Golput: Gerakan Opoisi Rakyat

Pengantar

Pilihan politik untuk tidak memilih (non-voting behaviour) atau yang lebih populer dengan Golongan Putih (Golput), akhir-akhir ini menjadi fenomena politik Indonesia yang cukup mengejutkan. Dari berbagai pelaksanaan pilkada dan pemilu, Golput memperlihatkan angka yang fantastis. Dalam pilkada di Jabar, Golput mencapai 32,6% atau 9.130.604 jiwa mengalahkan suara dari yang katanya pemenang pilkada yaitu Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebesar 7.287647 pemilih. Pilkada DKI-Jakarta juga memiliki prosentasi melebihi tiga puluh persen, yaitu 39,2% atau 2.241.003 jiwa, mengalahkan pemenang (2.010.545). Tidak berbeda dengan Pilkada Jawa Tengah, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih adalah golput. (Kompas, 02 Juli 2008).

Fenomena demikian juga terulang lagi di Jawa Timur. Lihat saja, hasil perhitungan suara pilgub Jatim, secara umum GOLPUT di Jatim mencapai 38,3% atau 11.153.406 jiwa dari total jumlah pemilih 29.062.718. Jadi yang memilih hanya 17.014.256 plus 895.046 suara tidak sah. Prosentasenya melebihi dua pemenang yang boleh mengikuti putaran kedua (Soekarwo-Syaifullah Yusuf, 26,43% atau 4.498.332 atau Khofifah-Mudjiono, 24,82% atau 4.223.089). Bahkan kalau jumlah pemilih keduanya dijumlah (hanya 8,7 juta) masih jauh di bawah angka Golput (Kompas, 13 Nopember 2008).
Pada Pemilu 2004, jumlah pendukung Golput 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34 persen terhadap total pemilih terdaftar. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu, seperti Partai Golkar 24.480.757 (16,54 persen), PDI-P 21.026.629 (14,21 persen), dan PKB 11.989.564 (8,10 persen). Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU 23 April-4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan haknya 124.449.038 (83 persen), suara yang sah 113.498.755, dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81 persen).

Inilah perolehan Golput terbesar sepanjang sembilan kali pemilu di Indonesia sejak 1955. Pada pemilu 1999 angka Golput hanya 10,4 persen, sedangkan pada Pemilu 1955, angka Golput tertinggi selama ini, hanya 12,34 persen. Di DKI Jakarta, barometer politik Indonesia, dari 6.461.572 pemilih terdaftar, Golput meraih angka tertinggi 33,20 persen atau 2.144.971, PKS 15,24 persen (985.031), Partai Demokrat 14.06 persen (908.246), PDI-P hanya 9,00 persen (581.806), Partai Golkar 5,56 persen (359.122) (Fadjroel Rachman, 2005).

Berdasarkan analisa dari Litbang Kompas (02/07/2008), kecenderungan Golput akan semakin meningkat pada Pemilu 2009. Hal ini bertolak pada kecenderungan partisipasi pemilih yang makin menurun dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 1999 angka partisipasi Pemilu mencapai 90,91%, dan pada tahun 2004 menurun menjadi 77,64% dan pada pemilihan presiden meningkat menjadi 78,03%., dapat diprediksikan atau dimungkinkan bahwa prosentase partisipasi tahun 2009 akan makin menurun. Atau dapat dikatakan Golput akan makin tinggi di tahun 2009, yaitu sekitar 38-45% bahkan bisa menembus 50% atau lebih.

Tingginya angka Golput dari berbagai babakan Pemilu dan Pilkada, sekali lagi adalah fenomena menarik dan mengejutkan. Sebab, Golput yang tanpa jadwal kampanye dari KPU, bahkan dilarang oleh undang-undang untuk mengumpulkan massa, tanpa iklan di media, tanpa sokongan dana negara dan pengusaha, Golput tetap menunjukkan eksistensi dan konsistensinya. Golput juga tak pernah menyewa lembaga survei atau polling untuk mendukung keberadaannya. Golput bergiat serba sporadis, dengan sumber daya terbatas, memanfaatkan ruang publik yang mungkin diraih, bahkan terus dihantam parpol, lembaga survei, LSM, dan analis politik partisan, ternyata Golput mengalahkan semua partai peserta Pemilu dan Pilkada secara nasional.

Tentu, eksistensi dan konsistensi Golput dalam setiap babakan pilkada dan pemilu mengundang perdebatan khalayak ramai. Hampir setiap ruang diskusi di mailing list (milist), talk show, seminar, diskusi, debat di TV dan halaman-halaman media massa penuh sesak dengan “menu” Golput. Bersamaan dengan itu, pro-kontra pun mengalir. Pihak yang pro, beranggapan bahwa Golput adalah pilihan politik rasional dan demokratis. Pilihan Golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara--dengan bersikap Golput--membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun (Hendardi, 2007). Sedangkan pihak yang kontra, memandang Golput sebagai sikap anti-demokrasi. Asumsi ini diamini oleh Wapres, Jusuf Kalla. Menurutnya, pemilu memang merupakan hak, bukan kewajiban. Tetapi, jika hak itu tidak dipakai, maka itu bertentangan dengan demokrasi (Lihat, http://www.kapanlagi.com/k/ Golput%anti% demokrasi).

Lepas dari dua perdebatan yang menempatkan Golput ke dalam dua kutub secara biner, yaitu Golput sebagai bagian demokrasi vs anti demokrasi, tulisan ini hendak melihat Golput sebagai gerakan oposisi sosial yang konsisten dan memiliki ekspektasi besar terhadap masa depan demokrasi sekaligus mosi ketidakpercayaan terhadap parpol maupun capres-cawapres peserta Pemilu yang hanya menjadikan Pemilu sebagai sarana legitimasi dan konsolidasi kekuasasaan dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru.


Golput dan Gerakan Sosial: Tinjaun Teoritis


A.Golput (Non-Voting Behaviour)
1. Golput dalam Sejarah Politik Indonesia

Golput (non-voting behaviour) dalam konteks politik Indonesia memiliki rentangan sejarah yang panjang. Setidaknya, sejarah itu bisa dilacak pada pemilihan umum 1971, pada saat pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia. Dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo, penasihat khusus Soeharto dalam bidang intelejen, mengepalai unit Operasi Chusus (Opsus) selama beberapa tahun, memegang posisi sebagai Ajudan Pribadi Presiden selama hampir 10 tahun dan kemudian menjadi Menteri Penerangan pada masa pemerintahan Soeharto.

Pikiran Ali dapat dilacak dalam 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan. Di sana terdapat gagasan-gagasan kontra-revolusi. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep bahwa rakyat akan menyibukan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam masayarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahun 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki peran lagi dalam politik. Bahkan, bagaimanapun juga, gagasan ”massa mengambang” lebih diilhami oleh persepsi kepasifan politik massa dalam sistim 2 partai demokrasi parlementer Barat pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an (Rudi Hartono, 2007).

Salah satu capaian terpenting rezim Orde Baru adalah mentransformasi massa rakyat dari yang semula merupakan kekuatan politik aktif yang terorganisir menjadi apa yang dinamakan massa mengambang. Jika salah satu ciri utama Orde Lama adalah partisipasi rakyat secara massif dan terlembaga, maka Orde Baru justeru dicirikan dengan pasivisme yang akut. Transformasi ini diawali dengan pembantaian massal secara militeristik, dilanjutkan dengan korporatisasi institusi-institusi politik dan setelah itu diformalkan melalui sebuah kebijakan politik yang diberi nama depolitisasi. Keseluruhan praktek tersebut mengental dalam sebuah diskursus yang pada hakekatnya anti terhadap politik massa –praktek politik yang manjadikan rakyat kebanyakan seperti buruh, petani, kelompok miskin kota, nelayan, dll. sebagai ‘aktor politik’ berikut manifestasinya dalam mobilisasi massa, gerakan sosial, atau partisipasi popular yang luas dan terlembaga (broad-based participation).

Dalam pandangan Orde Baru, politik massa yang melibatkan kelompok miskin dan kurang terdidik akan membawa instabilitas atau kekacauan. Persepsi tentang massa rakyat sebagai gerombolan yang tidak dapat dikontrol dibangun oleh Orde Baru guna menjustifikasi tindakan-tindakan opresif terhadap mereka. Makna sejati rakyat (people) kemudian dikaburkan oleh konotasi yang mendua: sebagai silent and ignorant mass dan sebagai uncontrollable chaotic horde. Motif di balik pencitraan ini adalah untuk membuat massa rakyat secara politik acuh sehingga memungkinkan kelompok-kelompok bisnis besar, termasuk militer, mengontrol mereka dengan mudah (Katyasungkana, 2000: 263-264). Selama masa Orde Baru praktis massa rakyat seperti buruh, petani, nelayan, atau kelompok miskin kota, dimarjinalisasi dari arena politik. Bahkan sampai batas tertentu paham negara integralistik yang mengajarkan bahwa rakyat atau masyarakat telah melebur ke dalam entitas negara (Simanjuntak, 1999) –sehingga konsekuensinya hak dan kepentingannya disubordinasikan dibawah tujuan-tujuan superordinat negara seperti pembangunan, stabilitas, persatuan, dll.—memang nampaknya diyakini dan dipraktekan secara sungguh-sungguh oleh penguasa Orde Baru. Jikapun rakyat dapat berpartisipasi, hal itu terjadi melalui mobilisasi untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan negara yang telah disterilkan dari politik (praktis), misalnya program nasional keluarga berencana atau pemilu.

Tak senang pada cara pemerintah campurtangan dalam urusan internal partai politik, dan menentang penggunaan kekerasan di pedesaaan untuk mendapatkan dukungan bagi partai pemerintah, maka kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar pemilihan umum resmi, pemberian suara informal. Kelompok ini, yang sekali lagi dipimpin oleh Arief Budiman, dinamakan Golongan Putih (GOLPUT). Nama tersebut, menurut Arief Budiman, mengacu pada rekomendasi kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Tak bisa tidak, bagaimanapun juga, memberikan kesan pada orang bahwa tekanan moralistik tersirat dalam namanya. Putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Kelompok GOLPUT aktif terutama di Jakarta, Bandung, dan Jogjakarta.

Kelompok-kelompok marjinal khususnya buruh industri dan petani di desa-desa juga mulai melancarkan perlawanan dalam bentuk aksi-aksi protes sporadis terhadap kebijakan pemerintah maupun praktek-praktek bisnis pengusaha yang merugikan mereka. Aksi mogok buruh-buruh Gajah Tunggal dan aksi-aksi protes warga Kedungpring (kasus Kedung Ombo) pada paruh kedua dasawarsa ‘80-an seperti mengawali babak baru dalam gerak perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Kendati belum terorganisir sebagai sebuah gerakan perlawanan dan tuntutannya tidak diarahkan pada kekuasaan Orde Baru serta kebijakan pembangunannya, namun perkembangan tersebut cukup mengganggu kekuasaan terutama karena ia secara langsung menyerang diskursus massa mengambang yang dikonstruksi Orde Baru. Sekaligus perkembangan ini memberi dimensi populis dalam gerakan demokratisasi ketika itu, yang sebelumnya masih didominasi oleh elit oposan dan LSM.

Yang tidak kalah penting dalam konteks perlawanan terhadap diskursus tersebut adalah munculnya kelompok-kelompok studi mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK yang mengambil posisi membela kelompok-kelompok marjinal tersebut. Kelompok-kelompok studi ini secara aktif membela buruh, petani, dan kelompok miskin kota dalam kasus-kasus yang mereka hadapi (advokasi), dan bahkan tidak sedikit kelompok studi yang secara terang-terangan memang ingin membangun kekuatan politik rakyat. Terlepas dari kritik ideologis terhadap format baru gerakan mahasiswa tersebut yang dianggap masih terjebak dalam panggung-panggung mitologi (Radjab, 1991), namun aktivitas mereka ketika itu sangat berkontribusi pada dekonstruksi diskursus anti politik massa Orde Baru.

Dalam sejarah sistem politik Orde Baru, Partai politik hanya di jadikan mesin politik bagi rejim yang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik adalah mereka yang sama sekali terpisah dengan massa, mereka lebih nampak sebagai elit yang memerintah dan menjadi corong program pemerintah. Sehingga, dengan semakin menguatnya sentimen kemuakan atas perilaku Orde Baru di tingkatan grassroot, muncul apatisme terhadap parpol. Karean itu, Golput pada era pasca Orba cenderung bukan lagi disemangati oleh perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, melainkan oleh kekecewaan yang mendalam terhadap sikap para pemimpin pemerintahan, para elite politik dan partai yang dinilai mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Beberapa kasus “pembangkangan” dan eksodus kader partai tertentu ke partai lain atau membentuk partai baru – yang pada Pemilu 1999 mencapai 48 partai - dapat menjadi indikasi hal tersebut.

Demikian pula pada Pemilu 2004, secara umum Golput lebih dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Di samping itu, terjadinya polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat pun mendorong terjadinya golput atas dasar simbiosis antara patron dan client-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Di samping itu, secara empirik terdapat pula fakta bahwa sebagian masyarakat kita sangat loyal pada partainya, hingga sukar beralih ke partai lain (Gandung Isamnto, 2008).

Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalaupun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patron-client yang masih sangat kuat serta tipologi budaya politik karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih pindah ke Golkar. Bahkan di antara partai islam sekalipun, bagi orang PKB secara psikologis bukan persoalan mudah mau menyeberang ke PAN atau PPP. Begitu pula sebaliknya, sangat sulit orang yang darahnya PAN beralih ke PKB. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Di tengah fenomena inilah maka – di samping golput – muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging voters, yang beberapa diantaranya cenderung kritis, non-ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saatnya mereka tidak menemukan pilihan, mereka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayainya untuk membawa perubahan.


2.Golput dan Demokrasi
Dalam teori politik, golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena essensi filosofis inilah maka demokrasi – yang bersendi kedaulatan rakyat, dan yang setiap orang legally equal hak-hak politiknya – memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih itu.

Dan karena demokrasi mengagungkan vox populii sebagai vox Dei, maka menjadi golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Ya, hanya gerakan moral, karena hanya itulah yang mampu dilakukan rakyat kebanyakan.

Dengan demikian, harusnya para pemimpin membuka mata hatinya manakala menemukan kenyataan golput, berapapun besarnya. Karena golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim; (2) ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada; (3) kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem; serta (4) putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.

Dalam konteks sosiologi politik, dijelaskan empat sebab sikap golput, yaitu: (1) apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya; (2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah, dsb., sehingga mereka cenderung hopeless; (3) alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada (Gandung Ismanto, 2008).

B.Gerakan Sosial

1.Pendekatan dan Basis Teori
Studi tentang gerakan sosial senantiasa berkutat pada dua pendekatan yang saling bertentangan. Pendekatan pertama adalah teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai suatu “masalah” atau disebut sebagai gejala penyakit masalah kemasyarakatan. Teori ini berakar dan dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu Fungsionalisme atau sering disebut sebagai Fungsionalisme Struktural. Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling tergantung satu sama lain dan bekerja bersama guna menciptakan keseimbangan. Dalam hal ini “keseimbangan” merupakan unsur kunci utama dengan menekankan pentingnya kesatuan masyarakat dan sesuatu yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Oleh sebab itu, gerakan sosial dianggap sebagai sesuatu yang “negatif” karena akan dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu keharmonisan dalam masyarakat.

Pendekatan kedua adalah teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai “fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, dan dikenal dengan “Teori Konflik”. Teori konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu : 1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya, 2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya, dan 3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat (Slamet Santoso, 2007).

Bertolak dari dua pendekatan di atas, tulisan ini hendak menggunakan pendekatan kedua. Dengan demikian gerakan sosial merujuk pada definisi yang dideskripsikan dalam Encyclopedia of Marxist:
“By social movement is meant an autonomous and self-conscious movement of people united by support of some ideal, rather than by pursuit of the material self-interest of its members (though material interests are generally not too far under the surface) … It is frequently difficult to draw a line between a social movement and other classic types of social formation, based on class, race, rationality or religion which have dominated politics since time immerorial…. Social movement can not be formally defined according to structure or lack of….. structure; Social movement are dynamics entities which essentially go through all sorts of stages and transformations…”

Melalui definisi ini, gerakan sosial didukung oleh gagasan ideal ketimbang pengejaran kepentingan material. Dengan demikian, pada dasarnya, gerakan sosial senantiasa berkaitan dengan perubahan menuju suatu arah yang dianggap ideal oleh para penggeraknya. Dengan bahasa lain, gerakan sosial dan perubahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, untuk mempelajari perubahan, maka penting pula mamahami gerakan sosial.

Asal usul gerakan sosial dapat ditelusuri dari reaksi para pemikir Perancis, dalam mana kerumunan dan massa melakukan tindakan luar biasa terhadap kaum bangsawan. Studi tentang asal usul gerakan sosial setidaknya harus menyebut sejumlah nama, yakni, Marx dan Engels, Gramsci serta Lenin (Tarrow, 1994). Marx dan Engels memberikan kontribusi penjelasan pada akar dari gerakan sosial yakni struktur sosial. Sementara Gramsci dan Lenin memberikan sumbangan tentang peranan politik (political opportunity), organisasi dan kebudayaan dalam melahirkan gerakan atau aksi sosial. Kebudayaan merupakan faktor penting dalam revolusi menurut pandangan Gramsci. Gerakan, baginya, hanya bersenjatakan organisasi, tetapi “intelektual kolektif” yang pandangan dan pikirannya tersampaikan ke masa pekerja melalui kader pemimpin menengah.

Setelah Perang Dunia II, sejumlah teori di atas merupakan landasan dalam mempelajari gerakan sosial. Seiring dengan kemerdekaan berbagai negeri bekas kolonial di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika, maka peranan klas sosial terasa dominan menjadi perhatian. Ketertarikan mereka didorong antara lain dengan keberhasilan petani dalam mengubah Tiongkok (dari Nasionalis menjadi Komunis) dan perjuangan terus menerus petani Vietnam dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini (Adas, 1991).

Studi gerakan sosial generasi kedua tidak lagi berfokus pada buruh di negara Eropa, melainkan pada petani di negeri dunia ketiga. Di antara tokohnya adalah Barrington Moore, Eric Wolf, Joel Migdal dan Jeffrey M. Paige serta James Scott. Perhatian para teoritisi pada gerakan petani adalah dugaan dibalik “ketenangan” gerakan petani ada sesuatu yang bergolak di dalamnya. Studi mendalam di Sadakan, Scott menemukan bukti bahwa gerakan petani sudah bergeser menjadi gerakan yang disebutnya “everyday of resistence”. Dengan gerakan yang tidak terlalu mencolok, ia berhasil membuktikan ada sesuatu di balik meredupnya gerakan petani (Scott, 1985).

Pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terjadi gelombang “bunga” di berbagai wilayah Amerika dan Eropa. Yang dimaksud dengan gelombang bunga di sini adalah “pemberontakan” generasi muda atas nilai-nilai yang sudah mapan di Amerika dan Eropa dengan mengusung antara lain gagasan mengenai anti perang, anti diskriminasi, hak asasi manusia, dan berbagai gaya hidup bebas lainnya.

Di Amerika Serikat, terdapat gejala baru dalam analisis gerakan sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju analisis yang didasarkan pada non-kelas. Epstein (1991) menjuluki perubahan ini sebagai bias dari teori gerakan sosial baru (New Social Movement). Disebut gerakan sosial baru karena pada umumnya tidak berhubungan dengan gerakan buruh. Gerakan sosial baru merupakan bentuk lebih lanjut dari gerakan reduksionis atau jenis esensialisme yang lain. Bentuk gerakan sosial baru di antaranya gerakan lingkungan, gerakan aksi langsung dan pemisahan diri dari perjuangan kelas. Di dunia ketiga terdapat gerakan LSM—yang dianggap bermasalah karena dipandang mengucilkan gerakan buruh (Faqih, 2003:125).

Organiasi gerakan sosial didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri untuk bertindak, concern untuk mengungkapkan apa yang dilihatnya sebagai klaim-klaim dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain (Tarrow, 1991:18).
Konsep gerakan sosial yang digunakan di sini bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh Smelser (1962) sebagai perilaku kolektif, di mana rakyat ikut serta dalam usaha memperbaiki dan menyusun kembali struktur sosial yang dipandang rusak. McPhil berpendapat bahwa perilaku kolektif secara relatif berlangsung spontan ketimbang direncanakan, tidak berstruktur, diorganisir, emosional ketimbang rasional dan menyebar dengan kasar, bentuk komunikasi yang paling dasar seperti reaksi yang tak berujung pangkal, rumor, imitasi, penyakit sosial, dan keyakinan yang digeneralisir ketimbang jaringan komunikasi formal dan informal yang telah dibentuk sebelumnya. Dalam tulisan ini gerakan sosial justru dilihat sebaliknya, yaitu sebagai gerakan yang diorganisir dengan tujuan, strategi dan metodologi, yang diformulasikan secara jelas dan sadar berdasarkan analisis sosial yang kuat.

Gerakan sosial pada dasarnya tidaklah meledak secara tiba-tiba, tetapi ia melewati tahapan tertentu yang rasional. Smelser (1962) melalui teori perilaku kolektif (collective behavior theory) memperkenalkan sejumlah 6 (enam) tahapan suatu gerakan sosial yang terjadi dalam masyarakat yakni (1) structural conduciveness, (2) structural strain, (3) spread of a generalized belief, (4) precipitating factors, (5) mobilization of participators for action, dan (5) operation of social control.

Teori strukturasi Giddens (1984) pada dasarnya merupakan bangunan kerangka ontologis dalam melakukan kajian-kajian terhadap tindakan-tindakan manusia, termasuk gerakan sosial. Teori ini menawarkan pemikiran tentang hakekat tindakan-tindakan manusia dan lembaga-lembaga sosial serta hubungan antara tindakan dengan lembaga-lembaga sosial. Dimunculkan konsep duality of structure (dualitas struktur) yang sekaligus merupakan kata kunci dan inti dari teori ini. Diyakini bahwa antara obyek dengan subyek, antara struktur dan agen bukanlah sebuah dualisme yang dikotomik, melainkan dualitas di mana antara satu dengan yang lain terdapat hubungan dialektik untuk kemudian saling mempengaruhi. Di dalamnya terdapat hubungan dialektik untuk proses produksi dan reproduksi dalam waktu yang sama.

Menurut Giddens, struktur berada pada posisi sebagai sebuah medium yang sekaligus juga outcomes (hasil) suatu agensi. Kemudian, struktur-struktur selain dapat muncul sebagai constraining, juga dapat mewujud sebagai enabling. Dalam pandangan Giddens, struktur dimaknakan sebagai generative rules and resources. Aturan-aturan dapat bersifat institutif dan normatif. Sedangkan sumber-sumber lebih mengisyaratkan distribusi sumber otoritatif (kewenangan politik) dan sumber produktif (material/ekonomi) (Bryant, 1991). Di sisi lain dikatakan, struktur pada dasarnya hanyalah semacam prosedur umum saja yang menjadi acuan dan bingkai orientasi bagi tindakan sosial. Karena itu, struktur relatif bebas dari kungkungan ruang dan waktu. Sementara tindakan-tindakan sosial (agensi) yang terus muncul dalam kehidupan sehari-hari selalu berlangsung dalam konteks ruang dan waktu. Dengan demikian, para aktor (atau agen) senantiasa bertindak sesuai dengan situasi actual yang muncul saat itu (Giddens, 1984:17, 25).

Derivasi teori Strukturasi Giddens ini akhirnya juga sering digunakan dalam memahami gerakan sosial yang berdampak pada kekerasan kolektif. Perdebatan yang muncul biasanya berkaitan dengan apakah gerakan sosial itu dilihat sebagai sesuatu yang bersifat inherent/inherency atau contingent/contingency. Sesuatu disebut inherent apabila ia akan selalu terjadi sehingga aktualitas potensi itu hanya dapat dihalangi, namun tidak dapat dihilangkan. Dalam kerangka inheransi gerakan sosial dianggap sebagai suatu fenomena yang normal, sebagai salah satu alternatif untuk menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan tercapainya kepentingan politik. Oleh karena itu pertanyaan yang biasa diajukan oleh para pendukung teori kontingensi adalah’Why not’ : mengapa konflik atau gerakan sosial tidak muncul sesering yang seharusnya. Kekerasan atau perilaku agresif lainnya secara biologis dianggap sebagai sesuatu yang inheren pada diri manusia, sebagaimana juga terdapat pada hewan/binatang yang lain (Lorenz, 1996).

Sebaliknya sesuatu dianggap contingent apabila ia tergantung pada tersedianya kondisi-kondisi tidak lazim (unusual conditions) yang terjadi secara acak, yaitu kondisi-kondisi yang mengandung banyak unsur kebetulan. Kontingensi adalah sesuatu yang tidak biasa atau tidak rutin sehingga memerlukan penjelasan. Meskipun begitu, kontingensi bukan berarti indeterminasi (indeterminacy). Sebab, kondisi-kondisi umum seperti kenaikan atau penurunan misalnya, memungkinkan terjadinya suatu gerakan sosial. Dengan begitu, kontingensi bukanlah sesuatu yang bersifat acak (random) atau suatu peristiwa (gerakan sosial) yang selalu tidak dapat dikontrol keberadaannya (Eckstein, 1980l: 138-140).

Di sini dapat dikatakan bahwa inherensi melihat gerakan sosial sebagai suatu tindakan yang keberadaannya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang ada dalam pelaku kekerasan, sementara kontingensi menjelaskan gerakan sosial dari faktor-faktor yang ada diluar pelaku kekerasan. Betapapun, dalam kehidupan nyata, antara inherensi dengan kontingensi sering sekali bercampur dan sulit dipisahkan. Oleh karena itu, bagi Eckstein, persoalannya bukanlah apakah sesuatu (gerakan sosial) itu inherensi atau kontingensi, tetapi apakah suatu subjek itu dianggap pada dasarnya inherensi atau kontingensi. Persoalannya bukanlah mana yang benar diantara keduanya, namun mana yang lebih dapat menjelaskan suatu peristiwa (gerakan sosial) secara lebih baik. Inherensi dan kontingensi bukanlah persoalan kubu-kubu filosofis yang perlu dipertentangkan satu sama lain, namun lebih sebagai persoalan pilihan strategi penelitian (Webb, 1986:169-174).

Cara pandang yang menempatkan gerakan sosial sebagai sesuatu yang bersifat inherensi atau kontingensi pada dasarnya sejajar dengan persoalan utama dalam perdebatan teoritis di kalangan ilmuwan sosial, yakni apakah suatu kekerasan kolektif itu diletakkan dalam tataran agen atau struktur. Dalam tataran agen, gerakan sosial dipahami sebagai suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mereprokdusi dan mentransformasikan realitas sosial. Para pelaku dipahami sebagai individu yang relatif otonom untuk melakukan tindakan dan aksi politik kolektif dipahami sebagai produk dari pilihan rasional seseorang. Oleh karena itu, penjelasan terhadap gerakan sosial kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor dalam” para pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor dan kendala struktural serta proses-proses sosial lainnya. Beberapa penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis agen ini diantaranya dilakukan oleh Rule ketika menjelaskan perilaku/aksi kolektif dan oleh Berk ketika menggunakan pendekatan permainan untuk menjelaskan kerusuhan massa (Berk, 1978:159-168).

Sebaliknya, dalam tataran struktur, gerakan sosial dipahami sebagai hasil dari proses hubungan-hubungan sosial atau struktur dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai “imperatif struktural” yang terinteralisasi dalam diri individu, sehingga orang berperilaku selaras dengan –atau fungsional terhadap- sistem. Oleh karena itu, penjelasan terhadap gerakan sosial kolektif selalu dilihat dari “faktor-faktor luar”. Cara pelaku kekerasan dan mengabaikan faktor-faktor minat, motivasi dan strategi. Tindakan agen (dalam bentuk gerakan sosial kolektif) dianggap tidak lebih dari artefak atau produk struktur (Sztomka, 1994:25-34). Beberapa penjelasan teoritis yang diturunkan dari kerangka analisis struktur ini di antaranya dilakukan oleh Gurr Scockpol, Hagopian dan Davies (Gurr, 1970:3-58, Sckocpol, 1973:99-119, Davies, 1968).

Secara ontologis, persoalan agen dan struktur pada dasarnya mempertanyakan sejauhmana tindakan-tindakan individu merupakan proses sosialisasi dan produk struktur yang hanya dapat dikontrol secara minimal, dan sejauhmana tindakan-tindakan tersebut merupakan produk pilihan rasional yang sengaja diambil oleh individu sebagai subjek yang otonom. Secara epistemologis persoalan agen dan struktur pada dasarnya berkisar pada upaya untuk menjelaskan suatu efek peristiwa politik tertentu sebagai konsekuensi tindakan dan niat aktor yang terlibat atau produk dari struktur dan hubungan-hubungan sosial dimana para aktor tersebut berada.

Kajian gerakan sosial dalam perspektif sejarah telah dilakukan oleh Kartodirdjo (1984) dengan mengangkat kasus pemberontakan petani Banten di akhir abad ke-19. Studi ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah gerakan sosial, pemberontakan petani Banten dilatarbelakangi dan ditentukan oleh banyak faktor struktural dan saling mengait satu sama lain. Ia berada dalam konteks perkembangan kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan agama. Kartodirdjo menemukan lima faktor penjelas mengenai skala gerakan pemberontakan petani banten pada 1888, yakni: (1) di Banten terdapat satu tradisi untuk memberontak; (2) di daerah itu terdapat satu aspek ketegangan yang berlangsung terus-menerus, yang bersumber pada keadaan di mana satu lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan previlase mereka; (3) dampak penetrasi kolonial secara berangsur-angsur mengacaukan bagian-bagian kehidupan agama; (4) ada pimpinan revolusioner, yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan itu; dan (5) satu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengarahkan operasi-operasi dan mobilisasi sumber-sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.

Gerakan menentang kolonialisme ditulis oleh Adas (1988). Ia melakukan studi tentang pemberontakan penduduk pribumi suatu negeri dalam menentang kolonialisme Eropa. Ada lima konteks yang diangkat Adas, yakni, (1). Perang Jawa 1825-1830, gerakan Pai Maire di Selandia Baru 1864-1867, Kebangkitan Munda dan Birsa di Chota Nagpur (India Tengah Timur) 1899-1900, pemberontakan Maji-Maji di Afrika Timur-Jerman (Tanzania) 1905-1906, dan pemberontakan Sya San di Burma-Inggris 1930-1932.

Dengan menggunakan perspektif relative deprivation (teori deprivasi relatif) yang ditawarkan Gurr (1970), Adas melihat bahwa sebagai hasil kolonisasi, kelompok, ide-ide, obyek-obyek, dan pola organisasi baru diperkenalkan ke dalam masyarakat non-Barat, di mana mereka mengganti dan mengancam kelompok pribumi yang telah berdiri sebelumnya. Di dalam situasi ini, sejumlah individu dan kelompok di antara orang yang dikolonisasi merasa adanya kesenjangan yang timbul antara apa yang diharapkan dalam segi status dan perolehan materi dengan apa yang mereka miliki atau kapasitas mereka untuk memperolehnya. Menurut Adas, pemberontakan masyarakat pribumi terhadap kolonialisme Eropa itu telah melahirkan nabi-nabi yang dianggap sebagai dewa penyelamat dan atau ratu adil; Tampillah Diponegoro di Jawa (pangeran dan raja penyelamat), Sya San di Burma (dari pemberontakan nasionalis hingga menjadi calon Budha), Kinjikitili di Tanzania (wahyu pemberontakan), Birsa di Chota-India (Keajaiban Munda), dan Te Ua Haumene di Selandia Baru (Nabi perdamaian).

2.Jenis-Jenis Gerakan Sosial
Gerakan sosial tentu saja tak pernah seragam, meski bertolak dari asumsi teoritis dan pendekatan yang sama bahkan bisa tumpang-tindih. Sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan. Jenis-jenis gerakan sosial tersebut diklasifikasikan oleh Satrio Arismunandar (2008) sebagai berikut:

Pertama, Gerakan Protes. Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.

Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua, gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.

Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.

Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.

Ketiga, Gerakan Religius. Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.

Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).

Kelima, Gerakan Perpindahan. Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.

Keenam, Gerakan Ekspresif. Jika orang tak mampu pindah secara mudah dan mengubah keadaan secara mudah, mereka mungkin mengubah sikap. Melalui gerakan ekspresif, orang mengubah reaksi mereka terhadap realitas, bukannya berupaya mengubah realitas itu sendiri. Gerakan ekspresif dapat membantu orang untuk menerima kenyataan yang biasa muncul di kalangan orang tertindas. Meski demikian, cara ini juga mungkin menimbulkan perubahan tertentu. Banyak ragam gerakan ekspresif, mulai dari musik, busana, sampai bentuk yang serius, semacam gerakan keagamaan dan aliran kepercayaan. Lagu-lagu protes pada tahun 1960-an dan awal 1970-an diperkirakan turut menunjang beberapa reformasi sosial di Amerika.

Ketujuh, Kultus Personal. Kultus personal biasanya terjadi dalam kombinasi dengan jenis-jenis gerakan lain. Gerakan sosial jenis ini berpusat pada satu orang, biasanya adalah individu yang kharismatis, dan diperlakukan oleh anggota gerakan seperti dewa. Pemusatan pada individu ini berada dalam tingkatan yang sama seperti berpusat pada satu gagasan. Kultus personal ini tampaknya umum di kalangan gerakan-gerakan politik revolusioner atau religius.


Golput Sebagai Gerakan Oposisi Rakayat

A.Rasionalitas Golput
Pemilu 2009 sudah di depan mata. Ada 34 partai yang dinyatakan lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 18 partai baru dan 16 yang merupakan partai lama. Gejala kelahiran partai-partai baru yang begitu bersemangat ternyata memperlihatkan derajat yang berbeda dengan tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik. Satu pihak tuntutan untuk berdirinya jumlah parpol terus meningkat, sedangkan di pihak lain kepercayaan massa rakyat terhadap partai politik kian menipis. Hal itu kita cermati sebagai gejala bertambahnya apatisme rakyat terhadap kehidupan politik dan menguatnya gerakan golput.

Seperti sudah diurai dalam bab sebelumnya, bahwa berbagai pelaksanaan pilkada pada tahun 2008 dan pemilu 2004 silam, Golput mencatat perolehan angka yang fantastis. Bahkan, menurut analisa Kompas (02/07/2008), Golput pada Pemilu 2009 akan makin tinggi di tahun 2009, yaitu sekitar 38-45% bahkan bisa menembus 50% atau lebih. Hal ini bertolak pada kecenderungan partisipasi pemilih yang makin menurun dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 1999 angka partisipasi Pemilu mencapai 90,91%, dan pada tahun 2004 menurun menjadi 77,64% dan pada pemilihan presiden meningkat menjadi 78,03%., dapat diprediksikan atau dimungkinkan bahwa prosentase partisipasi tahun 2009 akan makin menurun.

Jika ditelisik lebih jauh, Golput sebenarnya bukanlah landmark baru dalam sejarah politik dunia. Di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat (AS), Perancis, Jerman, dan Inggris sangat terbuka ruang kebebasannya bagi golput. Bahkan pada pemilu Parlemen Eropa baru-baru ini, golput telah mencapai hampir 70 persen, meningkat ketimbang sebelumnya. Karena itu, perlu ditegaskan bahwa golput juga suatu pilihan politik yang rasional dan demokratis. Rasionalitas ini menurut Hendardi (Kompas, 06/04/07), dapat dipahami dalam beberapa hal berikut:

Pertama, pilihan golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu yang lain. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara--dengan bersikap golput--membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun. Kedua, munculnya golput di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an adalah ekspresi sikap kritis Arief Budiman dan kawan-kawan atas penguasa negara yang otoriter. Mereka memalingkan muka dari pelaksanaan pemilu. Kini, adanya suara golput juga patut diposisikan sama seperti sebelumnya terhadap mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan negara. Ketiga, menyimak perilaku politisi dalam lima tahun terakhir, baik di parlemen maupun pemerintahan di pusat dan daerah, telah banyak mengecewakan warga negara yang telah memilih sebelumnya. Sebagian warga telah mampu menyimpulkan, elite politik dalam kampanye pemilu tak lebih dari menabur janji dan menelan janji mereka setelah terpilih. Dari sinilah rasionalitas golput menemukan jawabannya. Keempat, dengan sedikit evaluasi dari aturan main, penyelenggaraan dan peserta pemilu, banyak kelemahan yang terjadi tanpa pertanggungjawaban politik, apalagi hukum. Atas dasar ini, golput memalingkan suara untuk tak memberikan kepada calon-calon yang akan duduk pada lembaga-lembaga negara, bahkan "demokrasi versi elite negara". Kelima, tak jarang pula dalam menyerang golput, beberapa kalangan "menjual" omongan mengenai keharusan untuk memilih "yang terbaik dari yang terburuk". Atas keharusan ini, golput perlu dibaca sebagai sikap mengambil jarak dari pikatan para juru kampanye tersebut. Di sinilah arti pentingnya dengan mempertahankan ruang-ruang lain yang tak selalu tunggal.

Rudi Hartono (2007) dalam tulisannya Gerakan Golput dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia juga mencoba mengurai kecederungan masyarakat untuk Golput dalam beberapa proses Pemilu dan Pilkada, di antaranya disebabkan oleh beberapa hal; Pertama, kegagalan rejim-rejim paska reformasi dalam menyelesaikan beberapa persoalan krusial seperti kesejahteraan rakyat, pemulihan krisis ekonomi, pengadilan Soeharto, penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM, dan persoalan korupsi. Kedua, kecenderungan Oligarkhi partai politik; partai politik menjadi sarang para politisi elit yang hanya ingin kekuasaan, meniti karir, dan transaksi kursi kekuasaan. Ketiga, tidak adanya upaya mereformasi Internal partai, sebenarnya paska reformasi hampir semua parpol membawa jargon reformasi dan demokrasi tetapi itu hanya sebatas jargon tapi parpol tetap saja bobrok di mata rakyat. Keempat, merosotnya sistem demokrasi prosedural itu sendiri, proses politik rutin dan reguler ini ternyata hanya di manfaatkan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan (power) yang dikenal dengan istilah elit politik. Mayoritas orang merasa hanya di jadikan mesin pengumpul suara, sedangkan situasi paska pemilu sepenuhnya di kendalikan oleh para pemegang modal kekuasaan tersebut untuk mengamankan dan melancarkan kepentingannya

B.Gerakan Oposisi Sosial
Berdasarkan uraian di atas, dapat dicermati bahwa pada babakan Pilkada Pemilu berikutnya Golput tampaknya tak hanya akan menjadi pilihan politik, tapi juga menjadi gerakan oposisi sosial untuk mempengaruhi sebuah proses politik. Apapun jenis gerakan dan kecenderuangannya, pilihan politik Golput tentu saja sangat rasional untuk memecah kebuntuan politik yang sedang mewabah di Indonesia. Bagaimanapun, proses transisi politik di Indonesia memiliki tipikal berbeda dengan proses demokratisasi di negara lain. Jika di negara-negara lain kekuatan politik lama dipangkas sampai ke akar-akarnya, di Indonesia justru dibiarkan melakukan metamorfosis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekuatan lama (Orde baru) masih terus mewarnai proses politik di Indonesia paska reformasi, dan dalam pemilu 2004 Golkar kembali jadi partai pemenang pemilu meskipun perolehan suaranya menurun. Rezim-rezim yang berkuasa paska reformasi, gagal menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak seperti; Pengadilan Soeharto, kesejahteraan, pelanggaran HAM, dan terutama pemulihan ekonomi.

Dalam konteks ini, Golput berdiri sebagai garda terdepan demokrasi radikal. Di mana demokrasi dipahami sebagai a system that creates the economic, political, and cultural conditions for the full development of the individual (Erich Fromm, Escape From Freedom, 1994). Artinya, Golput merupakan manifestasi dari mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi sekaligus mosi ketidakpercayaan terhadap parpol maupun capres-cawapres peserta Pemilu. Golput adalah rallying point gerakan sosial yang melakukan oposisi sosial. Gerakan sosial itu membasiskan oposisinya pada beragam masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Karena itu, golput memegang legitimasi politik (kekuasaan de facto) sedangkan negara hanya memperoleh legitimasi hukum (kekuasaan de jure) dari Pemilu. Bila kekuasaan de facto ini dikonsolidasi dan dikomunikasikan secara terencana, baik lokal, nasional, internasional, negara neo-Orba tanpa legitimasi politik tidak akan bertahan lama (Rachman, 2005). Hal ini bisa dipahami bagaimana Soeharto digulingkan sekitar enam bulan setelah Pemilu 1997, di mana Golkar menang 70 persen lebih dan TNI/Polri memiliki kursi gratis 100 buah.

Pemerintahan paska reformasi tentu tak ada ubahnya dengan pemerintahan fasis Orde Baru. Ia selalu menjadikan pemilu sebagai sarana legitimasi dan konsolidasi kediktatoran dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru. Kini, untuk "menyenangkan" pemilihnya yang kecewa, sejumlah parpol berteriak menyuarakan oposisi politik di parlemen, tapi hasilnya, tentu pembusukan demokrasi.
Ini tentu berbeda dengan oposisi sosial yang secara langsung membasiskan diri pada publik melalui gerakan golput. Bila oposisi sosial berhasil menjadi sarana, pendidikan politik demokrasi, konsolidasi kekuatan politik demokrasi dan gerakan sosial, maka oposisi sosial akan menjadi embrio kekuasaan politik demokrasi sepanjang 5-10 tahun ke depan untuk mengisi lima arena transisi demokrasi, pendewasaan masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, supremasi hukum, dan aparatus negara.

Dengan demikian, golput adalah gerakan oposisi sosial yang menjadi basis perkembangan dan pertahanan demokrasi radikal terhadap kekuatan politik hasil Pemilu. Mengikuti Antonio Gramsci, golput adalah upaya membangun war of position dari dan dalam masyarakat sipil, berhadapan dengan negara anti-demokrasi, sebelum memutuskan war of maneuver untuk menegakkan hegemoni politik demokrasi pada lima arena transisi demokrasi. Di sini, Golput hanyalah salah satu sarana Lebih dari itu, perjuangan demokrasi bukan hanya dalam putaran lima tahun sekali, melainkan perjuangan setiap hari.


DAFTAR PUSTAKA

Ismanto, Gandung. “Memahami Eksistensi Golput dalam Demokrasi”, dalam http://lanskap-artikel.blogspot.com/2008/10/memahami-eksistensi-golput-dalam.html, . Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:15
Fromm, Erich. 1994. Escape From Freedom, Princeton University Press: New Jersy
Kompas, 13 Nopember 2008
Kompas, 02 Juli 2008
Hendardi. “Golput, Bagian dari Demokrasi”, dalam Kompas, 6 April 2007
Rachman, M, Fadjroel. “Golput, Pemenang Pemilu 2004”, dalam Kompas, 15 April 2005.
Arismunandar, Satrio. “Lebih Jauh Mengenal Gerakan Sosial”, dalam http://netsains.com/2008/03/lebih-jauh-mengenal-gerakan-sosial/. Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:30
www.kapanlagi.com/k/ Golput%anti% demokrasi). Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:34
Santoso, Slamet. “Gerakan Sosial dan teori Hegemoni”, http://ssantoso. blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-teori-hegemoni.html. Diakses tanggal 27 Desember 2007, 17:32
Hartono, Rudi. 2007. “Gerakan Golput, dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia”, dalam http://lmnd.wordpress.com/2007/09/12/gerakan-golput-dan-masa-depan-demokrasi-di-indonesia-2/. Di akses tanggal 27 Desember 2007, 17:05
Adas, Michael. Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Milenarian Menentang Kolonialisme Eropa. Jakarta: Rajawali Press.
------------------- 1991. ”South Asia Resistance in Comparative Perspective” dalam Douglas Haynes dan Gyan Prakash (Eds), Contesting Power: Resistance and Everyday Social Relations in South Asia. Bombay: Oxford University Press..
Bryant, C.G.A., dan David Jary. 1991. Gidden’s Theory of Structuration; A Critical Appreciation. London and New York: Routledge
Dijk, C. Van, tt. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Encyclopedia Of Marxist, dalam www.marxist.org
Fakih, Mansour, Antonius M Indrianto, dan Eko Prasetyo. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan. Pegangan Untuk Membangun Gerakan Hak Asasi Manusia. Insist: Yogyakarta.
Gonggong, Anhar. Dari Patriot ke Pemberontak: Abdul Qahar Mudzakkar dan Pemberontakan DI/TII di Surawesi Selatan. Grasindo: Jakarta.
Gurr, Ted, Robert. 1970. Why Men Rebel. New Jersy: Princeton University Press
Giddens, Anthony. 1984. The Consitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press.
Jackson, Karl D. Tt. Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasants: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press.
Sjamsuddin, Nazaruddin. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Daraul Islam Aceh. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Scott, James C. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
------------------- Weapons of the Weak: Everiday Forms of Peasant Resisrence. New Haven: Yale University Press.
Smelser, Neil J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Hagen Paul.
Tarrow, Sidney. 1994. Power in Motion: Social Movement, Collective Action and Politics. New York: Cambridge University Press.
Lorenz, Konrad. 1996. On Aggression. New York : Harcourt, Brace & Word, Inc.
Eckstein, Harry. 1980. “Theoritical Approaches to Explaining Collective Political Violence” dalam Ted R.Gurr (ed) Hanbook of Political conflict : Theory and Research. New York: The Free Press.
Webb, Keith. 1986.”Conflik: Inherensi and Contingent Theories”, dalam World Encyclopedia of Peace, Volome 1, Oxford: Pergamon.
Berk, Ricard A. 1978. “A Gaming Approach to Crowd Behavior”, dalam L.E. Genevie (eds), Collective Behavior and Social Movements. Ithaca, IL: Peacock Publishers.
Sztompka, Piotr. 1994. “Evolving Focus on Human Agency in Contemporary Social Theory”, dalam Piotr Sztomka (eds), Agency and Structure: Reorientingsocial Theory. Switzerland: Gordon and Breach.
Daviess, James C. 1968. “Toward a Theory of Revolution”, dalam Roy C.Macridisand Bernard E. Brown (ed), Comparative Politics: Notes and Readings, Homewood: The Dorsey Press.
.
read more “Golput: Gerakan Opoisi Rakyat”

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web