Fadjroel Rachman, 2005).

Berdasarkan analisa dari Litbang Kompas (02/07/2008), kecenderungan Golput akan semakin meningkat pada Pemilu 2009. Hal ini bertolak pada kecenderungan partisipasi pemilih yang makin menurun dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 1999 angka partisipasi Pemilu mencapai 90,91%, dan pada tahun 2004 menurun menjadi 77,64% dan pada pemilihan presiden meningkat menjadi 78,03%., dapat diprediksikan atau dimungkinkan bahwa prosentase partisipasi tahun 2009 akan makin menurun. Atau dapat dikatakan Golput akan makin tinggi di tahun 2009, yaitu sekitar 38-45% bahkan bisa menembus 50% atau lebih.

Tingginya angka Golput dari berbagai babakan Pemilu dan Pilkada, sekali lagi adalah fenomena menarik dan mengejutkan. Sebab, Golput yang tanpa jadwal kampanye dari KPU, bahkan dilarang oleh undang-undang untuk mengumpulkan massa, tanpa iklan di media, tanpa sokongan dana negara dan pengusaha, Golput tetap menunjukkan eksistensi dan konsistensinya. Golput juga tak pernah menyewa lembaga survei atau polling untuk mendukung keberadaannya. Golput bergiat serba sporadis, dengan sumber daya terbatas, memanfaatkan ruang publik yang mungkin diraih, bahkan terus dihantam parpol, lembaga survei, LSM, dan analis politik partisan, ternyata Golput mengalahkan semua partai peserta Pemilu dan Pilkada secara nasional.

Tentu, eksistensi dan konsistensi Golput dalam setiap babakan pilkada dan pemilu mengundang perdebatan khalayak ramai. Hampir setiap ruang diskusi di mailing list (milist), talk show, seminar, diskusi, debat di TV dan halaman-halaman media massa penuh sesak dengan “menu” Golput. Bersamaan dengan itu, pro-kontra pun mengalir. Pihak yang pro, beranggapan bahwa Golput adalah pilihan politik rasional dan demokratis. Pilihan Golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara--dengan bersikap Golput--membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun (Hendardi, 2007). Sedangkan pihak yang kontra, memandang Golput sebagai sikap anti-demokrasi. Asumsi ini diamini oleh Wapres, Jusuf Kalla. Menurutnya, pemilu memang merupakan hak, bukan kewajiban. Tetapi, jika hak itu tidak dipakai, maka itu bertentangan dengan demokrasi (Lihat, http://www.kapanlagi.com/k/ Golput%anti% demokrasi).

Lepas dari dua perdebatan yang menempatkan Golput ke dalam dua kutub secara biner, yaitu Golput sebagai bagian demokrasi vs anti demokrasi, tulisan ini hendak melihat Golput sebagai gerakan oposisi sosial yang konsisten dan memiliki ekspektasi besar terhadap masa depan demokrasi sekaligus mosi ketidakpercayaan terhadap parpol maupun capres-cawapres peserta Pemilu yang hanya menjadikan Pemilu sebagai sarana legitimasi dan konsolidasi kekuasasaan dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru.


Golput dan Gerakan Sosial: Tinjaun Teoritis


A.Golput (Non-Voting Behaviour)
1. Golput dalam Sejarah Politik Indonesia

Golput (non-voting behaviour) dalam konteks politik Indonesia memiliki rentangan sejarah yang panjang. Setidaknya, sejarah itu bisa dilacak pada pemilihan umum 1971, pada saat pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia. Dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo, penasihat khusus Soeharto dalam bidang intelejen, mengepalai unit Operasi Chusus (Opsus) selama beberapa tahun, memegang posisi sebagai Ajudan Pribadi Presiden selama hampir 10 tahun dan kemudian menjadi Menteri Penerangan pada masa pemerintahan Soeharto.

Pikiran Ali dapat dilacak dalam 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan. Di sana terdapat gagasan-gagasan kontra-revolusi. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep bahwa rakyat akan menyibukan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam masayarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahun 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki peran lagi dalam politik. Bahkan, bagaimanapun juga, gagasan ”massa mengambang” lebih diilhami oleh persepsi kepasifan politik massa dalam sistim 2 partai demokrasi parlementer Barat pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an (Rudi Hartono, 2007).

Salah satu capaian terpenting rezim Orde Baru adalah mentransformasi massa rakyat dari yang semula merupakan kekuatan politik aktif yang terorganisir menjadi apa yang dinamakan massa mengambang. Jika salah satu ciri utama Orde Lama adalah partisipasi rakyat secara massif dan terlembaga, maka Orde Baru justeru dicirikan dengan pasivisme yang akut. Transformasi ini diawali dengan pembantaian massal secara militeristik, dilanjutkan dengan korporatisasi institusi-institusi politik dan setelah itu diformalkan melalui sebuah kebijakan politik yang diberi nama depolitisasi. Keseluruhan praktek tersebut mengental dalam sebuah diskursus yang pada hakekatnya anti terhadap politik massa –praktek politik yang manjadikan rakyat kebanyakan seperti buruh, petani, kelompok miskin kota, nelayan, dll. sebagai ‘aktor politik’ berikut manifestasinya dalam mobilisasi massa, gerakan sosial, atau partisipasi popular yang luas dan terlembaga (broad-based participation).

Dalam pandangan Orde Baru, politik massa yang melibatkan kelompok miskin dan kurang terdidik akan membawa instabilitas atau kekacauan. Persepsi tentang massa rakyat sebagai gerombolan yang tidak dapat dikontrol dibangun oleh Orde Baru guna menjustifikasi tindakan-tindakan opresif terhadap mereka. Makna sejati rakyat (people) kemudian dikaburkan oleh konotasi yang mendua: sebagai silent and ignorant mass dan sebagai uncontrollable chaotic horde. Motif di balik pencitraan ini adalah untuk membuat massa rakyat secara politik acuh sehingga memungkinkan kelompok-kelompok bisnis besar, termasuk militer, mengontrol mereka dengan mudah (Katyasungkana, 2000: 263-264). Selama masa Orde Baru praktis massa rakyat seperti buruh, petani, nelayan, atau kelompok miskin kota, dimarjinalisasi dari arena politik. Bahkan sampai batas tertentu paham negara integralistik yang mengajarkan bahwa rakyat atau masyarakat telah melebur ke dalam entitas negara (Simanjuntak, 1999) –sehingga konsekuensinya hak dan kepentingannya disubordinasikan dibawah tujuan-tujuan superordinat negara seperti pembangunan, stabilitas, persatuan, dll.—memang nampaknya diyakini dan dipraktekan secara sungguh-sungguh oleh penguasa Orde Baru. Jikapun rakyat dapat berpartisipasi, hal itu terjadi melalui mobilisasi untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan negara yang telah disterilkan dari politik (praktis), misalnya program nasional keluarga berencana atau pemilu.

Tak senang pada cara pemerintah campurtangan dalam urusan internal partai politik, dan menentang penggunaan kekerasan di pedesaaan untuk mendapatkan dukungan bagi partai pemerintah, maka kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar pemilihan umum resmi, pemberian suara informal. Kelompok ini, yang sekali lagi dipimpin oleh Arief Budiman, dinamakan Golongan Putih (GOLPUT). Nama tersebut, menurut Arief Budiman, mengacu pada rekomendasi kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Tak bisa tidak, bagaimanapun juga, memberikan kesan pada orang bahwa tekanan moralistik tersirat dalam namanya. Putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Kelompok GOLPUT aktif terutama di Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta.

Kelompok-kelompok marjinal khususnya buruh industri dan petani di desa-desa juga mulai melancarkan perlawanan dalam bentuk aksi-aksi protes sporadis terhadap kebijakan pemerintah maupun praktek-praktek bisnis pengusaha yang merugikan mereka. Aksi mogok buruh-buruh Gajah Tunggal dan aksi-aksi protes warga Kedungpring (kasus Kedung Ombo) pada paruh kedua dasawarsa ‘80-an seperti mengawali babak baru dalam gerak perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Kendati belum terorganisir sebagai sebuah gerakan perlawanan dan tuntutannya tidak diarahkan pada kekuasaan Orde Baru serta kebijakan pembangunannya, namun perkembangan tersebut cukup mengganggu kekuasaan terutama karena ia secara langsung menyerang diskursus massa mengambang yang dikonstruksi Orde Baru. Sekaligus perkembangan ini memberi dimensi populis dalam gerakan demokratisasi ketika itu, yang sebelumnya masih didominasi oleh elit oposan dan LSM.

Yang tidak kalah penting dalam konteks perlawanan terhadap diskursus tersebut adalah munculnya kelompok-kelompok studi mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK yang mengambil posisi membela kelompok-kelompok marjinal tersebut. Kelompok-kelompok studi ini secara aktif membela buruh, petani, dan kelompok miskin kota dalam kasus-kasus yang mereka hadapi (advokasi), dan bahkan tidak sedikit kelompok studi yang secara terang-terangan memang ingin membangun kekuatan politik rakyat. Terlepas dari kritik ideologis terhadap format baru gerakan mahasiswa tersebut yang dianggap masih terjebak dalam panggung-panggung mitologi (Radjab, 1991), namun aktivitas mereka ketika itu sangat berkontribusi pada dekonstruksi diskursus anti politik massa Orde Baru.

Dalam sejarah sistem politik Orde Baru, Partai politik hanya di jadikan mesin politik bagi rejim yang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik adalah mereka yang sama sekali terpisah dengan massa, mereka lebih nampak sebagai elit yang memerintah dan menjadi corong program pemerintah. Sehingga, dengan semakin menguatnya sentimen kemuakan atas perilaku Orde Baru di tingkatan grassroot, muncul apatisme terhadap parpol. Karean itu, Golput pada era pasca Orba cenderung bukan lagi disemangati oleh perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, melainkan oleh kekecewaan yang mendalam terhadap sikap para pemimpin pemerintahan, para elite politik dan partai yang dinilai mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Beberapa kasus “pembangkangan” dan eksodus kader partai tertentu ke partai lain atau membentuk partai baru – yang pada Pemilu 1999 mencapai 48 partai - dapat menjadi indikasi hal tersebut.

Demikian pula pada Pemilu 2004, secara umum Golput lebih dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Di samping itu, terjadinya polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat pun mendorong terjadinya golput atas dasar simbiosis antara patron dan client-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Di samping itu, secara empirik terdapat pula fakta bahwa sebagian masyarakat kita sangat loyal pada partainya, hingga sukar beralih ke partai lain (Gandung Isamnto, 2008).

Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalaupun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patron-client yang masih sangat kuat serta tipologi budaya politik karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih pindah ke Golkar. Bahkan di antara partai islam sekalipun, bagi orang PKB secara psikologis bukan persoalan mudah mau menyeberang ke PAN atau PPP. Begitu pula sebaliknya, sangat sulit orang yang darahnya PAN beralih ke PKB. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Di tengah fenomena inilah maka – di samping golput – muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging voters, yang beberapa diantaranya cenderung kritis, non-ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saatnya mereka tidak menemukan pilihan, mereka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayainya untuk membawa perubahan.


2.Golput dan Demokrasi
Dalam teori politik, golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena essensi filosofis inilah maka demokrasi – yang bersendi kedaulatan rakyat, dan yang setiap orang legally equal hak-hak politiknya – memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih itu.

Dan karena demokrasi mengagungkan vox populii sebagai vox Dei, maka menjadi golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Ya, hanya gerakan moral, karena hanya itulah yang mampu dilakukan rakyat kebanyakan.

Dengan demikian, harusnya para pemimpin membuka mata hatinya manakala menemukan kenyataan golput, berapapun besarnya. Karena golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim; (2) ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada; (3) kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem; serta (4) putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.

Dalam konteks sosiologi politik, dijelaskan empat sebab sikap golput, yaitu: (1) apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya; (2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah, dsb., sehingga mereka cenderung hopeless; (3) alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada (Gandung Ismanto, 2008).

B.Gerakan Sosial

1.Pendekatan dan Basis Teori
Studi tentang gerakan sosial senantiasa berkutat pada dua pendekatan yang saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.

Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat (Slamet Santoso, 2007).

Bertolak dari dua pendekatan di atas, tulisan ini hendak menggunakan pendekatan kedua. Dengan demikian gerakan sosial merujuk pada definisi yang dideskripsikan dalam Encyclopedia of Marxist:
“By social movement is meant an autonomous and self-conscious movement of people united by support of some ideal, rather than by pursuit of the material self-interest of its members (though material interests are generally not too far under the surface) … It is frequently difficult to draw a line between a social movement and other classic types of social formation, based on class, race, rationality or religion which have dominated politics since time immerorial…. Social movement can not be formally defined according to structure or lack of….. structure; Social movement are dynamics entities which essentially go through all sorts of stages and transformations…”

Melalui definisi ini, gerakan sosial didukung oleh gagasan ideal ketimbang pengejaran kepentingan material. Dengan demikian, pada dasarnya, gerakan sosial senantiasa berkaitan dengan perubahan menuju suatu arah yang dianggap ideal oleh para penggeraknya. Dengan bahasa lain, gerakan sosial dan perubahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, untuk mempelajari perubahan, maka penting pula mamahami gerakan sosial.

Asal usul gerakan sosial dapat ditelusuri dari reaksi para pemikir Perancis, dalam mana kerumunan dan massa melakukan tindakan luar biasa terhadap kaum bangsawan. Studi tentang asal usul gerakan sosial setidaknya harus menyebut sejumlah nama, yakni, Marx dan Engels, Gramsci serta Lenin (Tarrow, 1994). Marx dan Engels memberikan kontribusi penjelasan pada akar dari gerakan sosial yakni struktur sosial. Sementara Gramsci dan Lenin memberikan sumbangan tentang peranan politik (political opportunity), organisasi dan kebudayaan dalam melahirkan gerakan atau aksi sosial. Kebudayaan merupakan faktor penting dalam revolusi menurut pandangan Gramsci. Gerakan, baginya, hanya bersenjatakan organisasi, tetapi “intelektual kolektif” yang pandangan dan pikirannya tersampaikan ke masa pekerja melalui kader pemimpin menengah.

Setelah Perang Dunia II, sejumlah teori di atas merupakan landasan dalam mempelajari gerakan sosial. Seiring dengan kemerdekaan berbagai negeri bekas kolonial di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika, maka peranan klas sosial terasa dominan menjadi perhatian. Ketertarikan mereka didorong antara lain dengan keberhasilan petani dalam mengubah Tiongkok (dari Nasionalis menjadi Komunis) dan perjuangan terus menerus petani Vietnam dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini (Adas, 1991).

Studi gerakan sosial generasi kedua tidak lagi berfokus pada buruh di negara Eropa, melainkan pada petani di negeri dunia ketiga. Di antara tokohnya adalah Barrington Moore, Eric Wolf, Joel Migdal dan Jeffrey M. Paige serta James Scott. Perhatian para teoritisi pada gerakan petani adalah dugaan dibalik “ketenangan” gerakan petani ada sesuatu yang bergolak di dalamnya. Studi mendalam di Sadakan, Scott menemukan bukti bahwa gerakan petani sudah bergeser menjadi gerakan yang disebutnya “everyday of resistence”. Dengan gerakan yang tidak terlalu mencolok, ia berhasil membuktikan ada sesuatu di balik meredupnya gerakan petani (Scott, 1985).

Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terjadi gelombang “bunga” di berbagai wilayah Amerika dan Eropa. Yang dimaksud dengan gelombang bunga di sini adalah “pemberontakan” generasi muda atas nilai-nilai yang sudah mapan di Amerika dan Eropa dengan mengusung antara lain gagasan mengenai anti perang, anti diskriminasi, hak asasi manusia, dan berbagai gaya hidup bebas lainnya.

Di Amerika Serikat, terdapat gejala baru dalam analisis gerakan sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju analisis yang didasarkan pada non-kelas. Epstein (1991) menjuluki perubahan ini sebagai bias dari teori gerakan sosial baru (New Social Movement). Disebut gerakan sosial baru karena pada umumnya tidak berhubungan dengan gerakan buruh. Gerakan sosial baru merupakan bentuk lebih lanjut dari gerakan reduksionis atau jenis esensialisme yang lain. Bentuk gerakan sosial baru di antaranya gerakan lingkungan, gerakan aksi langsung dan pemisahan diri dari perjuangan kelas. Di dunia ketiga terdapat gerakan LSM—yang dianggap bermasalah karena dipandang mengucilkan gerakan buruh (Faqih, 2003:125).

Organiasi gerakan sosial didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri untuk bertindak, concern untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain (Tarrow, 1991:18).
Konsep gerakan sosial yang digunakan di sini bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh Smelser (1962) sebagai perilaku kolektif, di mana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan menyusun kembali struktur sosial yang dipandang rusak. McPhil berpendapat bahwa perilaku kolektif secara relatif berlangsung spontan ketimbang direncanakan, tidak berstruktur, diorganisir, emosional ketimbang rasional dan menyebar dengan kasar, bentuk komunikasi yang paling dasar seperti reaksi yang tak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial, dan keyakinan yang digeneralisir ketimbang jaringan komunikasi formal dan informal yang telah dibentuk sebelumnya. Dalam tulisan ini gerakan sosial justru dilihat sebaliknya, yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi, yang diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.

Gerakan sosial pada dasarnya tidaklah meledak secara tiba-tiba, tetapi ia melewati tahapan tertentu yang rasional. Smelser (1962) melalui teori perilaku kolektif (collective behavior theory) memperkenalkan sejumlah 6 (enam) tahapan suatu gerakan sosial yang terjadi dalam masyarakat yakni (1) structural conduciveness, (2) structural strain, (3) spread of a generalized belief, (4) precipitating factors, (5) mobilization of participators for action, dan (5) operation of social control.

Teori strukturasi Giddens (1984) pada dasarnya merupakan bangunan kerangka ontologis dalam melakukan kajian-kajian terhadap tindakan-tindakan manusia, termasuk gerakan sosial. Teori ini menawarkan pemikiran tentang hakekat tindakan-tindakan manusia dan lembaga-lembaga sosial serta hubungan antara tindakan dengan lembaga-lembaga sosial. Dimunculkan konsep duality of structure (dualitas struktur) yang sekaligus merupakan kata kunci dan inti dari teori ini. Diyakini bahwa antara obyek dengan subyek, antara struktur dan agen bukanlah sebuah dualisme yang dikotomik, melainkan dualitas di mana antara satu dengan yang lain terdapat hubungan dialektik untuk kemudian saling mempengaruhi. Di dalamnya terdapat hubungan dialektik untuk proses produksi dan reproduksi dalam waktu yang sama.

Menurut Giddens, struktur berada pada posisi sebagai sebuah medium yang sekaligus juga outcomes (hasil) suatu agensi. Kemudian, struktur-struktur selain dapat muncul sebagai constraining, juga dapat mewujud sebagai enabling. Dalam pandangan Giddens, struktur dimaknakan sebagai generative rules and resources. Aturan-aturan dapat bersifat institutif dan normatif. Sedangkan sumber-sumber lebih mengisyaratkan distribusi sumber otoritatif (kewenangan politik) dan sumber produktif (material/ekonomi) (Bryant, 1991). Di sisi lain dikatakan, struktur pada dasarnya hanyalah semacam prosedur umum saja yang menjadi acuan dan bingkai orientasi bagi tindakan sosial. Karena itu, struktur relatif bebas dari kungkungan ruang dan waktu. Sementara tindakan-tindakan sosial (agensi) yang terus muncul dalam kehidupan sehari-hari selalu berlangsung dalam konteks ruang dan waktu. Dengan demikian, para aktor (atau agen) senantiasa bertindak sesuai dengan situasi actual yang muncul saat itu (Giddens, 1984:17, 25).

Derivasi teori Strukturasi Giddens ini akhirnya juga sering digunakan dalam memahami gerakan sosial yang berdampak pada kekerasan kolektif. Perdebatan yang muncul biasanya berkaitan dengan apakah gerakan sosial itu dilihat sebagai sesuatu yang bersifat inherent/inherency atau contingent/contingency. Sesuatu disebut inherent apabila ia akan selalu terjadi sehingga aktualitas potensi itu hanya dapat dihalangi, namun tidak dapat dihilangkan. Dalam kerangka inheransi gerakan sosial dianggap sebagai suatu fenomena yang normal, sebagai salah satu alternatif untuk menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan tercapainya kepentingan politik. Oleh karena itu pertanyaan yang biasa diajukan oleh para pendukung teori kontingensi adalah’Why not’ : mengapa konflik atau gerakan sosial tidak muncul sesering yang seharusnya. Kekerasan atau perilaku agresif lainnya secara biologis dianggap sebagai sesuatu yang inheren pada diri manusia, sebagaimana juga terdapat pada hewan/binatang yang lain (Lorenz, 1996).

Sebaliknya sesuatu dianggap contingent apabila ia tergantung pada tersedianya kondisi-kondisi tidak lazim (unusual conditions) yang terjadi secara acak, yaitu kondisi-kondisi yang mengandung banyak unsur kebetulan. Kontingensi adalah sesuatu yang tidak biasa atau tidak rutin sehingga memerlukan penjelasan. Meskipun begitu, kontingensi bukan berarti indeterminasi (indeterminacy). Sebab, kondisi-kondisi umum seperti kenaikan atau penurunan misalnya, memungkinkan terjadinya suatu gerakan sosial. Dengan begitu, kontingensi bukanlah sesuatu yang bersifat acak (random) atau suatu peristiwa (gerakan sosial) yang selalu tidak dapat dikontrol keberadaannya (Eckstein, 1980l: 138-140).

Di sini dapat dikatakan bahwa inherensi melihat gerakan sosial sebagai suatu tindakan yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang ada dalam pelaku kekerasan, sementara kontingensi menjelaskan gerakan sosial dari faktor-faktor yang ada diluar pelaku kekerasan. Betapapun, dalam kehidupan nyata, antara inherensi dengan kontingensi sering sekali bercampur dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu, bagi Eckstein, persoalannya bukanlah apakah sesuatu (gerakan sosial) itu inherensi atau kontingensi, tetapi apakah suatu subjek itu dianggap pada dasarnya inherensi atau kontingensi. Persoalannya bukanlah mana yang benar diantara keduanya, namun mana yang lebih dapat menjelaskan suatu peristiwa (gerakan sosial) secara lebih baik. Inherensi dan kontingensi bukanlah persoalan kubu-kubu filosofis yang perlu dipertentangkan satu sama lain, namun lebih sebagai persoalan pilihan strategi penelitian (Webb, 1986:169-174).

Cara pandang yang menempatkan gerakan sosial sebagai sesuatu yang bersifat inherensi atau kontingensi pada dasarnya sejajar dengan persoalan utama dalam perdebatan teoritis di kalangan ilmuwan sosial, yakni apakah suatu kekerasan kolektif itu diletakkan dalam tataran agen atau struktur. Dalam tataran agen, gerakan sosial dipahami sebagai suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mereprokdusi dan mentransformasikan realitas sosial. Para pelaku dipahami sebagai individu yang relatif otonom untuk melakukan tindakan dan aksi politik kolektif dipahami sebagai produk dari pilihan rasional seseorang. Oleh karena itu, penjelasan terhadap gerakan sosial kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor dalam” para pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor dan kendala struktural serta proses-proses sosial lainnya. Beberapa penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis agen ini diantaranya dilakukan oleh Rule ketika menjelaskan perilaku/aksi kolektif dan oleh Berk ketika menggunakan pendekatan permainan untuk menjelaskan kerusuhan massa (Berk, 1978:159-168).

Sebaliknya, dalam tataran struktur, gerakan sosial dipahami sebagai hasil dari proses hubungan-hubungan sosial atau struktur dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai “imperatif struktural” yang terinteralisasi dalam diri individu, sehingga orang berperilaku selaras dengan –atau fungsional terhadap- sistem. Oleh karena itu, penjelasan terhadap gerakan sosial kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor luar”. Cara pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor-faktor minat, motivasi dan strategi. Tindakan agen (dalam bentuk gerakan sosial kolektif) dianggap tidak lebih dari artefak atau produk struktur (Sztomka, 1994:25-34). Beberapa penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis struktur ini di antaranya dilakukan oleh Gurr Scockpol, Hagopian dan Davies (Gurr, 1970:3-58, Sckocpol, 1973:99-119, Davies, 1968).

Secara ontologis, persoalan agen dan struktur pada dasarnya mempertanyakan sejauhmana tindakan-tindakan individu merupakan proses sosialisasi dan produk struktur yang hanya dapat dikontrol secara minimal, dan sejauhmana tindakan-tindakan tersebut merupakan produk pilihan rasional yang sengaja diambil oleh individu sebagai subjek yang otonom. Secara epistemologis persoalan agen dan struktur pada dasarnya berkisar pada upaya untuk menjelaskan suatu efek peristiwa politik tertentu sebagai konsekuensi tindakan dan niat aktor yang terlibat atau produk dari struktur dan hubungan-hubungan sosial dimana para aktor tersebut berada.

Kajian gerakan sosial dalam perspektif sejarah telah dilakukan oleh Kartodirdjo (1984) dengan mengangkat kasus pemberontakan petani Banten di akhir abad ke-19. Studi ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah gerakan sosial, pemberontakan petani Banten dilatarbelakangi dan ditentukan oleh banyak faktor struktural dan saling mengait satu sama lain. Ia berada dalam konteks perkembangan kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan agama. Kartodirdjo menemukan lima faktor penjelas mengenai skala gerakan pemberontakan petani banten pada 1888, yakni: (1) di Banten terdapat satu tradisi untuk memberontak; (2) di daerah itu terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus-menerus, yang bersumber pada keadaan di mana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan previlase mereka; (3) dampak penetrasi kolonial secara berangsur-angsur mengacaukan bagian-bagian kehidupan agama; (4) ada pimpinan revolusioner, yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan itu; dan (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengarahkan operasi-operasi dan mobilisasi sumber-sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.

Gerakan menentang kolonialisme ditulis oleh Adas (1988). Ia melakukan studi tentang pemberontakan penduduk pribumi suatu negeri dalam menentang kolonialisme Eropa. Ada lima konteks yang diangkat Adas, yakni, (1). Perang Jawa 1825-1830, gerakan Pai Maire di Selandia Baru 1864-1867, Kebangkitan Munda dan Birsa di Chota Nagpur (India Tengah Timur) 1899-1900, pemberontakan Maji-Maji di Afrika Timur-Jerman (Tanzania) 1905-1906, dan pemberontakan Sya San di Burma-Inggris 1930-1932.

Dengan menggunakan perspektif relative deprivation (teori deprivasi relatif) yang ditawarkan Gurr (1970), Adas melihat bahwa sebagai hasil kolonisasi, kelompok, ide-ide, obyek-obyek, dan pola organisasi baru diperkenalkan ke dalam masyarakat non-Barat, di mana mereka mengganti dan mengancam kelompok pribumi yang telah berdiri sebelumnya. Di dalam situasi ini, sejumlah individu dan kelompok di antara orang yang dikolonisasi merasa adanya kesenjangan yang timbul antara apa yang diharapkan dalam segi status dan perolehan materi dengan apa yang mereka miliki atau kapasitas mereka untuk memperolehnya. Menurut Adas, pemberontakan masyarakat pribumi terhadap kolonialisme Eropa itu telah melahirkan nabi-nabi yang dianggap sebagai dewa penyelamat dan atau ratu adil; Tampillah Diponegoro di Jawa (pangeran dan raja penyelamat), Sya San di Burma (dari pemberontakan nasionalis hingga menjadi calon Budha), Kinjikitili di Tanzania (wahyu pemberontakan), Birsa di Chota-India (Keajaiban Munda), dan Te Ua Haumene di Selandia Baru (Nabi perdamaian).

2.Jenis-Jenis Gerakan Sosial
Gerakan sosial tentu saja tak pernah seragam, meski bertolak dari asumsi teoritis dan pendekatan yang sama bahkan bisa tumpang-tindih. Sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan. Jenis-jenis gerakan sosial tersebut diklasifikasikan oleh Satrio Arismunandar (2008) sebagai berikut:

Pertama, Gerakan Protes. Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.

Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.

Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.

Ketiga, Gerakan Religius. Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

Kelima, Gerakan Perpindahan. Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

Keenam, Gerakan Ekspresif. Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

Ketujuh, Kultus Personal. Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.


Golput Sebagai Gerakan Oposisi Rakayat

A.Rasionalitas Golput
Pemilu 2009 sudah di depan mata. Ada 34 partai yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 18 partai baru dan 16 yang merupakan partai lama. Gejala kelahiran partai-partai baru yang begitu bersemangat ternyata memperlihatkan derajat yang berbeda dengan tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik. Satu pihak tuntutan untuk berdirinya jumlah parpol terus meningkat, sedangkan di pihak lain kepercayaan massa rakyat terhadap partai politik kian menipis. Hal itu kita cermati sebagai gejala bertambahnya apatisme rakyat terhadap kehidupan politik dan menguatnya gerakan golput.

Seperti sudah diurai dalam bab sebelumnya, bahwa berbagai pelaksanaan pilkada pada tahun 2008 dan pemilu 2004 silam, Golput mencatat perolehan angka yang fantastis. Bahkan, menurut analisa Kompas (02/07/2008), Golput pada Pemilu 2009 akan makin tinggi di tahun 2009, yaitu sekitar 38-45% bahkan bisa menembus 50% atau lebih. Hal ini bertolak pada kecenderungan partisipasi pemilih yang makin menurun dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 1999 angka partisipasi Pemilu mencapai 90,91%, dan pada tahun 2004 menurun menjadi 77,64% dan pada pemilihan presiden meningkat menjadi 78,03%., dapat diprediksikan atau dimungkinkan bahwa prosentase partisipasi tahun 2009 akan makin menurun.

Jika ditelisik lebih jauh, Golput sebenarnya bukanlah landmark baru dalam sejarah politik dunia. Di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat (AS), Perancis, Jerman, dan Inggris sangat terbuka ruang kebebasannya bagi golput. Bahkan pada pemilu Parlemen Eropa baru-baru ini, golput telah mencapai hampir 70 persen, meningkat ketimbang sebelumnya. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa golput juga suatu pilihan politik yang rasional dan demokratis. Rasionalitas ini menurut Hendardi (Kompas, 06/04/07), dapat dipahami dalam beberapa hal berikut:

Pertama, pilihan golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu yang lain. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara--dengan bersikap golput--membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun. Kedua, munculnya golput di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an adalah ekspresi sikap kritis Arief Budiman dan kawan-kawan atas penguasa negara yang otoriter. Mereka memalingkan muka dari pelaksanaan pemilu. Kini, adanya suara golput juga patut diposisikan sama seperti sebelumnya terhadap mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan negara. Ketiga, menyimak perilaku politisi dalam lima tahun terakhir, baik di parlemen maupun pemerintahan di pusat dan daerah, telah banyak mengecewakan warga negara yang telah memilih sebelumnya. Sebagian warga telah mampu menyimpulkan, elite politik dalam kampanye pemilu tak lebih dari menabur janji dan menelan janji mereka setelah terpilih. Dari sinilah rasionalitas golput menemukan jawabannya. Keempat, dengan sedikit evaluasi dari aturan main, penyelenggaraan dan peserta pemilu, banyak kelemahan yang terjadi tanpa pertanggungjawaban politik, apalagi hukum. Atas dasar ini, golput memalingkan suara untuk tak memberikan kepada calon-calon yang akan duduk pada lembaga-lembaga negara, bahkan "demokrasi versi elite negara". Kelima, tak jarang pula dalam menyerang golput, beberapa kalangan "menjual" omongan mengenai keharusan untuk memilih "yang terbaik dari yang terburuk". Atas keharusan ini, golput perlu dibaca sebagai sikap mengambil jarak dari pikatan para juru kampanye tersebut. Di sinilah arti pentingnya dengan mempertahankan ruang-ruang lain yang tak selalu tunggal.

Rudi Hartono (2007) dalam tulisannya Gerakan Golput dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia juga mencoba mengurai kecederungan masyarakat untuk Golput dalam beberapa proses Pemilu dan Pilkada, di antaranya disebabkan oleh beberapa hal; Pertama, kegagalan rejim-rejim paska reformasi dalam menyelesaikan beberapa persoalan krusial seperti kesejahteraan rakyat, pemulihan krisis ekonomi, pengadilan Soeharto, penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, dan persoalan korupsi. Kedua, kecenderungan Oligarkhi partai politik; partai politik menjadi sarang para politisi elit yang hanya ingin kekuasaan, meniti karir, dan transaksi kursi kekuasaan. Ketiga, tidak adanya upaya mereformasi Internal partai, sebenarnya paska reformasi hampir semua parpol membawa jargon reformasi dan demokrasi tetapi itu hanya sebatas jargon tapi parpol tetap saja bobrok di mata rakyat. Keempat, merosotnya sistem demokrasi prosedural itu sendiri, proses politik rutin dan reguler ini ternyata hanya di manfaatkan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan (power) yang dikenal dengan istilah elit politik. Mayoritas orang merasa hanya di jadikan mesin pengumpul suara, sedangkan situasi paska pemilu sepenuhnya di kendalikan oleh para pemegang modal kekuasaan tersebut untuk mengamankan dan melancarkan kepentingannya

B.Gerakan Oposisi Sosial
Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa pada babakan Pilkada Pemilu berikutnya Golput tampaknya tak hanya akan menjadi pilihan politik, tapi juga menjadi gerakan oposisi sosial untuk mempengaruhi sebuah proses politik. Apapun jenis gerakan dan kecenderuangannya, pilihan politik Golput tentu saja sangat rasional untuk memecah kebuntuan politik yang sedang mewabah di Indonesia. Bagaimanapun, proses transisi politik di Indonesia memiliki tipikal berbeda dengan proses demokratisasi di negara lain. Jika di negara-negara lain kekuatan politik lama dipangkas sampai ke akar-akarnya, di Indonesia justru dibiarkan melakukan metamorfosis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekuatan lama (Orde baru) masih terus mewarnai proses politik di Indonesia paska reformasi, dan dalam pemilu 2004 Golkar kembali jadi partai pemenang pemilu meskipun perolehan suaranya menurun. Rezim-rezim yang berkuasa paska reformasi, gagal menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak seperti; Pengadilan Soeharto, kesejahteraan, pelanggaran HAM, dan terutama pemulihan ekonomi.

Dalam konteks ini, Golput berdiri sebagai garda terdepan demokrasi radikal. Di mana demokrasi dipahami sebagai a system that creates the economic, political, and cultural conditions for the full development of the individual (Erich Fromm, Escape From Freedom, 1994). Artinya, Golput merupakan manifestasi dari mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi sekaligus mosi ketidakpercayaan terhadap parpol maupun capres-cawapres peserta Pemilu. Golput adalah rallying point gerakan sosial yang melakukan oposisi sosial. Gerakan sosial itu membasiskan oposisinya pada beragam masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena itu, golput memegang legitimasi politik (kekuasaan de facto) sedangkan negara hanya memperoleh legitimasi hukum (kekuasaan de jure) dari Pemilu. Bila kekuasaan de facto ini dikonsolidasi dan dikomunikasikan secara terencana, baik lokal, nasional, internasional, negara neo-Orba tanpa legitimasi politik tidak akan bertahan lama (Rachman, 2005). Hal ini bisa dipahami bagaimana Soeharto digulingkan sekitar enam bulan setelah Pemilu 1997, di mana Golkar menang 70 persen lebih dan TNI/Polri memiliki kursi gratis 100 buah.

Pemerintahan paska reformasi tentu tak ada ubahnya dengan pemerintahan fasis Orde Baru. Ia selalu menjadikan pemilu sebagai sarana legitimasi dan konsolidasi kediktatoran dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru. Kini, untuk "menyenangkan" pemilihnya yang kecewa, sejumlah parpol berteriak menyuarakan oposisi politik di parlemen, tapi hasilnya, tentu pembusukan demokrasi.
Ini tentu berbeda dengan oposisi sosial yang secara langsung membasiskan diri pada publik melalui gerakan golput. Bila oposisi sosial berhasil menjadi sarana, pendidikan politik demokrasi, konsolidasi kekuatan politik demokrasi dan gerakan sosial, maka oposisi sosial akan menjadi embrio kekuasaan politik demokrasi sepanjang 5-10 tahun ke depan untuk mengisi lima arena transisi demokrasi, pendewasaan masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, supremasi hukum, dan aparatus negara.

Dengan demikian, golput adalah gerakan oposisi sosial yang menjadi basis perkembangan dan pertahanan demokrasi radikal terhadap kekuatan politik hasil Pemilu. Mengikuti Antonio Gramsci, golput adalah upaya membangun war of position dari dan dalam masyarakat sipil, berhadapan dengan negara anti-demokrasi, sebelum memutuskan war of maneuver untuk menegakkan hegemoni politik demokrasi pada lima arena transisi demokrasi. Di sini, Golput hanyalah salah satu sarana Lebih dari itu, perjuangan demokrasi bukan hanya dalam putaran lima tahun sekali, melainkan perjuangan setiap hari.


DAFTAR PUSTAKA

Ismanto, Gandung. “Memahami Eksistensi Golput dalam Demokrasi”, dalam http://lanskap-artikel.blogspot.com/2008/10/memahami-eksistensi-golput-dalam.html, . Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:15
Fromm, Erich. 1994. Escape From Freedom, Princeton University Press: New Jersy
Kompas, 13 Nopember 2008
Kompas, 02 Juli 2008
Hendardi. “Golput, Bagian dari Demokrasi”, dalam Kompas, 6 April 2007
Rachman, M, Fadjroel. “Golput, Pemenang Pemilu 2004”, dalam Kompas, 15 April 2005.
Arismunandar, Satrio. “Lebih Jauh Mengenal Gerakan Sosial”, dalam http://netsains.com/2008/03/lebih-jauh-mengenal-gerakan-sosial/. Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:30
www.kapanlagi.com/k/ Golput%anti% demokrasi). Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:34
Santoso, Slamet. “Gerakan Sosial dan teori Hegemoni”, http://ssantoso. blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-teori-hegemoni.html. Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:32
Hartono, Rudi. 2007. “Gerakan Golput, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia”, dalam http://lmnd.wordpress.com/2007/09/12/gerakan-golput-dan-masa-depan-demokrasi-di-indonesia-2/. Di akses tanggal 27 Desember 2007, 17:05
Adas, Michael. Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali Press.
------------------- 1991. ”South Asia Resistance in Comparative Perspective” dalam Douglas Haynes dan Gyan Prakash (Eds), Contesting Power: Resistance and Everyday Social Relations in South Asia. Bombay: Oxford University Press..
Bryant, C.G.A., dan David Jary. 1991. Gidden’s Theory of Structuration; A Critical Appreciation. London and New York: Routledge
Dijk, C. Van, tt. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Encyclopedia Of Marxist, dalam www.marxist.org
Fakih, Mansour, Antonius M Indrianto, dan Eko Prasetyo. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan. Pegangan Untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia. Insist: Yogyakarta.
Gonggong, Anhar. Dari Patriot ke Pemberontak: Abdul Qahar Mudzakkar dan Pemberontakan DI/TII di Surawesi Selatan. Grasindo: Jakarta.
Gurr, Ted, Robert. 1970. Why Men Rebel. New Jersy: Princeton University Press
Giddens, Anthony. 1984. The Consitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press.
Jackson, Karl D. Tt. Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasants: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press.
Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Daraul Islam Aceh. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Scott, James C. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
------------------- Weapons of the Weak: Everiday Forms of Peasant Resisrence. New Haven: Yale University Press.
Smelser, Neil J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Hagen Paul.
Tarrow, Sidney. 1994. Power in Motion: Social Movement, Collective Action and Politics. New York: Cambridge University Press.
Lorenz, Konrad. 1996. On Aggression. New York : Harcourt, Brace & Word, Inc.
Eckstein, Harry. 1980. “Theoritical Approaches to Explaining Collective Political Violence” dalam Ted R.Gurr (ed) Hanbook of Political conflict : Theory and Research. New York: The Free Press.
Webb, Keith. 1986.”Conflik: Inherensi and Contingent Theories”, dalam World Encyclopedia of Peace, Volome 1, Oxford: Pergamon.
Berk, Ricard A. 1978. “A Gaming Approach to Crowd Behavior”, dalam L.E. Genevie (eds), Collective Behavior and Social Movements. Ithaca, IL: Peacock Publishers.
Sztompka, Piotr. 1994. “Evolving Focus on Human Agency in Contemporary Social Theory”, dalam Piotr Sztomka (eds), Agency and Structure: Reorientingsocial Theory. Switzerland: Gordon and Breach.
Daviess, James C. 1968. “Toward a Theory of Revolution”, dalam Roy C.Macridisand Bernard E. Brown (ed), Comparative Politics: Notes and Readings, Homewood: The Dorsey Press.
.
read more “Golput: Gerakan Opoisi Rakyat”

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web