Melawan Kmiskinan di Tengah Kepungan Globalisasi


Kemiskinan tidak lagi menjadi menu debat yang berat dan perlu banyak waktu untuk didiskusikan, karena faktanya di negeri ini sudah terlalu gamblang untuk diabstraksikan. Standar kemiskinan seperti di lansir UNDP, yang mengerucut pada orang yang berpenghasilan kurang dari 2 dolar AS perhari, tidaklah sulit dijumpai di setiap sudut negeri ini, mulai dari kota besar, pelosok gunung, sampai pinggiran pantai. Jika mengikuti standar itu, terdapat sekitar 110 juta dari sekitar 220 juta orang penduduk Indonesia yang hidup dalam deraan kemiskinan (Kompas, 17 Oktober 2003).

Sebagai problem, kemiskinan sendiri dapat bersifat individual dan juga sosial (Jalaluddin Rakhmat, 1999:54-7). Pada kategori pertama, kemiskinan mengejawantah lantaran kultur kemiskinan yang lahir dari akumulasi masalah-masalah personal, yakni yang bermula dari rendahnya anasir kualitas individual. Sementara, sebagai problem sosial, kemiskinan lebih disebabkan terdapatnya faktor-faktor yang bersifat sosial, seperti terjadinya resesi ekonomi, krisis moneter, atau krisis politik. Ringkasnya, ia akibat dari sejumlah faktor yang jalin berkelindan, seperti model pembangunan dan kebijakan yang tidak berorientasi pada kebaikan bersama (bonum commune), eksploitatif, menindas, dan ketidakadilan yang mengendap dalam sistem dan struktur ekonomi-politik global.

Dari sini sedikit ada lampu terang bahwa kemikiskinan jelas bukan suatu yang diinginkan, seperti karena malas atau tidak hemat, melainkan suatu keadaan yang diakibatkan oleh sistem yang tidak adil. Praktek marjinalisasi ekonomi-politik global telah menjadikan mereka seperti tamu di negeri sendiri. Lahan mereka banyak diserobot oleg para pemegang modal dan diteknologisasi menjadi pedagang kaki lima. Namun, di kota mereka tetap tidak bisa hidup layak. Mereka kalah dan dimarjinalisasikan. Bahkan dikerjar-kejar, dijaring dan ditertibkan aparat demi keindahan kota dan pembangunan nasional.


Kepungan Globalisasi

Kenyataan di atas menggambarkan, bahwa kita sedang tak berdaya menghadapi kepungan sistem global. Benar apa yang dikatakan Klaus Schawaâe, sejarawan asal Jerman, pada World Economics Forum 1999 di Daavos, Swiss, bahwa kita telah beralih dari situasi di mana si besar memakan si kecil, ke kondisi di mana si cepat memangsa si lambat. Kondisi tersebut, menurut Susan George, telah melahirkan modus baru marginalisasi marginalisasi yang merentangkan konflik kelas, yang diilustrasikan Frans Magnis Suseno dengan konflik “penghuni lantai atas (the golden crowd) dengan lantai bawah (the rest). Di Indonesia, lantai atas biasanya dihuni oleh the golden crowd dan orang-orang yang memiliki tempat kerja modern ber-AC, berasuransi kesehatan dan hari tua. Sementara lantai bawah dihuni oleh para pekerja keras, mereka yang dengan susah payah bekerja untuk mempertahankan hidupnya, seperti petani dan buruh tani, buruh perkebunan, nelayan, buruh industri, karyawan rendahan, dan wiraswasta di kaki lima.

Dari sini dapat dipahami, kenapa tata ekonomi penghuni lantai bawah rontok. Jawabnya tidak lain karena mereka tidak mampu menjadi si cepat. Jika, mengikuti Herry Priyono, penguni lantai bawah merupakan “pembadanan” dari sifat material/manual ekonomi. Sifat material-fisik ekonomi manufaktur paralel dengan fakta bahwa kaum miskin “tidak punya modal lain selain fisik/ototnya”. Sementara di lain tempat, juga berlangsung apa yang disebut Alvaro J. de Regil sebagai corporacy. Artinya, dalam tata ekonomi-politik global muncul secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa yang menentukan seluruh aspek-aspek kehidupan kita, mulai dari pengadaan pangan sampai jenis film yang kita tonton, dari beragam macam obat samapi jenis musik yang kita dengar.

Pada titik ini, praktek marginalisasi terhadap penghuni lantai bawah berjalan sempurna. Dimensi homo economicus dan homo financial telah mendominasi homo culturalis dan homo socialis dalam diri masyarakat kita. Normatif etis yang biasa disebut “kebaikan bersama” (bonum commune) serentak musnah terkubur. Pengatasan kemiskinan sebagai tujuan pembangunan tidak lagi dilihat sebagai tujuan yang secara intensional dikejar oleh kinerja ekonomi-politik. Pemerintah yang sejatinya menjadi lembaga kesejahteraan publik telah menjadi lemas dihadapan kekuasaan modal yang dikendalikan oleh penghuni lantas atas.

Perselingkuhan Negara -Pasar
Akhirnya, kita paham bahwa negara yang diandaikan Plato sebagai macro antrophos (subjek besar) kini mulai memudar. Konsep negara integralistik Supomo yang bertumpu pada ajaran-ajaran negara hukum Locke, Rousseau dan Montesquieu juga mulai kehilangan wibawanya. Setidaknya, kesaksian George Soros memberikan petunjuk ke arah ini. Menurutnya, ancaman paling serius terhadap kebebasan dan demokrasi dalam tata dunia dewasa ini berasal dari perselingkuhan (unholy alliances) antara pengusaha/pasar dan pemerintah. Prosedur demokrasi memang tetap dipatuhi, tetapi otoritas negara telah dipangkas dan dibengkokan oleh kepentingan-kepentingan bisnis privat.

Karena itu, meletakkan harapan di pundak negara agar dapat mengembalikan keadilan dan menjaga kesejahteraan publik adalah gambling. Jauh sebelum Pierre Bourdieu meninggal, beliau mengingatkan kita, bahwa semua pemerintahan negara di berbagai belahan dunia telah memulai berbagai langkah ekonomi yang justru membawa mereka ke dalam perangkan ketidakberdayaan ekonomi. Kuatnya gagasan atomistik mengenai tanggung jawab individu dalam ekonomi-politik global mengakibatkan penggusuran social walfare dan diganti self care. Bidang-bidang yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, kini dilimpahkan kepada individu masing-masing. Di sini adagium “yang miskin makin miskin” berlaku. Sebab, praktek marginalisasi berlangsung ganda: kelompk miskin tidak hanya tersingkir oleh apa yang disebut B. Herry Priyono sebagai kinerja prinsip daya beli-menentukan hak”, tetapi juga telah kehilangan jaring pengaman sosial (social sefty net).

Melawan Kemiskinan
Kini, adakah kemungkinan untuk melawan globalisasi agar kita bisa keluar dari kemiskinan? Globalisasi kini telah menjadi realitas dunia. Tak ada ideologi yang dapat membendung gerak pasar yang dikendalikan oleh kapitalisme dan geak politik yang dituntut oleh demokrasi. Narasi besar dikotomi Barat-Timur, nasionalisme maupun agama telah menjadi usang dan kehlangan gaungnya ketika berhadapan dengan globalisasi. Meminjam ilustrasi Giddens, globalisasi ibarat sosok Juggernaut, yang akan melindas dan menyingkirkan siapapun yang tak mampu ikut dan menyesuainkan diri dalam arus globalisasi.

Saya sepakat dengan tawaran Herry Priyono (Basis, Mei-Juni 2004), bahwa globalisasi tak perlu lagi digiring ke dalam posisi pro-kontra. Saat ini kita mesti berbalik arah untuk mendeteksi sosok dan jaringan kekuasaan global yang berimplikasi pada marginalisasi kelompok miskin. Dicabutnya social walfer dalam isntitusi pemerintahan dan perusahaan, misalnya, tentu saja mengandaikan lahirnya imperatif kategoris baru, bahwa setiap individu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bertanggung jawab mengembangkan potensi dirinya sebagai modal dalam pacuan ekonomi global. Pemikiran bahwa setiap individu adalah enterpreneur amatlah relevan. Setidaknya, pemikiran tersebut bisa merangsang lahirnya inisiatif perluasan agenda kewirausahaan dan gerakan pengadaan infrastruktur, kredit, dan beragam pelatihan bagi penghuni lantai bawah.

Namun inisitif tersebut tetap membutuhkan dukungan kebijakan publik yang mampu menjamin pelaksanaan bonum commune. Selama ini, perselingkuhan antara pemerintah dan pengusaha/pasar tidak hanya melahirkan logika sistem pasar bebas dalam kinerja pemerintah, tetapi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah , baik dalam pendidikan, kesehatan, budaya, ketenagakerjaan senantiasa digerakkan oleh tuntutan revenue financial. Artinya, semua kebijakan dikonsentrasikan pada program-program yang dapat mendatangkan income/revenue bagi negara.

Instansi-instansi seperti kesehatan , pendidikan dan ketenagakerjaan yang diandaikan menjadi “perisai” kelompok-kelompok miskin dianggap sebagai instansi yang tidak mendatangkan revenue ketimbang instansi seperti Departemen Keuangan dan Pajak. Dari sini kita bisa melihat, bagaimana negara menggusur etika politik dan secara intensional ikut andil dalam proses marginalisasi kelompok miskin.

Di sini kita sampai pada titik simpul, bahwa melawan kemiskinan tidak hanya membutuhkan perluasan agenda kewirausahaan, tetapi juga mengandaikan peran pemerintah agar segera melakukan revitalisasi kebijakan publik. Dengan demikian, bonum commune bukan lagi ilusi dan pengatasan kemiskinan akan segera menemui titik terang.

1 Tulisan ini pernah disampaikan pada acara Diskusi Reguler “Mengurai Benang Kusut Kemiskinan” yang diselenggarakan oleh Pondok Budaya IKON, Surabaya, 15 Maret 2007

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web