Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif:
Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang
Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
A. Konteks dan Realitas Sosial Pemikiran
Krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern akibat reduksi-reduksi metodologis dan instrumentalisasi pengetahuan, menandai runtuhnya bangunan epistema modern yang amat kental dengan nuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Afklarung.
Jamak dipahami, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda secara diametral dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas.
Namun pergeseran pendulum ini tidak berlangsung lama. Positivisme telah menggeser pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, tapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermiskin dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.
Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan. Positivisme berpretensi untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.
Yang menjadi persoalan serius dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, seperti dirintis oleh August Comte yang kemudian disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’. Tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. Adagium positivisme yang kental dengan savior pour prevoir, mengetahui untuk meramalkan, menyiratkan suatu intensi yang kuat untuk merekayasa masyarakat (social-engineering).
Dengan mencangkokkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan reflektif dan pemahaman intersubyektif.
Disadari atau tidak, sampai saat ini pengaruh positivisme dalam ilmu-ilmu sosial sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan posmodern pada awal abad ini meruapakan senjakala kedigdayaan positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme (August Comte, Herbert Spencer), struktural fungsional (Talcott Parson, Kingsley Davis, Robert Merton), struktural konflik (Marx, C. Wright Mills, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf), dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.
Untuk menjawab krisis pengetahuan tersebut, tentu saja membutuhkan fenomenologi sosial. Diharapkan ketidakmampuan ilmu-ilmu berbasis positivistik untuk menangkap masalah nilai dan makna dapat dijembatani oleh analisa fenomenolgis. Dalam konteks ini, pendekatan fenomenologi Alfred Schutz tentu perlu diketengahkan, sekurang-kurangnya dapat menjadi metode alternatif khusunya bagi ilmu-ilmu sosial.
B. Memahami Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
1. Biografi dan Pergumulan Intelektual Schutz
Alfred Schutz lahir dan dibesarkan di Vienna pada 13 April 1899, ketika kota itu menjadi ibu kota kekaisaran Austria-Hungaria. Dia meninggalkan tanah airnya pada usia tiga puluh delapan pada saat aneksasi Nazi. Sesudah tugas militer dalam Perang Dunia Pertama, dia belajar di Vienna pada ahli hukum termasyhur, Hans Kelsen, dan ahli ekonomi Ludwig Von Mises, salah seorang kritikus yang paling pedas atas Max Weber. Secara intelektual, Schutz tertarik pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action), dan filsafat ‘fenomenologi’ Edmund Husserl yang ia kenal secara pribadi.
Dalam pergulatan intelektualnya, Schutz lebih dikenal sebagai seorang pengacara, ahli ekonomi, filsuf, ketimbang sebagai sosiolog. Namun demikian, dia banyak menulis tentang filsafat ilmu sosial dan sering bertindak sebagai seorang propagandis untuk sosiologi fenomenologis juga terlibat secara intens dalam dialog yang bermanfaat dengan para pakar Amerika, khususnya murid-murid George Herbert Mead (1863-1931), seorang filsuf Chicago yang penafsiran psikologisnya tentang interaksi sosial memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan fenomenologi Schutz.
Pemikiran-pemikiran Schutz banyak yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai, di antaranya The Phenomenology of The Social World, (Northwestern University Press: Evenston, 1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (di dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam tahun sebelum ia meninggalkan Austria untuk kemudian menetap di New York, tempat dia bekerja pada New School for Social Research dan Bussines. Collected papers I. The problem of social reality, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1962), Collected papers II. Studies in social theory, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1964), Den sociala världens fenomenologi, (Göteborg: Daidalos, 1999), The Structures of the Life-World. Evanston: Northwestern Unversity Press, 1973), Reflection on the Problem of Relevance (Yale University Press: New Haven, 1970), bagian dari sebuah karya teoretis sistematis yang tak pernah ia selesaikan.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran Schutz semasa hidupnya tidak begitu berpengaruh, boleh jadi karena pemaparan gagasan filosofisnya sangat abstrak dan teknis. Mungkin juga karena lingkungan New School for Social Research dan Bussines yang tidak memberi tempat bagi berkembangnya teori ilmu-ilmu sosial selain teori ilmu-ilmu sosial yang menganut paradigma positivistik. Karena pada masanya, para teknokrat, politisi, birokrat, kelompok-kelompok profesional dan para ilmuwan Amerika terpesona degan model pemikiran rasional-tekonokratis, yang ditandai dengan keberhasilan tekonologi modern. Ilmu-ilmu sosial sosial dikembangkan sejauh menjadi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Tapi usaha Schutz yang tak mudah patah arang, akhirnya gagasan-gagasannya tentang apa yang ia sebut ‘dunia-sosial’, makin lama makin bertambah berpengaruh di tengah-tengah para pemerhati ilmu-ilmu sosial yang haus akan metode baru untuk memandang hubungan-hubungan sosial.
2. Weber-Husserl: Titik Tolak Fenomenologi Schutz
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Schutz begitu terpesona pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln) dan dielaborasi dengan konsep Lebenswelt (‘dunia-kehidupan’) Edmund Husserl. Konsep tersebut merupakan terobosan teoritis yang diintrodusir dan dipopulerkan Husserl dalam pendekatan ‘fenomenologi’.
Husserl, sebagai pendiri pendekatan ini, mengancang pendekatan fenomonolgis, pendasaran terhadap realitas yang tampak, bagi ilmu pengetahuan rangka menyelamatkan subjek pengetahuan. Konsep Lebenswelt, dunia-kehidupan, merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berpikir positivistis dan saintis.
Menurut Husserl, dunia-kehidupan adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Padahal, dunia-kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan yang paling praktis pun, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh karena itu, semboyan Husserl “kembali kepada benda-benda itu sendiri atau pada realitasnya sendiri (Zu den Sachen selbst)” menyatakan suatu usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.
Konsep dunia-kehidupan ini memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada Alfred Schutz untuk membangun sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Dengan bertolak Dari definisi Max Weber tentang tindakan, yaitu tingkah laku sejauh pelaku-pelakunya melihatnya sebagai sesuatu yang secara subyektif bermakna, Schutz menetapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan ‘interpretatif’. Namun Schutz menolak andaian Weber yang memusatkan tindakan bermakna pada individu. Menurutnya, makna suatu tindakan yang secara subyektif bermakna itu memiliki asal-usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan atau dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu.
3. Key-words dan Proposisi-proposisi
Fenomenologi sosial yang diintroduisr oleh Schutz mengandaikan adanya tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian, sebab dunia sehari-hari dalah lokus kesadaran intersubjektif yang menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Karena itu, dunianya secara keseluruhan tidak akan bersifat pribadi, bahkan di dalam kesadaran pun seseorang selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa sejarah hidup seseorang bukan semata-mata hasil produk tindakan pribadi. Kesadaran semcam ini, menuut Schutz merupakan tesis eksistensi alter-ego, pemahaman akan aku-yang-lain, sehingga memungkinkan adanya pemahaman timbal-balik antar sesama anggota komunitas (consociates).
Dengan demikian, kehidupan sehari-hari sebagai wadah kehidupan sosial yang sarat dengan kesadaran intersubyektif (makna timbal balik yang dihasilkan dalam interaksi ssosial ). Kesadaran ini mengacu pada teori Max Weber mengenai ‘tindakan sosial’. Apa yang dimaksud Weber dengan tindakan sosial adalah apabila tindakan atau perialku seseorang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, atau setidaknya mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Tindakan yang diorientasikan pada benda fisik belum dapat dikatakan tindakan sosial, tapi tindakan katika diorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.
Persoalannya, bagaimana kita dapat memahami makna subyektif tindakan individu? Schutz menawarkan perlunya memahami konteks makna suatu tindakan. Menurutnya, ada sebuah konteks makna lain yang tidak berhasil dibedakan Weber, yaitu motif tujuan (in-order-to motive/Um-zu-motiv) yang merujuk pada suatu keadaan di masa yang akan datang (in te future prfect tense), dan motif karena (because motive) yang merujuk pada konteks situasi di masa lampau (past experiences). Motif-motif tersebut yang menentukan tindakan yang akan dilakukan seorang aktor. Dalam kerangka ini, tindakan sesorang hanya merupakan suatu kesadaran terhadap motif yang menjadi suatu tujuan dan bukan pada motif yang menjadi sebab. Karena kesadaran kepada motif yang menjadi sebab pada akhirnya dapat diperoleh melalui refleksi.
Pendasaran Schutz terhadap motif-motif itu dalam memahami tindakan orang lain berangkat dari asumsi, pertama, bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk secara mutlak memahami motif yang lain dalam kehidupan keseharian, motif-motif itu setidaknya dapat memberikan peluang akan pemahaman yang lain. Kedua, dengan adanya pemahaman ini akan memungkinkan kita untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna tindakan orang lain.
Dengan memahami makna tindakan seseorang melalui motivasional context, menurut Schutz, sesungguhnya telah tercipta kesadaran sosial bagi setiap individu. Akibatnya, pemahaman terhadap tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis menunjuk pada kesadaran sosial. Kesadaran akan hal ini pada gilirannya mengandaikan hadirnya kesadaran akan orang lain sebagai penghuni dunia yang dialami bersama. Rentetan kesadaran ini yang melahirkan bahwa orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari, dan makna dasar bagi pengertian manusia adalah akal sehat (common sense), yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Akal sehat didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu, misalnya, adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Akal sehat terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.
Dengan adanya tipifikasi semacam itu akan sangat membantu bagi penyesuaian diri dalam bekerja sama dengan orang yang tidak dikenal secara pribadi maupun dalam dunia yang lebih luas. Dengan tipifikasi pula pengetahuan langsung mengenai eksistensi orang lain tentu akan sangat mudah diketahui sehingga mudah pula membangun hubungan dengan apa yang disebut Schutz ‘orang-orang sezaman’ (contemporeries), ‘para pendahulu’ (predecessors), dan ‘para penerus’ (successor) yang sama sekali belum dan tak akan memiliki pengalaman-pengalaman bersama. Hubungan-hubungan yang dibangun juga bisa langsung (face to face) atau tidak langsung (they-relationships) seperti hubungan dengan orang-orang sezaman yang masih hidup bersama kita yang belum pernah kita jumpai, atau dengan para pendahulu dan penerus.
Tipifikasi-tipifikasi yang diabstraksi dari pengalaman langsung inilah yang dalam dunia keseharian dapat membentuk sistem sosial obyektif yang dengannya orang dapat berhadapan dengan sosio-kultural yang melampaui dunia sosio-kultural para consociate mereka. Kata Schutz:
"Supaya menemukan pegangan di dalam kelompok sosial, aku harus mengetahui berbagai cara berbagai pakaian dan bertingkah laku, mengenakan aneka ragam lencana, alat-alat, dst. yang dianggap oleh kelompok itu sebagai sesuatu yang menunjukkan status sosial dan diakui secara sosial sebagai sesuatu yang relevan".
END NOTES
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 51
Dalam sejarah epistemologi, sebagai juru bicara keruntuhan Abad Petengahan adalah Rene Descartes, kemudian Leibniz dan Kant, serta Hobbes, Locke, dan Hume.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas ….., hal. 53
Ibid., hal. 56
Ibid., hal. 58
George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. A-14
Secara keseluruhan, biogarfi Alfred Schutz dirujuk dari buku The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. xvii-xviii
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Edisi Revisi, Bandung: Rosda, 2006, hal. 157-158
‘Interpretatif’ merupakan salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang ditetapkan setelah terlibat dalam diskusi serius, yang sering disebut dengan Methodenstreit (perdebatan tentang metode). Diskusi tersebut berusaha mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang dilakukan di Jerman. Yang terkenal disini adalah distingsi yang dibuat oleh para pemikir neo-Kantianisme, misalnya Windleband yang membedakan ilmu alam sebagai ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (geistewissenschaften) dan eklaren (menjelaskan dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Lihat, Heru Nugroho, “Metodologi Penelitian Sosial”, Makalah disampaikan dalam Seminar jurusan Sosiologi FISIP UGM dalam rangka “Penyempurnaan Kurikulum Sosiologi”, Yaogyakarta 15 September 1995. Lihat juga, F. Budi Hardiman, Kritik Idelogi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, hal. 12
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967, hal. 316.
Uraian singkat tentang Pemikiran Weber mengenai ‘tindakan sosial’ disitir dari Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. 15
Ibid., hal. 88
Ibid., halk. 91
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality, hal. 316
Ibid., hal. 350
read more “Dunia Keseharian Sebagai Lokus Kesadaran Intersubjektif: Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang Fenomenologi Sosial Alfred Schutz”
Diskursus tentang Sosiologi Interpretatif dalam Terang
Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
A. Konteks dan Realitas Sosial Pemikiran
Krisis pemikiran dan pengetahuan Barat-modern akibat reduksi-reduksi metodologis dan instrumentalisasi pengetahuan, menandai runtuhnya bangunan epistema modern yang amat kental dengan nuansa positivistik. Krisis pengetahuan yang terjadi sejak paro pertama abad ini, merupakan hasil perkembangan sejarah pemikiran yang terjadi sejak proses modernisasi di Barat meruntuhkan tatanan nilai masyarakat Abad Pertengahan, melalui Renaissance dan memuncak pada zaman Afklarung.
Jamak dipahami, cara berpikir masyarakat Abad Pertengahan secara kualitatif lebih bercorak metafisik, karenanya berbeda secara diametral dengan masyarakat modern. Mereka meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri lepas dari subyek yang berpikir. Mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya, pengetahuan pada dirinya, realitas tertinggi yang lepas dari dunia material ini. Sedangkan modernisasi yang didorong oleh sistem kapitalis, teknologi dan negara-negara sekuler menyangsikan dan mempertanyakan semua makna dunia objektif-tradisional, sehingga lahirlah suatu bangunan epistemologis bahwa subyek memiliki peran mutlak membentuk realitas. Pada titik ini, pendulum telah bergerak dari obyek ke subyek. Artinya, subyeklah yang membangun dan menciptakan realitas.
Namun pergeseran pendulum ini tidak berlangsung lama. Positivisme telah menggeser pendulum epistemologi kembali ke obyek lagi, tapi obyek yang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah obyek inderawi, bukan obyek spekulatif seperti ditampilkan pemikiran Abad Pertengahan, yang sama sekali tidak mau mengakui peranan subyek bahkan mengosongkan apa saja dalam diri subyek sehingga menjadi obyektif dan mekanis. Misalnya, dalam psikologi modern yang berdasarkan observasi empiris: konsep-konsep seperti kecemasan, rasa bersalah, perilaku, pikiran, diformalisasikan dan dipermiskin dari unsur-unsur subjektif. Demikian pula dalam ilmu-ilmu sosial, manusia diobservasi pada permukaan obyektifnya, lalu semua yang ditemukan dalam dimensi obyektif manusia juga digeneralisasi sebagai dimensi subyektifnya.
Dari sini, positivisme tampak ingin menjadi alternatif paradigma manusia modern yang ingin menyatukan berbagai bidang kenyataan. Positivisme berpretensi untuk membangun kembali tatanan obyektif baru yang bukan didasarkan pada metafisika, melainkan pada metode saintisme ilmu-ilmu alam. Pada titik ini, apa yang disebut ‘krisis’ itu muncul. Saintifikasi terhadap berbagai bidang hidup mengimplikasikan penerapan teknologisasi dalam berbagai bidang hidup yang akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya. Usaha mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan pada gilirannya akan mempermiskin dan mengosongkan makna kehidupan manusia itu sendiri.
Yang menjadi persoalan serius dalam krisis pengetahuan dan kemanusiaan Barat bukanlah pandangan positivistis, yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme atau penerapan metode ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, seperti dirintis oleh August Comte yang kemudian disebutnya dengan ‘Fisika Sosial’. Tujuan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial tentu bersifat praktis, yaitu memberikan pendasaran pengetahuan tentang ‘hukum-hukum’ yang mengatur masyarakat dan mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. Adagium positivisme yang kental dengan savior pour prevoir, mengetahui untuk meramalkan, menyiratkan suatu intensi yang kuat untuk merekayasa masyarakat (social-engineering).
Dengan mencangkokkan ilmu-ilmu sosial kepada metode ilmu-ilmu alam, tentu akan sangat problematis. Sebab, keduanya memiliki obyek observasi berbeda. Masyarakat dan manusia sebagai obyek ilmu-ilmu sosial tentu tidak dapat diprediksi dan dikuasai secara teknis seperti obyek ilmu-ilmu alam yang bersifat ahistoris. Sebaliknya, masyarakat dan manusia dengan segala proses-proses sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan manusia hanya dapat dipahami dengan pengetahuan reflektif dan pemahaman intersubyektif.
Disadari atau tidak, sampai saat ini pengaruh positivisme dalam ilmu-ilmu sosial sangat kuat, meski banyak kalangan mengatakan bahwa menguatnya diskursus teori sosial kritis dan posmodern pada awal abad ini meruapakan senjakala kedigdayaan positivisme. Banyaknya perspektif ilmu-ilmu sosial (sosiologi) mengenai masyarakat yang merupakan manifestasi dari sudut pandang positivisme seperti teori evolusionisme (August Comte, Herbert Spencer), struktural fungsional (Talcott Parson, Kingsley Davis, Robert Merton), struktural konflik (Marx, C. Wright Mills, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf), dan teori sistem meruapakan salah satu buktinya. Teori-teori itu memberikan perhatian utama kepada fakta sosial, khususnya menyangkut struktur sosial (social structure) dan pranata sosial (social institution). Tentu saja dengan memperhatikan dua hal itu (struktur sosial dan pranata sosial), tidak akan mampu menemukan sesuatu yang penting dalam masyarakat dan manusia. Karena dua hal tersebut sifatnya superficial, yakni hanya mampu mengupas dimensi-dimensi eksternal dan hal-hal yang ada dipermukaan manusia.
Untuk menjawab krisis pengetahuan tersebut, tentu saja membutuhkan fenomenologi sosial. Diharapkan ketidakmampuan ilmu-ilmu berbasis positivistik untuk menangkap masalah nilai dan makna dapat dijembatani oleh analisa fenomenolgis. Dalam konteks ini, pendekatan fenomenologi Alfred Schutz tentu perlu diketengahkan, sekurang-kurangnya dapat menjadi metode alternatif khusunya bagi ilmu-ilmu sosial.
B. Memahami Fenomenologi Sosial Alfred Schutz
1. Biografi dan Pergumulan Intelektual Schutz
Alfred Schutz lahir dan dibesarkan di Vienna pada 13 April 1899, ketika kota itu menjadi ibu kota kekaisaran Austria-Hungaria. Dia meninggalkan tanah airnya pada usia tiga puluh delapan pada saat aneksasi Nazi. Sesudah tugas militer dalam Perang Dunia Pertama, dia belajar di Vienna pada ahli hukum termasyhur, Hans Kelsen, dan ahli ekonomi Ludwig Von Mises, salah seorang kritikus yang paling pedas atas Max Weber. Secara intelektual, Schutz tertarik pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action), dan filsafat ‘fenomenologi’ Edmund Husserl yang ia kenal secara pribadi.
Dalam pergulatan intelektualnya, Schutz lebih dikenal sebagai seorang pengacara, ahli ekonomi, filsuf, ketimbang sebagai sosiolog. Namun demikian, dia banyak menulis tentang filsafat ilmu sosial dan sering bertindak sebagai seorang propagandis untuk sosiologi fenomenologis juga terlibat secara intens dalam dialog yang bermanfaat dengan para pakar Amerika, khususnya murid-murid George Herbert Mead (1863-1931), seorang filsuf Chicago yang penafsiran psikologisnya tentang interaksi sosial memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan fenomenologi Schutz.
Pemikiran-pemikiran Schutz banyak yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam berbagai, di antaranya The Phenomenology of The Social World, (Northwestern University Press: Evenston, 1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (di dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam tahun sebelum ia meninggalkan Austria untuk kemudian menetap di New York, tempat dia bekerja pada New School for Social Research dan Bussines. Collected papers I. The problem of social reality, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1962), Collected papers II. Studies in social theory, (The Hauge: Martinus Nijhoff, 1964), Den sociala världens fenomenologi, (Göteborg: Daidalos, 1999), The Structures of the Life-World. Evanston: Northwestern Unversity Press, 1973), Reflection on the Problem of Relevance (Yale University Press: New Haven, 1970), bagian dari sebuah karya teoretis sistematis yang tak pernah ia selesaikan.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran Schutz semasa hidupnya tidak begitu berpengaruh, boleh jadi karena pemaparan gagasan filosofisnya sangat abstrak dan teknis. Mungkin juga karena lingkungan New School for Social Research dan Bussines yang tidak memberi tempat bagi berkembangnya teori ilmu-ilmu sosial selain teori ilmu-ilmu sosial yang menganut paradigma positivistik. Karena pada masanya, para teknokrat, politisi, birokrat, kelompok-kelompok profesional dan para ilmuwan Amerika terpesona degan model pemikiran rasional-tekonokratis, yang ditandai dengan keberhasilan tekonologi modern. Ilmu-ilmu sosial sosial dikembangkan sejauh menjadi sarana untuk mencapai tujuan-tujuan praktis. Tapi usaha Schutz yang tak mudah patah arang, akhirnya gagasan-gagasannya tentang apa yang ia sebut ‘dunia-sosial’, makin lama makin bertambah berpengaruh di tengah-tengah para pemerhati ilmu-ilmu sosial yang haus akan metode baru untuk memandang hubungan-hubungan sosial.
2. Weber-Husserl: Titik Tolak Fenomenologi Schutz
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Schutz begitu terpesona pada pemikiran Weber, utamanya mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln) dan dielaborasi dengan konsep Lebenswelt (‘dunia-kehidupan’) Edmund Husserl. Konsep tersebut merupakan terobosan teoritis yang diintrodusir dan dipopulerkan Husserl dalam pendekatan ‘fenomenologi’.
Husserl, sebagai pendiri pendekatan ini, mengancang pendekatan fenomonolgis, pendasaran terhadap realitas yang tampak, bagi ilmu pengetahuan rangka menyelamatkan subjek pengetahuan. Konsep Lebenswelt, dunia-kehidupan, merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berpikir positivistis dan saintis.
Menurut Husserl, dunia-kehidupan adalah dasar makna yang telah dilupakan oleh ilmu pengetahuan. Padahal, dunia-kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia-kehidupan memuat segala orientasi yang kita andaikan begitu saja dan kita hayati pada tahap-tahap yang paling primer. Di dalam kehidupan yang paling praktis pun, entah yang sederhana entah yang sangat rumit, kita bergerak di dalam sebuah dunia yang sudah diselubungi dengan banyak penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat dan juga sedikit banyak penafsiran-penafsiran itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan kita, situasi-situasi kehidupan kita, dan kebiasaan-kebiasaan kita. Kita telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia-kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Oleh karena itu, semboyan Husserl “kembali kepada benda-benda itu sendiri atau pada realitasnya sendiri (Zu den Sachen selbst)” menyatakan suatu usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan itu.
Konsep dunia-kehidupan ini memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada Alfred Schutz untuk membangun sosiologi interpretatif dengan pendekatan fenomenologi. Dengan bertolak Dari definisi Max Weber tentang tindakan, yaitu tingkah laku sejauh pelaku-pelakunya melihatnya sebagai sesuatu yang secara subyektif bermakna, Schutz menetapkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mengamati tindakan sosial, sebagai ilmu pengetahuan ‘interpretatif’. Namun Schutz menolak andaian Weber yang memusatkan tindakan bermakna pada individu. Menurutnya, makna suatu tindakan yang secara subyektif bermakna itu memiliki asal-usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan atau dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu.
3. Key-words dan Proposisi-proposisi
Fenomenologi sosial yang diintroduisr oleh Schutz mengandaikan adanya tiga unsur pengetahuan yang membentuk pengertian manusia tentang masyarakat, yaitu dunia sehari-hari, tindakan sosial dan makna. Dunia sehari-hari adalah dunia yang paling fundamental dan terpenting bagi manusia. Di katakan demikian, sebab dunia sehari-hari dalah lokus kesadaran intersubjektif yang menjembatani adanya kesadaran sosial. Dalam dunia ini, seseorang selalu berbagi dengan teman, dan orang lain, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Karena itu, dunianya secara keseluruhan tidak akan bersifat pribadi, bahkan di dalam kesadaran pun seseorang selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa sejarah hidup seseorang bukan semata-mata hasil produk tindakan pribadi. Kesadaran semcam ini, menuut Schutz merupakan tesis eksistensi alter-ego, pemahaman akan aku-yang-lain, sehingga memungkinkan adanya pemahaman timbal-balik antar sesama anggota komunitas (consociates).
Dengan demikian, kehidupan sehari-hari sebagai wadah kehidupan sosial yang sarat dengan kesadaran intersubyektif (makna timbal balik yang dihasilkan dalam interaksi ssosial ). Kesadaran ini mengacu pada teori Max Weber mengenai ‘tindakan sosial’. Apa yang dimaksud Weber dengan tindakan sosial adalah apabila tindakan atau perialku seseorang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain, atau setidaknya mempunyai makna subyektif bagi pelakunya. Tindakan yang diorientasikan pada benda fisik belum dapat dikatakan tindakan sosial, tapi tindakan katika diorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan sosial.
Persoalannya, bagaimana kita dapat memahami makna subyektif tindakan individu? Schutz menawarkan perlunya memahami konteks makna suatu tindakan. Menurutnya, ada sebuah konteks makna lain yang tidak berhasil dibedakan Weber, yaitu motif tujuan (in-order-to motive/Um-zu-motiv) yang merujuk pada suatu keadaan di masa yang akan datang (in te future prfect tense), dan motif karena (because motive) yang merujuk pada konteks situasi di masa lampau (past experiences). Motif-motif tersebut yang menentukan tindakan yang akan dilakukan seorang aktor. Dalam kerangka ini, tindakan sesorang hanya merupakan suatu kesadaran terhadap motif yang menjadi suatu tujuan dan bukan pada motif yang menjadi sebab. Karena kesadaran kepada motif yang menjadi sebab pada akhirnya dapat diperoleh melalui refleksi.
Pendasaran Schutz terhadap motif-motif itu dalam memahami tindakan orang lain berangkat dari asumsi, pertama, bahwa tidaklah mungkin bagi kita untuk secara mutlak memahami motif yang lain dalam kehidupan keseharian, motif-motif itu setidaknya dapat memberikan peluang akan pemahaman yang lain. Kedua, dengan adanya pemahaman ini akan memungkinkan kita untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna tindakan orang lain.
Dengan memahami makna tindakan seseorang melalui motivasional context, menurut Schutz, sesungguhnya telah tercipta kesadaran sosial bagi setiap individu. Akibatnya, pemahaman terhadap tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari secara otomatis menunjuk pada kesadaran sosial. Kesadaran akan hal ini pada gilirannya mengandaikan hadirnya kesadaran akan orang lain sebagai penghuni dunia yang dialami bersama. Rentetan kesadaran ini yang melahirkan bahwa orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari, dan makna dasar bagi pengertian manusia adalah akal sehat (common sense), yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Akal sehat didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu, misalnya, adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Akal sehat terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan.
Dengan adanya tipifikasi semacam itu akan sangat membantu bagi penyesuaian diri dalam bekerja sama dengan orang yang tidak dikenal secara pribadi maupun dalam dunia yang lebih luas. Dengan tipifikasi pula pengetahuan langsung mengenai eksistensi orang lain tentu akan sangat mudah diketahui sehingga mudah pula membangun hubungan dengan apa yang disebut Schutz ‘orang-orang sezaman’ (contemporeries), ‘para pendahulu’ (predecessors), dan ‘para penerus’ (successor) yang sama sekali belum dan tak akan memiliki pengalaman-pengalaman bersama. Hubungan-hubungan yang dibangun juga bisa langsung (face to face) atau tidak langsung (they-relationships) seperti hubungan dengan orang-orang sezaman yang masih hidup bersama kita yang belum pernah kita jumpai, atau dengan para pendahulu dan penerus.
Tipifikasi-tipifikasi yang diabstraksi dari pengalaman langsung inilah yang dalam dunia keseharian dapat membentuk sistem sosial obyektif yang dengannya orang dapat berhadapan dengan sosio-kultural yang melampaui dunia sosio-kultural para consociate mereka. Kata Schutz:
"Supaya menemukan pegangan di dalam kelompok sosial, aku harus mengetahui berbagai cara berbagai pakaian dan bertingkah laku, mengenakan aneka ragam lencana, alat-alat, dst. yang dianggap oleh kelompok itu sebagai sesuatu yang menunjukkan status sosial dan diakui secara sosial sebagai sesuatu yang relevan".
END NOTES
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 51
Dalam sejarah epistemologi, sebagai juru bicara keruntuhan Abad Petengahan adalah Rene Descartes, kemudian Leibniz dan Kant, serta Hobbes, Locke, dan Hume.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas ….., hal. 53
Ibid., hal. 56
Ibid., hal. 58
George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. A-14
Secara keseluruhan, biogarfi Alfred Schutz dirujuk dari buku The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. xvii-xviii
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Edisi Revisi, Bandung: Rosda, 2006, hal. 157-158
‘Interpretatif’ merupakan salah satu paradigma dalam ilmu-ilmu sosial yang ditetapkan setelah terlibat dalam diskusi serius, yang sering disebut dengan Methodenstreit (perdebatan tentang metode). Diskusi tersebut berusaha mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial yang dilakukan di Jerman. Yang terkenal disini adalah distingsi yang dibuat oleh para pemikir neo-Kantianisme, misalnya Windleband yang membedakan ilmu alam sebagai ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (geistewissenschaften) dan eklaren (menjelaskan dari ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften). Lihat, Heru Nugroho, “Metodologi Penelitian Sosial”, Makalah disampaikan dalam Seminar jurusan Sosiologi FISIP UGM dalam rangka “Penyempurnaan Kurikulum Sosiologi”, Yaogyakarta 15 September 1995. Lihat juga, F. Budi Hardiman, Kritik Idelogi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, hal. 12
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality. The Hauge: Martinus Nijhoff, 1967, hal. 316.
Uraian singkat tentang Pemikiran Weber mengenai ‘tindakan sosial’ disitir dari Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, terj. George Walsh and Frederick Lehnert, USA: Northwestern University Press, 1967, hal. 15
Ibid., hal. 88
Ibid., halk. 91
Alfred Schutz, Collected Papers I. The Problem of Social Reality, hal. 316
Ibid., hal. 350