Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif: Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang Fenomenologi Sosial Alfred Schutz

Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif:
Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang
Fenomenologi Sosial Alfred Schutz


A. Konteks dan Realitas Sosial Pemikiran
Krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern akibat reduksi-reduksi metodologis dan instrumentalisasi pengetahuan, menandai runtuhnya bangunan epistema modern yang amat kental dengan nuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Afklarung.

Jamak dipahami, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda secara diametral dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas.

Namun pergeseran pendulum ini tidak berlangsung lama. Positivisme telah menggeser pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, tapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermiskin dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.

Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan. Positivisme berpretensi untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.

Yang menjadi persoalan serius dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, seperti dirintis oleh August Comte yang kemudian disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’. Tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. Adagium positivisme yang kental dengan savior pour prevoir, mengetahui untuk meramalkan, menyiratkan suatu intensi yang kuat untuk merekayasa masyarakat (social-engineering).

Dengan mencangkokkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan reflektif dan pemahaman intersubyektif.

Disadari atau tidak, sampai saat ini pengaruh positivisme dalam ilmu-ilmu sosial sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan posmodern pada awal abad ini meruapakan senjakala kedigdayaan positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme (August Comte, Herbert Spencer), struktural fungsional (Talcott Parson, Kingsley Davis, Robert Merton), struktural konflik (Marx, C. Wright Mills, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf), dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.

Untuk menjawab krisis pengetahuan tersebut, tentu saja membutuhkan fenomenologi sosial. Diharapkan ketidakmampuan ilmu-ilmu berbasis positivistik untuk menangkap masalah nilai dan makna dapat dijembatani oleh analisa fenomenolgis. Dalam konteks ini, pendekatan fenomenologi Alfred Schutz tentu perlu diketengahkan, sekurang-kurangnya dapat menjadi metode alternatif khusunya bagi ilmu-ilmu sosial.

B. Memahami Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
1. Biografi dan Pergumulan Intelektual Schutz

Alfred Schutz lahir dan dibesarkan di Vienna pada 13 April 1899, ketika kota itu menjadi ibu kota kekaisaran Austria-Hungaria. Dia meninggalkan tanah airnya pada usia tiga puluh delapan pada saat aneksasi Nazi. Sesudah tugas militer dalam Perang Dunia Pertama, dia belajar di Vienna pada ahli hukum termasyhur, Hans Kelsen, dan ahli ekonomi Ludwig Von Mises, salah seorang kritikus yang paling pedas atas Max Weber. Secara intelektual, Schutz tertarik pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action), dan filsafat ‘fenomenologi’ Edmund Husserl yang ia kenal secara pribadi.

Dalam pergulatan intelektualnya, Schutz lebih dikenal sebagai seorang pengacara, ahli ekonomi, filsuf, ketimbang sebagai sosiolog. Namun demikian, dia banyak menulis tentang filsafat ilmu sosial dan sering bertindak sebagai seorang propagandis untuk sosiologi fenomenologis juga terlibat secara intens dalam dialog yang bermanfaat dengan para pakar Amerika, khususnya murid-murid George Herbert Mead (1863-1931), seorang filsuf Chicago yang penafsiran psikologisnya tentang interaksi sosial memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan fenomenologi Schutz.

Pemikiran-pemikiran Schutz banyak yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai, di antaranya The Phenomenology of The Social World, (Northwestern University Press: Evenston, 1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (di dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam tahun sebelum ia meninggalkan Austria untuk kemudian menetap di New York, tempat dia bekerja pada New School for Social Research dan Bussines. Collected papers I. The problem of social reality, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1962), Collected papers II. Studies in social theory, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1964), Den sociala världens fenomenologi, (Göteborg: Daidalos, 1999), The Structures of the Life-World. Evanston: Northwestern Unversity Press, 1973), Reflection on the Problem of Relevance (Yale University Press: New Haven, 1970), bagian dari sebuah karya teoretis sistematis yang tak pernah ia selesaikan.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran Schutz semasa hidupnya tidak begitu berpengaruh, boleh jadi karena pemaparan gagasan filosofisnya sangat abstrak dan teknis. Mungkin juga karena lingkungan New School for Social Research dan Bussines yang tidak memberi tempat bagi berkembangnya teori ilmu-ilmu sosial selain teori ilmu-ilmu sosial yang menganut paradigma positivistik. Karena pada masanya, para teknokrat, politisi, birokrat, kelompok-kelompok profesional dan para ilmuwan Amerika terpesona degan model pemikiran rasional-tekonokratis, yang ditandai dengan keberhasilan tekonologi modern. Ilmu-ilmu sosial sosial dikembangkan sejauh menjadi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Tapi usaha Schutz yang tak mudah patah arang, akhirnya gagasan-gagasannya tentang apa yang ia sebut ‘dunia-sosial’, makin lama makin bertambah berpengaruh di tengah-tengah para pemerhati ilmu-ilmu sosial yang haus akan metode baru untuk memandang hubungan-hubungan sosial.


2. Weber-Husserl: Titik Tolak Fenomenologi Schutz

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Schutz begitu terpesona pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln) dan dielaborasi dengan konsep Lebenswelt (‘dunia-kehidupan’) Edmund Husserl. Konsep tersebut merupakan terobosan teoritis yang diintrodusir dan dipopulerkan Husserl dalam pendekatan ‘fenomenologi’.

Husserl, sebagai pendiri pendekatan ini, mengancang pendekatan fenomonolgis, pendasaran terhadap realitas yang tampak, bagi ilmu pengetahuan rangka menyelamatkan subjek pengetahuan. Konsep Lebenswelt, dunia-kehidupan, merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berpikir positivistis dan saintis.

Menurut Husserl, dunia-kehidupan adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Padahal, dunia-kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan yang paling praktis pun, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh karena itu, semboyan Husserl “kembali kepada benda-benda itu sendiri atau pada realitasnya sendiri (Zu den Sachen selbst)” menyatakan suatu usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.

Konsep dunia-kehidupan ini memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada Alfred Schutz untuk membangun sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Dengan bertolak Dari definisi Max Weber tentang tindakan, yaitu tingkah laku sejauh pelaku-pelakunya melihatnya sebagai sesuatu yang secara subyektif bermakna, Schutz menetapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan ‘interpretatif’. Namun Schutz menolak andaian Weber yang memusatkan tindakan bermakna pada individu. Menurutnya, makna suatu tindakan yang secara subyektif bermakna itu memiliki asal-usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan atau dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu.

3. Key-words dan Proposisi-proposisi
Fenomenologi sosial yang diintroduisr oleh Schutz mengandaikan adanya tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian, sebab dunia sehari-hari dalah lokus kesadaran intersubjektif yang menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Karena itu, dunianya secara keseluruhan tidak akan bersifat pribadi, bahkan di dalam kesadaran pun seseorang selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa sejarah hidup seseorang bukan semata-mata hasil produk tindakan pribadi. Kesadaran semcam ini, menuut Schutz merupakan tesis eksistensi alter-ego, pemahaman akan aku-yang-lain, sehingga memungkinkan adanya pemahaman timbal-balik antar sesama anggota komunitas (consociates).

Dengan demikian, kehidupan sehari-hari sebagai wadah kehidupan sosial yang sarat dengan kesadaran intersubyektif (makna timbal balik yang dihasilkan dalam interaksi ssosial ). Kesadaran ini mengacu pada teori Max Weber mengenai ‘tindakan sosial’. Apa yang dimaksud Weber dengan tindakan sosial adalah apabila tindakan atau perialku seseorang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, atau setidaknya mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Tindakan yang diorientasikan pada benda fisik belum dapat dikatakan tindakan sosial, tapi tindakan katika diorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.

Persoalannya, bagaimana kita dapat memahami makna subyektif tindakan individu? Schutz menawarkan perlunya memahami konteks makna suatu tindakan. Menurutnya, ada sebuah konteks makna lain yang tidak berhasil dibedakan Weber, yaitu motif tujuan (in-order-to motive/Um-zu-motiv) yang merujuk pada suatu keadaan di masa yang akan datang (in te future prfect tense), dan motif karena (because motive) yang merujuk pada konteks situasi di masa lampau (past experiences). Motif-motif tersebut yang menentukan tindakan yang akan dilakukan seorang aktor. Dalam kerangka ini, tindakan sesorang hanya merupakan suatu kesadaran terhadap motif yang menjadi suatu tujuan dan bukan pada motif yang menjadi sebab. Karena kesadaran kepada motif yang menjadi sebab pada akhirnya dapat diperoleh melalui refleksi.

Pendasaran Schutz terhadap motif-motif itu dalam memahami tindakan orang lain berangkat dari asumsi, pertama, bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk secara mutlak memahami motif yang lain dalam kehidupan keseharian, motif-motif itu setidaknya dapat memberikan peluang akan pemahaman yang lain. Kedua, dengan adanya pemahaman ini akan memungkinkan kita untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna tindakan orang lain.

Dengan memahami makna tindakan seseorang melalui motivasional context, menurut Schutz, sesungguhnya telah tercipta kesadaran sosial bagi setiap individu. Akibatnya, pemahaman terhadap tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis menunjuk pada kesadaran sosial. Kesadaran akan hal ini pada gilirannya mengandaikan hadirnya kesadaran akan orang lain sebagai penghuni dunia yang dialami bersama. Rentetan kesadaran ini yang melahirkan bahwa orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari, dan makna dasar bagi pengertian manusia adalah akal sehat (common sense), yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Akal sehat didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu, misalnya, adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Akal sehat terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.

Dengan adanya tipifikasi semacam itu akan sangat membantu bagi penyesuaian diri dalam bekerja sama dengan orang yang tidak dikenal secara pribadi maupun dalam dunia yang lebih luas. Dengan tipifikasi pula pengetahuan langsung mengenai eksistensi orang lain tentu akan sangat mudah diketahui sehingga mudah pula membangun hubungan dengan apa yang disebut Schutz ‘orang-orang sezaman’ (contemporeries), ‘para pendahulu’ (predecessors), dan ‘para penerus’ (successor) yang sama sekali belum dan tak akan memiliki pengalaman-pengalaman bersama. Hubungan-hubungan yang dibangun juga bisa langsung (face to face) atau tidak langsung (they-relationships) seperti hubungan dengan orang-orang sezaman yang masih hidup bersama kita yang belum pernah kita jumpai, atau dengan para pendahulu dan penerus.

Tipifikasi-tipifikasi yang diabstraksi dari pengalaman langsung inilah yang dalam dunia keseharian dapat membentuk sistem sosial obyektif yang dengannya orang dapat berhadapan dengan sosio-kultural yang melampaui dunia sosio-kultural para consociate mereka. Kata Schutz:

"Supaya menemukan pegangan di dalam kelompok sosial, aku harus mengetahui berbagai cara berbagai pakaian dan bertingkah laku, mengenakan aneka ragam lencana, alat-alat, dst. yang dianggap oleh kelompok itu sebagai sesuatu yang menunjukkan status sosial dan diakui secara sosial sebagai sesuatu yang relevan".


END NOTES

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 51
Dalam sejarah epistemologi, sebagai juru bicara keruntuhan Abad Petengahan adalah Rene Descartes, kemudian Leibniz dan Kant, serta Hobbes, Locke, dan Hume.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas ….., hal. 53
Ibid., hal. 56
Ibid., hal. 58
George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. A-14
Secara keseluruhan, biogarfi Alfred Schutz dirujuk dari buku The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. xvii-xviii
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Edisi Revisi, Bandung: Rosda, 2006, hal. 157-158
‘Interpretatif’ merupakan salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang ditetapkan setelah terlibat dalam diskusi serius, yang sering disebut dengan Methodenstreit (perdebatan tentang metode). Diskusi tersebut berusaha mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang dilakukan di Jerman. Yang terkenal disini adalah distingsi yang dibuat oleh para pemikir neo-Kantianisme, misalnya Windleband yang membedakan ilmu alam sebagai ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (geistewissenschaften) dan eklaren (menjelaskan dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Lihat, Heru Nugroho, “Metodologi Penelitian Sosial”, Makalah disampaikan dalam Seminar jurusan Sosiologi FISIP UGM dalam rangka “Penyempurnaan Kurikulum Sosiologi”, Yaogyakarta 15 September 1995. Lihat juga, F. Budi Hardiman, Kritik Idelogi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, hal. 12
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967, hal. 316.
Uraian singkat tentang Pemikiran Weber mengenai ‘tindakan sosial’ disitir dari Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. 15
Ibid., hal. 88
Ibid., halk. 91
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality, hal. 316
Ibid., hal. 350
read more “Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif: Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang Fenomenologi Sosial Alfred Schutz”

Charles Horton Cooley: Pembuka Jalan Menuju Teori Interaksionalisme Simbolik

A. Pendahuluan

Pada bagian diskusi ini, kita akan membincang tentang pemikiran Charles Horton Cooley. Tentu saja diskusi ini sangat menarik, karena kita akan diajak memahami realitas sosial bukan dari struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution) yang sangat makro, seperti pernah kita diskusikan dalam pemikiran Herbert Spencer, Emile Durkhiem dan Karl Marx, tapi dari sudut pandang yang mikro.

Seperti telah kita pahami, sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mempelajari kehidupan manusia, yang di dalamnya termasuk hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan berulang-ulang. Dengan perhatian semacam ini, Sosiologi berbeda dengan Psikologi, yang memusatkan perhatiannya pada karakteristik pikiran dan prilaku individu perindividu. Meski dalam perkembangannya kita mengakui, bahwa Sosiologi juga mempelajari tindakan individu, tapi kapasitasnya tetap sebagai masyarakat.

Bertolak dari perbedaan kajian Sosiologi dan Pskologi ini, maka dalam Ilmu Sosiologi dikenal distingsi antara Sosiologi Makro dan Sosiologi Mikro. Mengiktuti pendapat Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro mengkaji berbagai pola dan prilaku sosial dalam skala yang lebih luas. Pusat perhatiannya adalah kepada masyarakat sebagai obyek keseluruhan dan berbagai unsur pentingnya seperti ekonomi, politik, agama, pola kehidupan keluarga dan sebagainya. Sedangkan Sosiologi Mikro, adalah meneliti berbagai polal pikiran perilaku yang muncul dalam kelompok-kelompok yang relatif kecil. Para osiolog Mikro tertarik pada berbagai gaya komunikasi verbal dan non-verbal dalam hububgan sosial face to face antar individu dalam komunitas masyarakat. Pada titik ini, Interaksionalisme Simbolik memposisikan diri.

Interaksionalisme Simbolik (selanjutnya dibaca interaksi simbol) sebagai bagian dari Sosiologi Mikro, beranggapan bahwa realitas sosial muncul melalui proses interaksi. Dalam hal ini, teori interaksi simbol sama dengan tekanan Simmel pada bentuk-bentuk interaksi. Namun, teori interaksi simbol lebih dalam daripada bentuk-bentuk interaksi nyata menurut Simmel. Teori interaksi simbol berhubungan dengan media simbol di mana interaksi terjadi.

Teori interaksi simbol sendiri bukan merupakan satu teori terpadu dan komprehensif. Teori ini tidak lebih dari sumbangan rintisan dari beberapa tokoh, seperti Charles Horton Cooley, William I. Thomas, George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Sayang, dari beberapa tokoh ini tidak dapat kita ketengahkan semuanya, tulisan ini secara spesifik akan membahas pemikiran Charles Horton Cooley.


B. Mengenal Cooley: Sebuah Tinjauan Biografis
1. Keluarga dan Pendidikan

Charles Horton Cooley lahir di Ann Arbor, Michigan, tahun 1864. Keluarganya pindahan dari Massachusetts ke bagian Barat New York, kemudian pindah dan menetap di Michigan. Bapaknya menjadi pengacara yang ambisius dan terpandang, yang pada tahun 1864 dipilih menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Michigan. Cooley menamatkan sarjana mudanya tahun 1887 di Universitas Michigan. Dia bekerja untuk waktu yang singkat di Interstate Commerce Commision dan Census Bureau. Dia lalu tertarik untuk bergelut dalam kehidupan akademis karena kegemarannya untuk membaca, menulis dan merenung. Dia menamatkan studinya di Universitas Michigan dan ditunjuk untuk satu posisi fakultas di sana, dan menghabiskan seluruh kehidupan profesinya di situ sampai meninggal tahun 1929.

2. Pergumulan Intelektual
Ann Arbor adalah kota pelajar yang tenang. Lingkungan sosial ini telah membentuk watak Cooley sehingga suka menyendiri dan kontemplatif. Tak heran bila teori sosialnya mencerminkan lingkungan sosial dan temperamennya. Sewaktu di Michigan Cooley pernah berteman dengan Mead. Nilai-nilai dan posisi ideologisnya Cooley bersifat progresif seperti Mead dan kebanyakan kaum intelektual lainnya di Amerika pada waktu itu, Cooley menerima prinsip dasar evolusi sosial sebagai kunci kemajuan sosial. Namun, Cooley keberatan terhadap pendekatan organik Spencer, sebagian karena Spencer kurang memperhatikan tingkat psikologis individu dalam mengemukakan prnsip-prinsip evolusinya, yang mengatasi individu. Juga, seperti Mead, Cooley tidak menerima implikasi-implikasi politik Laissez-faire dari teori Spencer.


C. Pemikiran Charles Horton Cooley
1. Looking-glass Self

Pendekatan organis Spencer memberikan pendasaran teoritis bagi Cooley untuk melihat saling ketergantungan individu melalui proses komunikasi sebagai dasar keteraturan sosial. Dalam karyanya yang terkenal Human Nature and the Social Order, Cooley mengemukakan bahwa individu dan masyarakat saling berhubungan secara organis. Proposisi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self-feeling) yang tidak jelas dan belum terbentuk. Pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri merupakan hasil dari proses komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya, seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis (sympathetic understanding) antara individu yang satu terhadap yang lain. Dengan pemahaman itu, mereka dapat masuk dan mengambil bagian dalam perasaan dan ide orang lain. Mereka dapat menangkap apa yang dipikirkan orang lain. Hal ini tentu berhubungan erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa, menolak atau menyetujui penampilan dan perilakunya.

Analisis Cooley mengenai pertumbuhan sosial individu yang mengacu pada perasaan diri, sebenarnya mengacu pada gagasan William James tentang “konsep diri-sosial”. Konsep diri di sini dipahami cara seseorang melihat dirinya melalui mata orang lain. Konsep ini kemudian diintrodusir oleh Cooley sebagai looking-glass self.

“Ketika kita melihat wajah, bentuk, dan pakaian kita di depan cermin, dan merasa tertarik karena semuanya itu milik kita… begitu pula dalam imajinasi, kita menerima dalam pikiran orang lain suatu pikiran tentang penampilan, cara tujuan, perbuatan, karakkter dan seterusnya, dan dengan berbagai cara dipengaruhi olehnya.
Suatu ide diri semacam ini nampaknya memiliki tiga elemen yang penting: imajinasi tentang penampilan kita kepada orang lain; imajinasi tentang penilaian penampilan itu, dan suatu jenis perasaan diri, seperti kebanggaan atau malu…”

Tentu, analogi cermin ini tidaklah cukup. Cermin tidak dapat memberi persetujuan atau penolakan. Cooley lalu menganalisa variasi konsep-konsep perasaan diri, seperti kebanggaan, kesombongan, kehormatan, kerendahan hati, serta karakteristik lain-lainnya yang biasanya digunakan untuk menggambarkan kepribadian seseorang. Menurutnya, ada sejumlah varian dalam hubungan antara perasaan diri setiap individu. Misalnya, kepekaan setiap individu bisa berbeda dalam menangkap pandangan orang lain. Boleh juga terjadi perberbedaan tingkat stabilitas dalam mempertahankan suatu jenis perasaan-diri tertentu dalam menghadapi reaksi orang lain yang bertentangan. Mereka berbeda dalam intensitas dan seringnya dukungan sosial yang dibutuhkan untuk mempertahankan perasaan-diri mereka, berbeda dalam campuran perasaan tertentu yang bersifat positif dan yang negatif yang dihubungkan dengan konsep-diri mereka; juga berbeda dalam hal dimana aspek khidupan mereka sangat erat hubungannya dengan perasaan-diri.

Sebagai contoh, orang yang egoistis tidak peka khususnya terhadap definisi-definisi sosial atau perasaan mereka yang ada di sekitarnya. Orang yang sombong sangat peka dan membutuhkan dukungan sosial terhadap suatu gambaran-dirinya yang tinggi. Orang yang produktif harus memiliki suatu konsep-diri yang tegas, namun ia tidak perlu dinilai sebagai seorang yang sadar diri, karena prestasi mereka mungkin menguntungkan orang lain dan memperoleh dukungan dan penghargaan mereka. Orang yang sedang turun harga dirinya sangat peka terhadap reaksi-reaksi orang lain yang bersifat negatif, dia menggabungkan dengan perasaan-dirinya sendiri sebegitu rupa sehingga yang bersifat positif dari reaksi itu tidak dapat dilihat lagi.

Orang mungkin menemukan perasaan-diri yang tidak selaras dengan reaksi dan perasaan orang lain, sehingga mereka berinisitaif untuk berprilaku defensif agar tidak mendapat ejekan dari orang lain yang memberikan reaksi yang tidak sesuai. Orang lain mungkin sangat tertarik dalam suatu kegiatan sehingga mereka nampaknya terbenam dan tidak sadar akan kesan yang dia buat terhadap orang lain. Beberapa peserta kontes ratu kecantikan, misalnya, akan menganggap badannya itu sangat penting secara fisik, sedangkan orang lain nampaknya lupa akan penampilan fisiknya dan mendefinisikan segi-segi konsep-dirinya menurut, katakanlah, pekerjaan atau posisi ideologisnya. Meskipun perbedaan-perbedaan itu ada, suatu konsep-diri yang muncul dalam suatu isolasi total dari lingkungan sosialnya, mengkin tak akan akan peduli terhadap perasaan dan reaksi orang lain.




2. Kelompok Primer
Perasaan-diri seseorang juga sering ditarik ke pelbagai kelompok di mana dia menjadi bagiannya. Dalam kondisi seperti itu, mungkin cara berpikir atau berbicara tentang “keluarga saya”, “klub saya” atau “tetangga saya” akan diganti dengan “keluarga kami” atau “tetangga kami”. Seperti dikemukakan oleh Cooley, “diri kelompok” atau “we” tidak lain adalah “I” yang mencakupi orang lain. Dengan kata lain, orang tersebut telah mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu dan berbicara atas kemauan bersama, pandangan, pelayanan, atau yang lain-lainnya menurut “we” dan “us”.
Perasaan “we”, pengalaman antara kesatuan diri dan orang lain, mula-mula muncul dalam konteks kelompok primer. Cooley menggambarkan kelompok primer sebagai berikut:

“Kelompok primer saya artikan sebagai kelompok yang ditandai oleh persatuan (association) dan kerja sama tatap-muka yang bersifat intim. Kelompok itu disebut primer dalam beberapa pengertian, terutama sebagai dasar pembentukan sifat sosial dan ideal-idealnya individu. Hasil dari persatuan yang intim itu secara psikologis adalah suatu perpaduan tertentu dari kepribadian-kepribadian (individualities) kelompo, sehingga diri (seseorang), untuk banyak tujuan sekurang-kurangnya, menjadi cermin kehidupan dan tujuan bersama kelompok itu. Mungkin cara yang paling sederhana untuk menggambarkan keseluruhan ini adalah dengan mengatakan bahwa itulah “we”, yang mencakup jenis simpati dan pemahaman timbal-balik yang terjadi secara alamiah. Orang hidup dalam perasaan bersama dan menemukan tujuan-tujuan kehendaknya yang utama dalam perasaan itu”.

Contoh-contoh kelompok seperti itu adalah “keluarga, kelompok bermain anak-anak, dan kelompok tetangga atau komunitas orang dewasa”. Kelompok persahabatan dan banyak tipe kelompok kerja dapat ditambahkan dalam daftar ini.
Perlu dicatat di sini, kesatuan kelompok primer yang ditandai dengan cinta dan keharmonisan bukan berarti tidak memendam konflik. Kompetisi dan ingin menonjolkan diri antara yang satu dengan yang lain akan ditemui. Namun, dorongan-dorongan individualistis atau yang bersifat kompetitif ini sering diperlunak dan diperhalus oleh pemahaman simpatetis antar individu. Pemahaman simpatetis itulah, yang mendorong kesatuan pada kelompok itu. Dalam kondisi seperti ini, individu berkembang dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan sosialnya, seperti kesetiaan dan kerelaan untuk membantu dan bekerjasama antara yang satu dengan lain.


3. Dari Institusi Sosial ke Masyarakat Demokratis
Kelompok primer juga merupakan dasar bagi institusi sosial yang lebih besar, yang bersandar pada perasaan-perasaan dan ide-ide bersama yang digembleng melalui proses komunikasi antarpribadi. Dengan demikian, akan tercipta satu struktur sosial yang kokoh yang menjamin adanya keteraturan sosial (social order). Dalam hal ini, Cooley menegaskan:

“Suatu institusi hanyalah suatu tahap dari pikiran orang banyak (publik mind) yang bersifat mapan dan tegas, dia tidak berbeda dalam sifat dan pokoknya dari pandangan umum, meskipun yang sering kelihatan adalah bahwa dia memiliki suatu eksistensi tertentu dan bersifat independen, apalagi kita melihat sifat permanennya dan apalagi kita melihat kebiasaan-kebiasaan serta simbol-simbol di mana institusi itu berselubunng”.

Institusi mungkin memiliki suatu karakter yang nampaknya obyektif, yang kelihatan terlepas dari pandangan umum dan perasaan individu. Tapi kenyataanya, justru tak ada satupun struktur dan institusi serta pola normatifnya dalam masyarakat yang lepas dan keluar dari pikiran dan perasaan individu. Dengan demikian, masyarakat demokratis modern pun bertolak pikiran orang banyak dari seluruh masyarakat yang ditandai oleh perasaan kesatuan yang sama serta kehangatan emosional seperti pikiran kelompok dalam suatu kelompok primer. Begitulah impian Cooley.

D. Implikasi Pemikiran Charles Horton Cooley
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa tekanan pemikiran Cooley berangkat dari usahanya untuk menemukan asal-usul sosial dengan pusat perhatian pada saling ketergantungan antara individu dan masyarakat, konsep diri, dan komunikasi antarpribadi sebagai dasar organisasi sosial, baik dalam bentuk kelompok primer sampai pada instisusi sosial dan masyarakat demokratis modern.

Lepas dari kontroversi yang menyertai pemikirannya, Cooley tetap berjasa besar dalam analisa Sosiologi Mikro. Pemikirannya cukup berpengaruh dan memberikan inspirasi, utmanya bagi perintis Teori Interaksi Simbol seperti Mead dan Blumer.

END NOTE
Secara garis besar, tulisan ini disarikan dari buku Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: Gramedia: 1994.
Riyadi Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 1
Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Edisi Kedua, Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 2
Doyle Paul Johnson, hal. 27
Riyadi Soeprapto, hal. 114
Disitir dari Doyle Paul Johnson, hal. 28
Ibid., hal. 29
Ibid., hal. 31
read more “Charles Horton Cooley: Pembuka Jalan Menuju Teori Interaksionalisme Simbolik”

Memahami Pemikiran Karl Marx : Sekedar Pengantar

A. Pendahuluan

Pemikiran Karl Marx hampir saja menjadi “barang” langka di Indonesia. Semua itu bermula dari ambisi Soekarno untuk mentahbiskan diri sebagai presiden seumur hidup. Dengan dukungan kuat Partai Komunis Indonesia (PKI), Soekarno memodifikasi nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM) sebagai poros tunggal kekuatan politiknya. Mungkin Soekarno lupa, bahwa Komunisme di Indonesia bukan sekedar aktualisasi Marxisme, melainkan menganut Marxisme-Leninisme tulen yang menempatkan kekuatan-kekuatan politik lain bukan sekedar lawan, tapi musuh. Ia tidak akan pernah melepas kekuasaan secara suka rela. Gerakan 30 September 1965 yang berbuntut pada lahirnya petaka nasional: sebuah fase sejarah yang pekat dan penuh dengan pertumpahan darah dan air mata, adalah bukti kongkretnya.

Sejak itu, lahirlah pandangan streotipe dalam memori kolektif masyarakat Indonesia: apapun yang berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme adalah “haram”. Sejak itu pula Orde Baru merasa mendapat dukungan luas masyarakat untuk membubarkan PKI, tentu dengan segala organisasi pendukungnya, dan melarang penyebaran Marxisme-Leninisme. Sayangnya, arti “penyebaran” itu juga termasuk “mempelajari”, sehingga Marxisme-Leninisme sebagai ideologi Komunisme bahkan seluruh Marxisme, termasuk pemikiran Marx, disingkirkan dari materi kuliah di berbagai universitas dan perguruan tinggi. Semuanya telah menjadi mitos (untuk tidak mengatakan sengaja dimitoskan) dan tabu untuk dibicarakan apalagi sampai ditelanjangi yang mengundang hasrat ingin tahu (coriocity) masyarakat terhadap “jenis kelamin” Marxisme atau Marx dan Marxisme-Leninisme.

Apa jadinya jika Era Reformasi tidak segera bergulir dan pemikiran Marx tetap dilarang dipelajari? Bisa jadi Program Sosiologi Unair dan ilmu humaniora yang lain gulung tikar. Sebab, pemikiran Karl Marx tidak hanya menjangkau momen besar filsafat, melainkan juga motor yang menstimulir lahirnya teori-teori Sosiologi bahkan sampai Ekonomi. Menurut Giddens, pemikiran Marx telah merentang selama tiga abad dan mempengaruhi lingkungan politik dan dunia cendikiawan. Meski diakuinya, banyak pemikiran yang sezaman, seperti Tocqueville, Comte, dan Spencer yang mewarnai Sosiologi Modern, namun pengaruh pemikiran Marx jauh lebih besar dibanding pemikiran mereka. Karena itu, Giddens mengaku perlu untuk “berkelahi” lebih dulu dengan pemikiran/ajaran Marx sebelum merumuskan teori strukturasinya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ruang pemikiran Marx dalam ilmu-ilmu humaniora, utamanya Sosiologi, cukuplah besar dan signifikan. Karena itu, dengan segala keterbatasan dan kekurangan tulisan ini tidak mungkin meng-cover seluruh pemikiran Marx secara detail dan tuntas. Namanya “sekedar pengantar”, tulisan ini hanya berusaha mengupas pemikiran Marx muda, yaitu materialisme dialektis yang mendasari oreintasi filsafatnya sebagai praksis revolusioner. Lebih dari itu, juga akan diketengahkan pandangan sejarah materialis yang menandai kematangan Marx serta beberapa implikasi pemikirannya.

B. Mengenal Marx: Sebuah Tinjauan Biografis
1. Keluarga dan Pendidikan


Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier, Prussia. Daerah ini termasuk kawasan Rheiland Jerman yang memilki sejarah penting bagi perkembangan filsafat. Marx besar dalam lingkungan keluarga Yahudi progresif. Ayahnya bernama Heinrich Marx dan Ibunya Henrietta. Pada masa itu, ayah Marx termasuk pengacara sukses dengan pola hidup borjuis yang penuh dengan kemewahan. Wajar, jika waktu itu rumah Marx sering dikunjungi para artis dan cendekiawan.

Suasana politik Jerman yang terus berubah dan tidak menguntungkan bagi pengacara keturunan Yahudi, keluarga Marx kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama Protestan-Lutheran yang relatif liberal.

Marx memulai pendidikannya dengan model sekolah rumah (home schooling) sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx mendaftar di Universitas Bonn untuk belajar hukum. Di sana ia bergabung dengan Trier Tavern Club, dan sempat menjadi presiden Klub, sehingga prestasi sekolahnya buruk. Setahun kemudian, ayah Marx mendesaknya untuk pindah ke Universitas Friedrich-Wilhelms di Berlin, agar dapat lebih serius belajar. Di sini, Marx banyak menulis puisi dan esai tentang kehidupan, dengan menggunakan bahasa teologis yang diperolehnya dari ayahnya yang deis.

Perjalanan studi Marx di Berlin adalah fase yang sangat menentukan bagi pergumulan intelektualnya. Di Berlinlah kemudian minat Marx ke dalam filsafat tumbuh dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Club Young Hegelian: kelompok radikal yang sering juga disebut sebagai Hegelian-kiri. Kelompok menemukan metode dialektika Hegel, dan memisahkannya dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan di Prussia pada saat itu.

Sebagai profesor di Berlin (dari 1818 sampai wafat 1831), Hegel sangat termasyhur karena filsafat politik yang diajarkannya. Dalam filsafat politik itu, Hegel menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Marx muda yang gusar dengan situasi politik Prussia akhirnya menemukan senjata intelektualnya dalam filsafat Hegel yang kemudian menentukan arah pemikirannya sekaligus mengantarkannya memperoleh gelar doktor pada usia 23 tahun, tepatnya 15 April tahun 1841, dengan tesis yang bertajuk ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’. Namun, Marx harus menyerahkan disertasinya ke Universitas Jena, karena ia menyadari bahwa statusnya sebagai Kaum Hegelian Muda (Young Hegelian) yang radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.

2. Problem Sosial yang Mengiringi Pergumulan Intelektual Marx
Kebebasan berpikir yang menjadi spirit Marx sejak menjadi anggota Kaum Hegelian Muda, akhirnya menjadi senjata bumerang bagi perjalanan karirnya. Keinginan Marx untuk menjadi dosen terpakasa harus kandas karena pahamnya yang radikal dan tidak mudah berkompromi.

Di tengah situasi politik Prussia yang sangat reaksioner, tentu tidak akan ada tempat bagi Marx. Karena waktu itu, pengawasan berlangsung dengan sangat ketat. Tidak sedikit guru-guru besar universitas yang liberal ditahan. Pers disensor, bahkan undang-undang dasar yang dibuat sesudah peran Napoleon, yang memberikan banyak kebebasan kepada rakyat dihapus.

Dalam situasi seperti itu, akhirnya Marx ke Koln dan memilih menjadi wartawan sebagai medan artikulasinya. Di sana Marx menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zitung, sebuah koran liberal-progresif. Karena kritiknya terlalu keras dan selalu menyerang absolutisme Prussia, akhirnya harian ini diberangus, Marx pun mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi dan memutuskan pindah ke Paris bersama Jenny, putri bangsawan Baron von Westphalen yang baru dinikahinya pada 1843.
Selama di Paris (1843-1845), Marx terlibat dalam kegiatan radikal. Pada waktu itu, Paris merupakan pusat liberalisme dan radikalisme sosial dan intelektual yang penting di Eropa. Kondisi ini memungkinkan Marx untuk berkenalan lebih intens dengan pemikir-pemikir penting dalam pemikiran sosialis Prancis, seperti St. Simon, Proudhon dan tokoh revolusioner, seperti Blanqui. Di Paris, Marx juga mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik Inggris, seperti Adam Smith dan David Richardo.

Peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di Paris adalah pertemuannya dengan Friedrich Engels, yang akhirnya menjadi kawan kerja yang dekat sampai Marx meninggal. Sebagai anak seorang pengusaha Tekstil, Engels dapat memberikan informasi langsung kepada Marx mengenai gaya hidup borjuis dan kondisi-kondisi proletariat. Engels pernah menjadi seorang manajer dari salah satu perusahaan ayahnya, tetapi hubungan dengan Marx menjadi lebih penting daripada kesadaran kelas borjuisnya. Engels terkesan akan keberhasilan Marx dalam analisa ekonominya, seperti tercermin dalam Economic and Philosophical Manuscripts.

Selama di Paris, Marx dan Engels mulai menulis mengenai suatu interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai interpretasi alternatif terhadap filsafat sejarah Hegel. Dalam dalam tulisannya, kondisi-kondisi materil serta hubungan-hubungan sosial yang muncul dari kondisi-kondisi itu merupakan dasar perkembangan intelektual atau kekuatan yang mendorong perubahan sejarah, bukan munculnya ide atau pertumbuhan akal budi. Karya ini akhirnya diterbitkan dengan judul The German Ideology; kemudian Engels menggambarkannya sebagai titik tolak untuk prinsip-prinsip materislisme historis.

Tak lama kemudian, Marx diusir dari Paris tahun 1845 oleh pemerintah setempat. Sebagian alasannya karena tekanan dari pemerintah Prussia yang merasa terganggu oleh tulisan-tulisan Marx yang berbau sosialis. Marx akhirnya bertolak menuju Brussel. Di sana dia tenggelam dalam kegiatan-kegiatan sosialis Internasional. Dia mengadakan kontak dengan buruh-buruh dan juga kaum cendekiawan; di antaranya adalah pelarian Jerman, seperti dia sendiri. Banyak kenalan barunya yang terlibat dalam League of the Just: organisasi internasional yang revolusioner.

Pada tahun 1846 Marx dan Engels bertolak menuju Inggris. Tidak lama sesudah itu, mereka membentuk panitia urusan surat menyurat, supaya dapat mempertahankan kontak dengan sosialis Prancis, Jerman dan Inggris. Segera Marx dan Engels diundang untuk mengikuti Communist League, suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London dan dimaksudkan sebagai pengganti League of the Just. Sesudah perdebatan sengit antara Marx dan Weitling dalam organisasi itu mengenai waktu yang tepat untuk revousi proletariat dan mengenai peran persiapan kaum borjuis, Marx ditugaskan untuk menulis suatu pernyataan yang akan menjadi program teoretis untuk organisasi itu. Hasilnya berupa Manifesto Komunis, diterbitkan pada tahun 1847, dan bertahun-tahun lamanya merupakan bacaan yang paling laku dari tulisan-tulisan Marx yang lain.

Pada tahun 1848 Marx diundang lagi ke Paris oleh suatu pemerintahan yang baru. Ini merupakan masa-masa pergolakan, karena itu gerakan-gerakan revolusioner dengan cepat mendapat sambutan di seluruh Eropa. Sesudah tinggal sebentar di Paris, Marx kembali ke Jerman untuk menerbitkan Neue Rheinische Zeitung, dan dengan cara ini bermaksud mempengaruhi arah revolusi itu. Marx melihat periode tersebut sebagai awal suatu titik balik sejarah yang penting yang akan segera menuju ke satu kulminasi proses perubahan sosial yang mendasar yang sudah dimulai oleh Revolusi Perancis¬¬, baik serangan pada tahun 1789 maupun serangan tahun 1848 terhadap dominasi aristokratis tradisional, dipelopori oleh munculnya kelas borjuis. Tetapi revolusi-revolusi tahun 1848 diikuti oleh orang-orang kelas buruh yang lebih terorganisasi, lebih sadar diri, dan secara potensial lebih berpengaruh daripada yang terjadi Revolusi Perancis sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam keyakinan akan hasil akhirnya, Marx tidak seperti beberapa orang revolusioner mengenai kelas buruh, mendukung suatu gabungan antara kelompok borjuis dan proletariat, sampai dominasi aristokrasi dilenyapkan. Fase revolusi tersebut dimaksudkan mempersiapkan kondisi-kondisi materil dan sosial untuk kemenangan akhir kelas proletariat atas kelas borjuis.

Dengan perpindahannya ke kota London mulailah tahap baru dalam hidup Marx. Ia meninggalkan aksi-aksi konspiratif dan revolusioner dan memusatkan perhatiannya pada pekerjaan teoretis. Ia semakin menyadari dirinya sebagai pemikir dan penemu huku-hukum yang menentukan perkembangan masyarakat, sama seperti Newton menemukan hukum-hukum yang mendasari gerak materi. Sejak dari Paris Marx semakin memperhatikan ilmu ekonomi. Dalam pelbagai tulisannya, Marx memaparkan pokok-pokok pandangan materialis sejarah. Ia mengklaim dapat memastikan bahwa kapitalisme mengandung benih-benih keruntuhan dalam dirinya sendiri dan bahwa keruntuhan kapitalisme niscaya akan menghasilkan masyarakat sosialis.

Dengan demikian, Marx berada di bawah tekanan untuk memberikan bukti kebenaran klaimnya itu. Inti pandangan materialis sejarah adalah bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh perkembangan dalam bidang ekonomi. Maka untuk membuktikan tesisnya, Marx harus memperlihatkan bahwa ekonomi kapitalis niscaya menuju kehancurannya. Maka Marx menenggelamkan diri dalam studi ilmu ekonomi. Ia harus membuktikan secara ilmiah bahwa ekonomi kapitalis memuat kontradiksi-kontradiksi yang niscaya akan meruntuhkannya.

Akhirnya, pada tahun 1867, terbitlah buku pertama dari karya utama Marx yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan keniscayaan sosialisme: Das Kapital, yang buku kedua dan ketiganya baru diterbitkan oleh Engels setelah Marx meninggal dunia. Beberapa buku catatan pinggir Marx diterbitkan oleh Karl Kautsky sejak permulaan abad ini dengan judul Teori-teori tentang Nilai lebih.

Meskipun Das Kapital mengecewakan banyak teman Marx—dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya—namun Marx semakin dikenal di kalangan para pemmpin gerakan buruh di benua Eropa. Pada tahun 1864 wakil-wakil pelbagai partai buruh nasional telah mendirikan Asosiasi Buruh Internasional Pertama yang lazimnya dikenal dengan nama Internasionale Pertama. Marx turut dalam dewan pimpinannya. Melalui Internasionale ini Marx dapat behubungan dengan gerakan-gerakan buruh terpenting di Eropa walaupun ia sendiri tidak pernah menduduki jabatan pimpinan. Ia sering dikunjungi dan dimintai nasehat. Kegiatan Internasionale ditandai oleh konflik yang makin tak terdamaikan antara Marx di satu pihak dan sayap anarkistik di bawah Mikail Bakunin di lain pihak. Karena konflik itu, sembilan tahun kemudian Internasionale Pertama bubar.

Dalam kehidupan pribadinya Karl Marx tergolong sebagai orang yang kurang beruntung. Meski kehidupan berkeluarga dengan istrinya cukup bahagia, namun mereka terus-menerus didera kemelaratan, bahkan sering kurang makan. Salah seorang anaknya mati karena kurang makan dan istrinya sering bereaksi histeris. Marx tidak mempunyai pendapatan yang tetap dan tidak tahu bagaimana berurusan dengan uang. Hanya karena kiriman bantuan dari Engels (yang memiliki sebuah pabrik tekstil di Manchester) mereka dapat bertahan. Apalagi Marx suka bersikap otoriter dan menyinggung perasaan orang lain, terutama rekan-rekan sosialisnya. Siapa yang tidak tunduk pada kepemimpinan teoretisnya akan diserang dengan gaya menghina, termasuk penjelekan nama pribadi mereka. Karena itu, hubungannya dengan hampir semua teman seperjuangan lama-lama ambruk. Hanya persahabatannya dengan Engels yang tetap bertahan. Sejak tahun 1860-an Engels mampu menyediakan kiriman uang bulanan tetap bagi Marx, sehingga 20 tahun terakhir keluarga Marx relatif bebas dari kesulitan ekonomis. Tahun-tahun terakhir hidupnya begitu sepi. Jenny, istrinya yang menyertai selama 40 tahun, meninggal pada 2 Desesmber 1881 setelah mengidap penyakit tanpa pengobatan yang cukup. Marx sendiri tidak dapat mengantar ke pemakamannya karena sedang sakit parah.

Sosok Marx setelah istrinya meninggal memang semakin lemah. Pada suatu pagi, 14 Maret 1883, Marx telah terbujur kaku di atas kursi depan meja belajarnya. Layar kehidupan telah tetutup baginya, tetapi sulit mengatakan kalimat yang sama bagi ide-ide yang ditinggalkannya. Engels, sahabat yang paling memahami Marx sepanjang hidupnya, dalam pidato dukanya memberikan gambaran ringkas, bahwa “Karl adalah orang yang paling dibenci, tetapi juga paling dikasihi banyak orang pada zamannya”.

C. Memahami Pemikiran Karl Marx
Seperti diketahui, pemikiran Karl Marx mengalami tahap-tahap perkembangan seiring usia dan problem-problem sosial yang mengitarinya. Karena itu, banyak ahli membagi pemikiran Marx menurut tingkat usia: Marx Muda dan Marx Tua. Masalahnya, apakah antara keduanya terdapat kontinuitas atau diskontinuitas? Louis Althusser dalam Pour Marx (1965), berpendapat bahwa pemikiran Marx Muda dan Marx Tua terjadi diskontinuitas, potongan (coupure) yang tajam. Marx pra-1846 adalah humanis, Marx pasca 1845 anti humanis atau ilmiah. Menurut F. Magnis-Suseno, pendapat itu dipengaruhi oleh pandangan strukturalis Althusser dan kecurigaan komunisme tulen terhadap filsafat Marx Muda, yang saat itu juga Althusser menjadi anggota komite sentral Partai Komunis Prancis.

Banyak juga para ahli yang menekankan kontinuitas antara pemikiran Marx Muda dan Marx Tua, seperti pernah diutarakan Jen Y-ves Calves SJ dalam La Pensee da Karl Marx (1956), Anthony Giddens dalam Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (1986), dan Franz Magnis-Soseno dalam Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999).
Dari dua pendapat kelompok ahli tadi, tampaknya tulisan ini akan mengikuti anggapan kedua, yang akan memotret pemikiran Marx Muda dan Marx Tua sebagai suatu kontinuitas atau kesinambungan.

1. Marx Muda: Dari Dialektika Materialis Sampai Praksis Revolusioner
Seperti diurai di atas, bahwa Marx setiba di Berlin sangat terpesona pada filsafat Hegel dan langsung bergabung dengan Club Young Hegelian. Meski pada akhirnya Marx berbalik mengkritik Hegel, namun sampai akhir hayatnya ia mengakui bahwa Hegel seorang pemikir besar yang temasyhur. Sampai di hari tuanya ia dengan bangga mengakui, bahwa pemikirannya ditentukan oleh Hegel. Karena itu, untuk memahami secara utuh pemikiran Marx, lebih awal kita harus memahami beberapa unsur kunci dalam filsafat Hegel.

Dalam literatur filsafat Jerman, Hegel dianggap sebagai puncak pemikiran sekaligus perlambang idealisme Jerman, setelah Schelling, Fichte dan Kant. Yang membedakan filsafat Hegel dari filosof-filosof lain bukanlah apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel mengetahui adalah proses di mana obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama dan selesai. Dengan kata lain, pengetahuan/realitas tak ubahnya sebuah ongoing proses, yang selalu disangkal atau dinegasi. Semua realitas atau pengetahuan saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Itulah yang disebut Hegel sebagai Dialektika.
Dari sini dapat dipahami, bahwa salah satu aspek penting berpikir dialektis adalah totalitas. Dengan artian, seluruh yang ada di dalamnya memiliki unsur-unsur saling bernegasi, saling berkontradiksi dan saling bermediasi, yang umunya dikenal dengan tahap, tesis, antitesis dan sintesis.

Dialektika sebagai wujud pengetahuan manusia merupakan realitas yang sedang aktif dan terus bergerak: dari sesuatu yang tidak sempurna menuju yang sempurna, dari pengetahuan sederhana ke pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut (sering juga disebut roh absolut) merupakan titik akhir filsafat yang dilebur dari segala fenomen pengalaman dan kesadaran. Semua unsur dunia, sejarah, penghayatan diri, pikiran, manusia, seni, agama, filsafat berhenti dan mengendap dalam pengetahuan absolut.
Hegel percaya, bahwa kekuatan yang mendorong perubahan sejarah dalah munculnya pengetahuan absolut yang menginisaisi kesempurnaan manifestasi ide-ide. Sehingga Hegel dan beberapa pengikutnya sampai pada satu asumsi, bahwa struktur sosial dan politik negara Prussia merupakan suatu perwujudan ide-ide. Di sini Marx dan para Hegelian muda yang kritis, menolak ajaran-ajaran gurunya yang sudah diterimanya. Karena bangunan politik negara Prussia yang dianggap Hegel sebagai pengejawantahan ide-ide yang menjunjung tinggi rasionalitas (melawan absolutisme penguasa) dan kebebasan (hak asasi manusia) tidak terwujud, bahkan makin konservatif dan otoriter. Namun demikian, Marx tetap menggunakan analisa dealektik Hegel dalam mengembangkan teori dan filsafatnya, tetapi dia menolak idealisme Hegel dan menggantinya dengan pendekatan materialistik.

Gagasan pokok yang diambil oleh Karl Marx dari Hegel, yaitu terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa segala sesuatu berkembang terus. Dua karakteristik dialektika Hegel ini kemudian digunakan Marx untuk perspektif lain, sebab teori asal hukum dialektika hanya berlaku terbatas pada dunia abstrak yang mengambil wadah dalam pikiran manusia. Marx justru membalik dialektika itu ke dalam dunia yang nyata (real), materi atau dunia benda konkrit. Dengan kata lain, segala sesuatu bersifat rohani merupakan hasil dari materi, bukan sebaliknya.
Dialektika materialisme yang mendasari kritik Marx terhadap idealisme Hegel, sebetulnya telah diintrodusir oleh Ludwig Feuerbach (1804-1872) dalam Das Wessen des Christentum (Essence of Chrsitianity): sebuah buku yang menimbulkan banyak protes dan kemarahan dari kaum Gereja, pada 1841. Dalam bukunya, Feuerbach mengakui filsafat Hegel adalah puncak rasionalisme modern, tetapi dalam suasana semacam ini dominasi agama, yang dalam terminologi Hegel disebut roh absolut, tetap mewarnai kehidupan, sehingga dunia materi khususnya “manusia” tidak ditempatkan pada martabat semestinya.

Feuerbach mengakui metode Hegel mengandung unsur pembebasan manusia melalui proses penyadaran roh yang kontinyu. Tapi pembebasan ini menurut Feuerbach tidaklah cukup, karena pikiran adalah tesis, sedang kenyataan (sebagai antitesis) tempatnya juga dalam pikiran. Artinya, all that real is rational, all that rational is real. Padahal menurut Feuerbach, yang nyata hanyalah materi, sedang pikiran (meski dalam bentuk yang paling murni) hanyalah merupakan alienasi dari kenyataan materil (alam). Karena itu, ide-ide yang menjelma dalam kesadaran (concience) tidak lain dari pernyataan alam, Singkatnya, ide menyusul alam dan bukan alam menyusul ide.
Pengandaian itulah yang mendasari “kritik agama” Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi sebaliknya Tuhan adalah proyeksi atau ciptaan angan-angan manusia. Namun manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri, sehingga manusia merasa takut dan perlu menyembah dan menghormati Tuhan. Disinilah agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, yang pada gilirannya manusia mengalami hambatan dalam merealisasikan hakekatnya yang sosial yang berimplikasi pada sikap-sikap intoleran dan fanatik. Keterasingan semacam itu, bagi Feuerbach, tidak dapat diakhiri tanpa meniadakan agama. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya. Teologi harus diganti menjadi antropologi: suatu agama tanpa Tuhan tapi agama cinta kasih. Namun, bagi Marx kritik agama Feuerbach tidak akan membebaskan manusia dari keterasingan, sebab pendekatan itu tidak praktis. Agama sebenarnya hanyalah gejala sekunder, penyebab keterasingan paling mendasar adalah struktur-struktur dalam masyarkat yang dikonstruksi oleh sistem ekonomi. Karena itu, yang terpenting bukan lagi memahami keterasingan, tapi bagaimana menghapusnya. Orientasi filsafat tidak hanya melulu berkutat pada bagaimana cara memahami atau menginterpertasi dunia, tapi yang terpenting bagaimana cara mengubahnya. Pada titik ini, lewat dialektika material yang dipungut dari Hegel dan Feuerbach, Marx mencanangkan filsafat sebagai praksis revolusioner.

2. Materialisme Historis: Fase Kematangan Pemikiran Marx
Dalam beberapa bagian tadi sudah disebutkan, bahwa agama bukanlah faktor mendasar yang menyebabkan keterasingan manusia, melainkan secara dominan disebabkan oleh kelas-kelas dalam masyarakat: kelas yang satu menindas kelas lainnya. Karena itu, keterasingan tidak cukup diatasi hanya dengan membubarkan agama, tetapi harus melalui perjuangan kelas.

Istilah “kelas” sebenarnya tidak didefinisikan secara tegas oleh Marx, tetapi dalam beberapa karyanya Marx sering menggunakan istilah “kelas” yang secara eksplisit selalu merujuk pada penggolongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi.

Bertolak dari interpretasi ini, Marx menurunkan tesis sejarah perkembangan masyarakat ke alam empat tahap: pertama, masyarakat komunal primitif, yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat sederhana. Alat-alat itu bukan milik perseorangan, tetapi milik komunal. Keadaan ini tidak berlangsung lama. Sebab, masyarakat mulai menciptakan alat-alat baru yang dapat memperbesar produksi. Periode zaman batu telah beralih pada penggunaan tembaga dan besi. Tentu, mau tak mau, kondisi semacam ini akan mengakibatkan perubahan sosial: pembagian kerja dalam produksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang mulai berkembang, dan keperluan produksi pun juga meningkat, sehingga dibutuhkan kaum pekerja dalam rangka produksi. Di sinilah mulai tercipta hubungan produksi dalam masyarakat komunal itu.

Kedua, masyarakat perbudakan (slavery). Dalam masyarakat ini, hubungan tercipta berkat hubungan produksi antara pemilik alat produksi dengan tenaga kerja. Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, upah budak/pekerja di bawah standar, dan pada saat yang sama pemilik alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Tapi akhirnya, budak sadar akan kedudukannya (manfaat tenaganya). Timbul ketidakpuasan yang kemudian menyulut perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.

Ketiga, masyarakat feodal. Perkembangan di tingkat ini bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilikan alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat—puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis—yaitu kelas feodal yang menguasai hubungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud.

Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor/bidang usahanya lewat pendirian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksinya yang semakin bertambah. Fenomena baru ini tidak dapat dibendung kehadirannya dan mendorong terbentuknya sistem kapitalis, yang menghendaki terhapusnya feodalisme.

Keempat, masyarakat kapitalis. Hubungan produksi dalam sistem masyarakat ini didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan kaum buruh, yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya. Fenomena baru dalam sistem kapitalis ini adalah adanya pembaharuan pabrik-pabrik, mesin-mesin dimodernisasi dengan menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran hasil produksi semakin ketat, sementara upah dan kesejahteraan yang didambakan kaum buruh tidak kunjung datang.

Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, terdapat dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan: kelas bawah/proletar yang terdiri dari kaum buruh/pekerja dan kelas borjuis yang terdiri dari para majikan atau pemilik alat-alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak hingga akhirnya lahir pertentangan kelas.

Kelima, masyarakat sosialis. Tahap perkembangan ini merupakan formulasi akhir dari lima tahap perkembangan sejarah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberikan kebebasan bagi manusia dalam mencapai harkatnya yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Dengan lain kata, sebuah sistem yang menginginkan terhapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.

Setelah memahami sejarah perkembangan masyarakat, struktur masyarakat manakah yang membidani lahirnya keterasingan? Marx menunjuk masyarakat kapitalis. Sebab, keterbagian masyarakat ke dalam kelas atas dan bawah, majikan dan buruh, borjuis dan proletar, otomatis menunjuk masyarakat pada fungsinya dalam proses produksi. Kelas atas yang dihuni oleh para majikan memiliki alat-alat kerja: pabrik, mesin dan tanah. Kelas bawah yang dihuni oleh kaum buruh hanya memiliki tenaga yang dijual kepada kelas atas. Dengan demikian, hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan.

Bertolak dari analisa ini, kelas atas adalah kelas yang kuat dan kelas bawah adalah kelas yang lemah. Kelas atas dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka, bukan sebaliknya. Kelas bawah yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh para kapitalis. Jadi, dalam sistem kalpitalis hubungan antara kelas atas dan kelas bawah adalah hubungan kekuasaan: yang berkuasa adalah kelas atas, para kapitalis, kaum borjuasi yang memiliki modal dan alat-alat produksi, sedang yang dikuasai adalah kelas bawah, kaum proletar atau para buruh. Dalam pola hubungan ini eksploitasi tidak dapat dihindarkan. Kelas atas bisa memanfaatkan pekerjaan kelas bawah untuk survive. Sementara kelas bawah diproyeksikan untuk mengerjakan apa yang menguntungkan kelas atas, bukan sebaliknya.

Sistem produksi kapitalis yang membidani lahirnya kelas atas dan kelas bawah, kini tidak hanya tercermin dalam bidang ekonomi tapi juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx yang mendasari asumsi ini adalah negara kelas: negara dikuasai—secara langsung atau tidak langsung—oleh kelas atas atau orang-orang yang menguasai bidang ekonomi.

Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah seperti yang diimpikan Plato sebagai macro-antrophos, subyek besar yang bisa memayungi dan mengatur masyarakat tanpa pamrih, tapi tidak lebih sebagai perpanjangan tangan kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Negara bukanlah wasit yang netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Sebagaimana ditulis Friedrich Engel, “Negara….. bertujuan untuk mempertahakan sayarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa”.
Dalam perspektif ini, maka negara adalah lawan masyarakat kecil. Karena itu, orang kecil tidak perlu mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga orang kecil. Bahkan dalam meomen-momen tertentu, negara memungkinkan untuk memodifikasi kepentingan kelas atas seolah-seolah menjadi kepentingan umum. Selubung semacam ini disebut Marx sebagai ideologi.

Konsep “Ideologi” yang diintrodusir Marx menunjuk pada ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah terhadap sesuatu yang semestinya tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi.

Dalam beberapa karyanya, Marx memberikan contoh argumentasi kapitalisme yang khas ideologis. Misalnya, kapitalisme mengklaim sebagai sistem sosial-ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese dan sangat menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju serta memberi imbalan atas setiap prestasi. Tapi kapitalisme mengabaikan kesamaan tidak mungkin terjadi. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh, ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan, tetapi karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.

Kritik ideologi Marx tidak hanya diproyeksikan untuk merobek selubung kapitalisme, tetapi dapat digunakan untuk menganalisis struktur kekuasaan dalam masyarakat, termsuk yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurutnya, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Begitu juga agama, ia hanya dapat memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang tabah menerima “nasib” atau “salibnya”, sehingga rakyat kecil terbuai dan lupa untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Sebaliknya, mereka malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, sutau sikap yang justru menguntungkan kelas-kelas yang menindas.

Pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat dan seni juga ikut andil mensukseskan kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia bersedia menerima kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Tuntutan moral agar kita bersikap ikhlas dan tidak mau menang sendiri, secara efektif juga dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya.

Mengapa agama, moralitas, nilai-nilai budaya dan sebagainya selalu dan dengan sendirinya menguntungkan kelas-kelas atas? Menurut Marx, “pikiran kelas penguasa sampai kapan pun sesak dengan hasrat untuk berkuasa. Di sini, selain sebagai kekuatan material masyarakat, kelas berkuasa juga berusaha menjadi kekuatan spiritual masyarakat”. Mengapa demikian? Karena hanya kelas-kelas yang “menguasai sarana-sarana produksi material yang sekaligus menguasai sarana-sarana produksi spiritual”. Hanya kelas-kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kalaupun orang-orang kecil mempunyai pengertian sendiri (seperti masyarakat Jawa diwakili dalam wayang oleh para punakawan), pengertian itu tidak dapat disebarluaskan sehingga masyarakat yakin bahwa nilai-nilai orang-orang kraton lebih tinggi (dan para punakawan hanyalah abdi para ksatria). Pada umumnya nilai-nilai resmi masyarakat adalah nilai-nilai kelas-kelas atas.

Sampai di sini kita dapat memahami, bahwa kenyataan yang paling menentukan dalam sejarah perubahan dan perkembangan masyarakat adalah struktur kelas-kelas sosial. Kelas-kelas itu lahir dan terbentuk tidak dengan sendirinya, tapi merupakan usaha manusia untuk mengamankan dan mempertahankan hidupnya. Sehingga lahirlah kelas atas sebagai kelas penindas, dan kelas bawah sebagai kelas yang ditindas.

Untuk menghapus penindasan tersebut, menurut Marx, dibutuhkan hadirnya tatanan baru dalam masyarakat, yaitu sosialisme: sebuah sistem masyarakat yang meniscayakan adanya penghapusan hak milik pribadi. Marx percaya, hal ini pasti terjadi. Dalam banyak tulisannya Marx memperlihatkan, bahwa keruntuhan kapitalisme bukan sekedar ilusi, tetapi merupakan hukum sejarah obyektif. Pada titik ini, Marx mengklaim bahwa sosialismenya bersifat ilmiah. Klaim ini berangkat dari satu pengandaian bahwa sosialisme tersebut didasarkan pada pengetahuan tentang hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Pengetahuan itulah yang disebut “materialis sejarah”.
Dalam pandangan Marx, kapitalisme dengan segala kontradiksi internalnya yang akut, tidak akan dapat bertahan dan segera mengarah pada kehancurannya. Kontradiksi yang dimaksud Marx adalah kenyataan bahwa kapitalisme di satu pihak menciptakan proletariat sebagai sumber eksploitasi, tetapi di lain pihak proletariat sebagai ciptaan kapitalisme adalah kelas yang akan mengubur kapitalisme. Kesadaran rasa senasib dan sepenanggungan dalam kelas proletariat, makin lama makin mengkristal dan menjadi semangat juang yang kokoh dan tak terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri mati. Mereka akan memberontak dan melakukan revolusi sosialis, yang dapat membeaskan manusia dari keterasingan dan melahirkan struktur masyarakat tanpa kelas (clasless society), bukan revolusi seperti Revolusi Prancis yang hanya membebaskan manusia dari penghisapan feodal yang kemudian melahirkan struktur kekuasan baru yang mewujud dalam kekuasan kaum borjuasi.

Revolusi sosialis yang diluskikan Marx, pertama-tama dilakukan dalam ranah politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk memproteksi akses kaum kapitalis agar tidak memakai kekayaan dan fasilitas yang masih mereka kuasai serta untuk mencegah kemungkinan revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara.

Apabila perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Dengan demikian, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai “panitia untuk mengurus kepentingan borjusi” tidak mempunyai dasar lagi. Bukan berarti negara telah ‘dihapus’, tapi menjadi layu dan mati sendiri, kemudian lahirlah sosialisme dan komunisme; suatu keadaan masyarakat tanpa kelas pasca penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.

D. Implikasi Pemikiran Marx
1. Terhadap Agama
Diakui atau tidak, filsafat Marx yang materialistis telah membawa dampak ateistik dalam perilaku masyarakat dunia. Dan Marx sendiri sejak awal kehadirannya dalam dunia filsafat mengaku sudah menjadi ateis. Dalam tesis doktornya di Universitas Jena sambil mengutip ucapan Promeatheus—dewa yang melakukan makar terhadap Zeus—bahwa ia tidak mau melepaskan sikap fasiknya dan tidak mau mengakui adanya Allah serta melakukan ibadah kepada ilah-ilah.

Dalam beberapa tulisannya, Marx mengkategorikan agama sebagai penunjang kepentingan kelas atas. Dari sinilah bermula segala kritik Marx, karena dilihatnya para pendeta dan pembesar gereja telah bersekutu dengan penguasa represif. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan penderitaan massa. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama telah memainkan peranan di luar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama bukannya mendukung perubahan sosial yang akan membahagiakan lapisan mayoritas, tapi sebaliknya menjadi alat legitimasi yang menguntungkan segelintir elite. Pada tempat inilah—di luar pembahasan yang yang bersifat teologis—Marx menyebut agama dan penganjur agama sebagai pendukung status quo, dan dari sana Marx mengumandangkan bahwa “agama adalah candu masyarakat”.

2. Terhadap Komunisme
Masyarakat komunis merupakan tatanan masyarakat yang diramalkan Marx akan meruntuhkan tatanan masyarakat kapitalis. Meski prediksi itu tidak berbanding lurus dengan kenyataan, harus diakui bahwa komunisme saat ini telah menjelma sebagai salah satu ideologi dunia dengan pengikut separuh penduduk bumi. Ideologi ini menjelma sebagai universum symbolicum yang melegitimasi lahirnya Rusia, Cina dan yang lain. Mereka menyebut diri setia dengan beberapa tesis-tesis dasar Karl Marx, meski mereka juga tetap bertengkar memperebutkan kebenaran ideologi dan melontarkan tuduhan revisioner satu sama lain. Namun di tengah-tengah perkembangan dunia, kaum komunis tidak pernah melupakan cita-cita awalnya, yaitu merebut hegemoni dunia dalam rangka tercapainya masyarakat sosialis. Untuk maksud itu, tidak jarang revolusi diterjemahkan dengan mempersiapkan kekuatan militer dan senjata-senjata pemusnah peradaban. Semangat untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan mengembalikannya pada posisi yang semestinya, kenyataannya justru sering berbalik menjadi pemicu lahirnya genocide dan pelanaggaran HAM.

3. Terhadap Perkemabangan Gerakan Buruh
Sampai saat ini, Marx adalah “tuhan” bagi gerakan politik kaum buruh. Pemikirannya yang tidak bermaksud sekedar memaparkan sebauah ajaran filosofis, tapi mengarah pada tindakan praksis, revolusi proletariat, telah menginisiasi lahirnya organisasi-organisasi kaum buruh.


4. Terhadap Filsafat Modern dan Kontemporer

Seperti telah banyak diurai, pemikiran Marx yang diacukan untuk tujuan praksis adalah untuk membunuh filsafat. Namun, tujuan tidak itu ternyata tidak dapat menemui kenyataan. Yang terjadi justru pemikirannya menjadi motor yang sangat menentukan dalam filsafat modern. Sartre adalah sosok yang dapat diambil sebagai contoh. Filosof abad 20 ini menggeluti filsafat eksistensialisme lebih dari separuh usianya. Di akhir hayatnya, ia mengakui keunggulan Filsafat KarlMarx: I consider Marxisme the one philosohy of our time wich we caonnot go beyond.

Filsafat modern atau bahkan kontermporer kembali dipenuhi oleh premis-premis yang pernah dilontarkan Marx. Ini bisa dilihat dengan munculnya usaha-usaha kreaatif dari filosof yang tergabung dalam Neo-Marxisme dan Sekolah Frankfurt, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan Eric Fromm.
Di antara titik balik yang penting dari analisis Marx terhadap masyarakat kapitalis adalah tesis bahwa masayarakat Barat dewasa ini identik dengan masayarakat industri yang sakit karena menuju pada arah yang berdiemnsi tunggal (one dimension man), yaitu masyarakat yang represif dan totaliter. Pokok soal ini menjadi kritik Herbert Marcuse yang pisau analisisnya merupakan resonansi filosofis dari Karl Marx. []
read more “Memahami Pemikiran Karl Marx : Sekedar Pengantar”

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web