Kekuasaan dan Pengetahuan

Kekuasaan: Ragam Perspektif

“Kekuasaan” berasal dari kata dasar “kuasa’, yang diberi afik ke dan sufik an. Kata kekuasaan ini berorientasi pada kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan. [2] Kata “kuasa” juga memiliki arti khusus; (1) kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu, kekuatan (selain benda atau badan), (2) kewenangan untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus) sesuatu, (3) orang yang diberi kewenangan untuk mengurus (mewakili dan sebagainya) yang ada pada seseorang karena jabatan atau martabatnya. [3]

Arti kekuasaan di atas, menunjukkan bahwa kekuasaan selain menunjuk kepada kata benda (kemampuan, kesanggupan, dan kekuatan), juga menunjuk kepada arti sifat, yakni benda dan orang yang diberi kewenangan. Dengan demikian, nampak bahwa kata kekuasaan telah mengalami eskalasi dan pluralitas makna. Meski demikian, makna yang terbebntuk selalu berpusar pada tiga pangkal pokok, yaitu pengaruh, kemampuan, dan kemampuan.

“Kekuasaan” adalah istilah yang mempunyai pengertian majemuk dan digunakan oleh berbagai cabang ilmu pengetahuan (kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan media, pengetahuan dan sebagainya) serta dibicarakan dari berbagai sudut pandang.
Dalam kenyataan sosial, kekuasaan biasanya terjalin dalam bentuk hubungan (relationship). Dengan kata lain, ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler dan the ruled). Dalam pola ini tidak ada persamaan martabat, yang satu selalu lebih tinggi dari yang lain dan cenderung melahirkan unsur-unsur pemaksaan. [4]

Dalam konteks politik, kekuasaan juga cenderung diselenggarakan lewat berbagai cara. Jika mengikuti Niccolo Machiavelli, cara apapun yang digunakan tidak menjadi soal, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Tersirat dalam pemikiran Machiavelli adalah diterimanya cara-cara kekerasan dan represi, seperti teror, intimidasi, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan dalam mempertahankan kekuasaan. [5] Tetapi cara Machiavelli yang mengandalkan kekuatan, kekerasan dan mengabaikan aspek moral, tentu bukanlah satu-satunya cara. Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Itali, melihat praktek kuasa abad ini seringkali tidak lagi tampil dengan pedang terhunus dan bunyi dor senapan, melainkan dalam pertarungan ide-ide. Pada titik ini, terget utama adalah bagaimana kelompok yang dikuasai atau masyarakat dapat menerima penguasa atau negara dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Praktek kekuasaan semacam ini disebut dengan “hegemoni”. [6]

Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, mendeterminasikan kekuasaan pada kekuatan intelektual dan moral yang diperagakan secara sensual. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, ia tidak hanya harus memiliki serta menginternalisasikan nilai-nilai dan norma dari sang penguasa, lebih dari itu ia juga harus memberi persetujuan atas subordinasi penguasa.

Dalam tilikan Gramci, peran hegemoni yang dilangsungkan oleh negara – dalam konsep Gramsci dikenal dengan “negara integral” – mencakup paduan kompleks antara dua suprastruktur. Pertama, aparatus koersif, yakni masyarakat politik yang diperankan oleh institusi-institusi legal yang memiliki kekuasaan struktural langsung pada negara, seperti pemerintah, tentara, polisi, pengadilan, birokrasi, dan sebagainya. Kedua, aparatus hegemonik, yaitu masyarakat sipil yang mencakup seluruh transmisi yang lazim disebut “swasta”, seperti media, lembaga pendidikan, agama, dan sebagainya, memiliki peran signifikan dalam membentuk kesadaran masyarakat. [7]


Kekuasaan dan Pengetahuan

Dalam amatan Foucault, kekuasaan yang dimaksud bukan Kekuasaan, dengan “K” besar, yang lazim dipraktekkan pada zaman feodal, abad ke-17 sampai abad ke-19. [8] Foucault juga berlawanan dengan paham Marxis, termasuk Gramsci, yang melihat kekuasaan sebagai satu sistem umum dominasi oleh suatu kelompok terhadap yang lain. Bagi Foucault kekuasaan tidak terpusat pada satu titik satu sumber otoritas. Karena itu, kekuasaan harus dipahami secara anonim: bukan semacam daya atau kekuatan yang terdapat pada beberapa orang yang bisa dimiliki, dibagi dan dikurangi. Kekuasaan bukan suatu institusi, bukan struktur, bukan pula suatu kekuatan yang bisa dimiliki. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit dan kompleks dalam masyarakat. [9]

Dengan demikian, Foucault tidak lagi menyajikan suatu metafisika tentang kuasa, tetapi suatu mikrofisika. Artinya, masalahnay bukan apakah itu kuasa, tetapi bagaimana kuasa itu beroperasi dalam suatu bidang tertentu. Berpijak dari pemahaman ini, Foucault menjelaskannya sebagai berikut:

Pertama, kuasa sebagai strategi. Pertama-tama kekuasaan berlangsung tidak melalui kekerasan atau persetujuan (Hobbes, Locke). Kekuasaan juga tidak beroperasi secara represif (Freud, Reich) atau melalui pertarungan kekuatan (Machiavelli) dan bukan juga dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan, “kekuasaan harus dipahami dalam banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan terus-menerus”. Dengan demikian, kekuasaan bukan hubungan subjektif searah: kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. [10]

Kedua, kekuasaan tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Pada level ini, kekuasaan digambarkan oleh Foucault sebagai ‘perang bisu’ yang menempatkan konflik dalam berbagai situasi sosial, dalam ketidasetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh masing-masing. Dalam hal ini, kekuasaan tidak lagi dapat dilokalisasi pada tempat, orang atau institusi tertentu. Kekuasaan ada di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh boleh disebut hubungan-hubungan sosial-ekonomis, hubungan-hubungan menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. [11]

Di manapun ada kekuasaan, di situ ada perlawanan. Namun, perlawanan pun tidak pernah berada di luar kekuasaan. Pendeknya, mau tidak mau, kita selalu berada “ di dalam” kekuasaan. Kita tidak luput dari kekuasaan, tidak ada yang secara mutlak di luar kekuasaan karena kita pasti ditundukkan oleh hukum. [12]

Ketiga, kekuasaan tidak represif tetapi produktif. Pada titik ini, kekuasaan seringkali dianggap subyek yang berkuasa – raja, pemerintah, ayah, laki-laki dan kehendak umum – yang melarang, membatasi, menindas, dan sebagainya. Menurut Foucault, kekuasaan tidak bersifat subyektif. Ini juga salah satu alasan mengapa ia menolak pandangan Marxisme: ia melihat kekuasaan bukan sebagai suatu proses dialektis di mana si A menguasai si B dan kemudian (sesudah beberapa syarat telah terpenuhi) si B dapat menguasai si A. [13]

Menempatkan subyek sebagai pelaksana kekuasaan, menurut Foucault, merupakan keterputusan epistemologis. Sebab, manusia sebagai subyek seringkali menjadi obyek pengetahuan bagi ilmu-ilmu manusia, [14] yang pada gilirannya ilmu-ilmu tersebut menancapkan kekuasaannya melalui mekanisme disiplin:

“Ilmu-ilmu yang disambut baik oleh kemanusiaan kita sejak satu abad (baca: abad 19) mempunyai acuan teknis disiplin dan investigasi penuh dengan detil-detil dan keculasan. Disiplin dan investigasi ini diterapkan dalam psikologi, psikiatri, pedagogi, kriminologi, dan pengetahuan-pengetahuan aneh lainnya, seperti halnya kekuasaan penyelidikan yang dimiliki ilmu terhadap binatang, tumbuhan, dan tanah. Di sinilah semua kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri”. [15]

Teknik disiplin dan investigasi tersebut semakin melekat dan menyatu pada ilmu-ilmu manusia, seperti psikologi. Sebut saja, ters, wawancara, dan interogasi, bertujuan mengoreksi mekanisme-mekanisme disiplin dengan dalih supaya lebih manusiawi. Psikologi pendidikan mau mengoreksi rigoritasi sekolah. Wawancara dengan dokter atau psikiater untuk mengoreksi akibat-akibat disiplin kerja. Teknik-teknik itu pada dasarnya hanya untuk mencabut individu dari disipliner yang satu dan mengalihkan ke lembaga disipliner yang lain, yang pada gilirannya mereproduksi skema hubungan kekuasaan-pengetahuan. Di sinilah kita bisa melihat bahwa strategi kekuasaan sangat inovatif dan produktif. [16] Dan di sini pula kita harus berhenti melukiskan akibat-akibat kuasa dengan cara negatif, seolah-olah kuasa meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstrasikan, menyelubungi, menyembunyikan. Pada kenyataannya kuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek dan ritus-ritus kebenaran, individu dan pengetahuan secara terus-menerus. [17]

Dengan demikian, harus ditegaskan bahwa kekuasaan-pengetahuan ibarat sekeping mata uang yang selalu bertaut secara politis. Artinya, tidak mungkin pengetahuan tanpa kuasa. Begitu sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. [18] Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan dalam wacana tertentu. Wacana tertentu itu kemudian menghasilkan pengetahuan, yang pada gilirannya pengetahuan itu mereproduksi kekuasaan kembali. Akibat perselingkuhan antara kekuasaan dan pengetahuan ini kemudian lahirlah kebenaran. Pertautan semacam ini, mempostulatkan bahwa kebenaran tidak abstrak dan jatuh begitu saja dari langit, tetapi ia diproduksi. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana/pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan sendiri. [19]

Tes, wawancara, jajak pendapat, dan konsultasi yang melekat pada ilmu psikologi, adalah contoh dari sekian ritus-ritus kebenaran tersebut. Sebab, ritus-ritus tersebut mempunyai kriteria keilmiahan yang menjadi ukuran kebenaran, yang gilirannya membentuk individu. Di sini, kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. Psikologi mendefinisikan pribadi yang dewasa. Lalu, kriteria ini menjadi model identifikasi yang harus dicapai setiap individu. Ini yang dimaksud Foucault bahwa kuasa dapat membentuk individu melalui wacana/pengetahuan. [20]

Pembentukan individu tersebut berlangsung ketika transformasi wacana/pengetahuan dan kuasa memproduksi kebenaran yang dihasilkan dari kombinasi antara praktek diskursif dan non-diskursif. Pada tingkatan praktek diskursif individu tidak lagi dikendalikan lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan definisi dan pendisiplinan. [21] Berbagai relasi itu di antaranya yang menentukan kita, memilah, mengisolasi, menegasikan dan mengklasifikasikan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah dan yang tidak. [22] Semua organ tubuh dan pikiran dengan sendirinya akan terperangkap dalam kesadaran panoptikon: sebuah kesadaran kontinyu dengan pengawasan diskontinyu. [23]

Sedangkan tingkatan non-diskursif adalah perangkat yang selalu menjadi penyangga yang menjamin beredarnya wacana dominan yang lahir di masyarakat. Foucault mengasumsikan bahwa sebuah pengetahuan tidak mungkinditerima secara natural. Sebab demikian, pengembangbiakan pengetahuan kebenaran biasanya didistribusi melalui mekanisme-mekanisme verbal ini. Tidak mungkin sebuah pengetahuan bisa diterima dan diperagakan secara massif, kecuali ada keterpaduan antara praktek diskursif dan non-diskursif sebagai penyangganya. Penyangga ini mewujud dalam praktek-praktek sosial yang beroperasi di semua domain kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, ritual keagamaan, kinerja ekonomi politik, bahkan sampai pada penjabaran kekuasaan dan kontrol negara terhadap rakyat. [24]

END NOTES:
[1] Bagian tulisan ini pernah dibawakan di berbagai kesempatan, termasuk “Diklat Jurnalistik Lanjutan” UKPI DEMA IAIN Sunan Ampel Surabaya, 15-16 Mei 2010, di IAIN Sunan Ampel Surabaya, “Pelatihan Kader Dasar (PKD)” Komisariat Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada Maret 2009.
[2]WJS Perwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Arkola, 1996, h. 529.
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, h. 468.
[4] Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. XVII, h. 35-36.
[5] Yasraf Amir Piliang, “Pengantar”, dalam Tim Maula (ed.) Jika Rakyat Berkuasa, h. 19-20.
[6] Yudi Latief, “Hegemoni Budaya dan Alternatif Media sebagai Wacana Budaya Tanding”, dalam Idi Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaluddin Malik (ed.), Hegemoni Budaya, h. 294.
[7] Saya menyitir pendapat Antonio Gramsci ini dari tulisan Akhol Firdaus, Kurikulum Malang Kadak: Politik Pengetahuan MSI di IAIN, Gerbang No. 13. Vol. V Oktober-Januari, 2003, h. 44.
[8] Dalam masyarakat feodal, mekanissme kekuasaan berlangsung dalam hubungan atas-bawah, penguasa dan yang dikuasai, tanah dan hasilnya. Pada abad ke-17 dan 18, kekuasaan berlangsung melalui pengawasan dan bukan melalui kewajiban periodik. Sedangkan dalam abad ke-19, kekuasaan diwarnai oleh persandingan antara wacana kedaulatan dan hukum dengan pemaksaan disiplin yang menjamin kohesi sosial.
[9] Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, Penerjemah Tahayu S. Hidayat, h. 115.
[10] Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan” dalam Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-15, Januari-Februari 2002, h. 11-12.
[11] K. Bertens, “Michel Foucault” dalam Filsafat Perancis, h. 320.
[12] Foucault, Seks dan Kekuasaan, h. 117.
[13] K. Bertens, “Michel Foucault”, h. 322. Lihat juga Etienne Balibar, “Konfrontasi antara Foucault dan Marx”, dalam Basis Nomor 01-02 Tahun Ke-15, Janurari-Februari 2002, h. 16.
[14] Karlina Leksono, “Berakhirnya Manusia dan Kebangkrutan Ilmu-ilmu”, dalam Basis Nomor 01-02, Tahun Ke-15 2002, h. 26.
[15] Foucault, Seks dan Kekuasaan, h. 180-181.
[16] Hasil penelitian Foucault yang dibukukan dalam The Will of Knowledge, jilid pertama dari History of Sexuality, adalah bukti kuasa itu produktif, tidak represif. Persepsi umum yang menganggap periode victorian represif terhadap seks, dalam penelusurannya ternyata Foucault menghasilkan kesimpulan yang asimetris. Seks, pada periode iut, malah jauh dari terdiamkan, meledak, berkecambah dan menyebar dalam berbagai bentuk wacana. Seks bukan menghilang, diskursus seputar seks justru berebut memasuki ruang publik. Menurut Foucault, wacana seks pada awal abad 18 ternyata mengalami proliferasi wacana yang mengambil beberapa bentuk. Wacana gereja seputar daging dan dosa pecah menjadi multi-wacana yang menuntut pembicaraan dari berbagai aspek. Berbagai sekolah, klinik psikiatri, bermunculan ditopang oleh berbagai wacana seputar seks, seperti demografi, psikologi, pedagogi, biologi dan sebagainya. Berbagai kategori seputar seks pun bermunculan, seperti heteroseksual, homoseksual, pedofilia, zoofilia, nekrofilia, sado-masokisme, eksibisionis, peeping tom, dan sebagainya. Lihat Donny Gahral Adian, “Mengatur Kuasa, menuai Wacana” dalam Basis Nomor 01-02 Tahun Ke-15, Januari-Februari 2002, h. 43-47.
[17] Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, h. 12.
[18] K. Bertens, “Michel Foucault”, h. 488.
[19] Eriyanto, “Wacana: Perspektif Foucault”, dalam Analisis Wacana, h. 66-67.
[20] Ibid.,
[21] Dalam amatan Foucault, pendisiplinan yang berlangsung di Eropa sekitar abad 17 dan awal-awal abad 18 dilangsungkan melalui empat prosedur pengkondisian: pertama, pengawasan hierarkis. Pelaksanaan disiplin mengandaikan suatu mekanisme yang memaksa melalui pemantauan yang tidak dapat dilihat oleh pihak yang dipantaunya (invisible). Kedua, normalisasi yang dipraktekkan melalui pemberian sanksi (punishment) mengenai ketidaktepatan waktu (keterlambatan, ketidakhadiran), aktivitas (kurang semangat, tidak memperhatikan), tingkat laku (tidak sopan, tidak taat), wicara (bohong), tubuh (postur yang tidak teratur, tingkah laku yang tidak benar), seksualitas (tidak murni, nafsu) diterapkan pada bengkel kerja, sekolah dan kemiliteran. Hukuman disiplin ini dimengerti sebagai sesuatu yang dapat membuat individu merasakan akibat atas pelanggaran yang telah dilakukan. Ketiga, pengujian (l’examen) yang merupakan paduan dari teknik pengawasan hierarkis dan normalisasi. Pengujian merupakan pemantauan-normalitatif yang mampu mengklasifikasi, menentukan mutu dan hukuman yang dipantau. Lihat, Michel Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel tubuh Manusia Modern, h. 92-104.
[22] Eriyanto, “Wacana: Perspektif Foucault”, h. 71-72.
[23]Panoptikon adalah penjara yang dijadikan perangkat disiplin yang sempurna memungkinkan pengamatan sekejap yang mampu memantau semuanya secara tetap. Jeremy Bentham sebagai arsitek bangunan ini, merancang bangunan penjara dengan menempatkan menara pengawas persis di tengah-tengah sel penjara yang mengitarinya. Dengan desain itu, narapidana tidak pernah tahu apakah mereka sedang diawasi atau tidak, tapi mereka selalu diawasi sepanjang waktu (kontinyu). Perilaku mereka menjadi disiplin karenanya. Lihat, Michel Foucault, Power/Knowledge, terjemah Yudi Santosa, h. 181. Lihat juga, Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, h. 432.
[24]Akhol Firdaus, “Kurikulum Malang Kadak: Politik Pengetahuan MSI IAIN”, Jurnal GerbanG, No. 13, Vol. V. 2002, h. 50.

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web