Memahami Pemikiran Karl Marx : Sekedar Pengantar

A. Pendahuluan

Pemikiran Karl Marx hampir saja menjadi “barang” langka di Indonesia. Semua itu bermula dari ambisi Soekarno untuk mentahbiskan diri sebagai presiden seumur hidup. Dengan dukungan kuat Partai Komunis Indonesia (PKI), Soekarno memodifikasi nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM) sebagai poros tunggal kekuatan politiknya. Mungkin Soekarno lupa, bahwa Komunisme di Indonesia bukan sekedar aktualisasi Marxisme, melainkan menganut Marxisme-Leninisme tulen yang menempatkan kekuatan-kekuatan politik lain bukan sekedar lawan, tapi musuh. Ia tidak akan pernah melepas kekuasaan secara suka rela. Gerakan 30 September 1965 yang berbuntut pada lahirnya petaka nasional: sebuah fase sejarah yang pekat dan penuh dengan pertumpahan darah dan air mata, adalah bukti kongkretnya.

Sejak itu, lahirlah pandangan streotipe dalam memori kolektif masyarakat Indonesia: apapun yang berbau Komunisme, Marxisme, dan Leninisme adalah “haram”. Sejak itu pula Orde Baru merasa mendapat dukungan luas masyarakat untuk membubarkan PKI, tentu dengan segala organisasi pendukungnya, dan melarang penyebaran Marxisme-Leninisme. Sayangnya, arti “penyebaran” itu juga termasuk “mempelajari”, sehingga Marxisme-Leninisme sebagai ideologi Komunisme bahkan seluruh Marxisme, termasuk pemikiran Marx, disingkirkan dari materi kuliah di berbagai universitas dan perguruan tinggi. Semuanya telah menjadi mitos (untuk tidak mengatakan sengaja dimitoskan) dan tabu untuk dibicarakan apalagi sampai ditelanjangi yang mengundang hasrat ingin tahu (coriocity) masyarakat terhadap “jenis kelamin” Marxisme atau Marx dan Marxisme-Leninisme.

Apa jadinya jika Era Reformasi tidak segera bergulir dan pemikiran Marx tetap dilarang dipelajari? Bisa jadi Program Sosiologi Unair dan ilmu humaniora yang lain gulung tikar. Sebab, pemikiran Karl Marx tidak hanya menjangkau momen besar filsafat, melainkan juga motor yang menstimulir lahirnya teori-teori Sosiologi bahkan sampai Ekonomi. Menurut Giddens, pemikiran Marx telah merentang selama tiga abad dan mempengaruhi lingkungan politik dan dunia cendikiawan. Meski diakuinya, banyak pemikiran yang sezaman, seperti Tocqueville, Comte, dan Spencer yang mewarnai Sosiologi Modern, namun pengaruh pemikiran Marx jauh lebih besar dibanding pemikiran mereka. Karena itu, Giddens mengaku perlu untuk “berkelahi” lebih dulu dengan pemikiran/ajaran Marx sebelum merumuskan teori strukturasinya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ruang pemikiran Marx dalam ilmu-ilmu humaniora, utamanya Sosiologi, cukuplah besar dan signifikan. Karena itu, dengan segala keterbatasan dan kekurangan tulisan ini tidak mungkin meng-cover seluruh pemikiran Marx secara detail dan tuntas. Namanya “sekedar pengantar”, tulisan ini hanya berusaha mengupas pemikiran Marx muda, yaitu materialisme dialektis yang mendasari oreintasi filsafatnya sebagai praksis revolusioner. Lebih dari itu, juga akan diketengahkan pandangan sejarah materialis yang menandai kematangan Marx serta beberapa implikasi pemikirannya.

B. Mengenal Marx: Sebuah Tinjauan Biografis
1. Keluarga dan Pendidikan


Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier, Prussia. Daerah ini termasuk kawasan Rheiland Jerman yang memilki sejarah penting bagi perkembangan filsafat. Marx besar dalam lingkungan keluarga Yahudi progresif. Ayahnya bernama Heinrich Marx dan Ibunya Henrietta. Pada masa itu, ayah Marx termasuk pengacara sukses dengan pola hidup borjuis yang penuh dengan kemewahan. Wajar, jika waktu itu rumah Marx sering dikunjungi para artis dan cendekiawan.

Suasana politik Jerman yang terus berubah dan tidak menguntungkan bagi pengacara keturunan Yahudi, keluarga Marx kemudian meninggalkan agama Yahudi dan beralih ke agama Protestan-Lutheran yang relatif liberal.

Marx memulai pendidikannya dengan model sekolah rumah (home schooling) sampai ia berumur 13 tahun. Setelah lulus dari Gymnasium Trier, Marx mendaftar di Universitas Bonn untuk belajar hukum. Di sana ia bergabung dengan Trier Tavern Club, dan sempat menjadi presiden Klub, sehingga prestasi sekolahnya buruk. Setahun kemudian, ayah Marx mendesaknya untuk pindah ke Universitas Friedrich-Wilhelms di Berlin, agar dapat lebih serius belajar. Di sini, Marx banyak menulis puisi dan esai tentang kehidupan, dengan menggunakan bahasa teologis yang diperolehnya dari ayahnya yang deis.

Perjalanan studi Marx di Berlin adalah fase yang sangat menentukan bagi pergumulan intelektualnya. Di Berlinlah kemudian minat Marx ke dalam filsafat tumbuh dan bergabung ke lingkaran mahasiswa dan dosen muda yang dikenal sebagai Club Young Hegelian: kelompok radikal yang sering juga disebut sebagai Hegelian-kiri. Kelompok menemukan metode dialektika Hegel, dan memisahkannya dari isi teologisnya, sebagai alat yang ampuh untuk melakukan kritik terhadap politik dan agama mapan di Prussia pada saat itu.

Sebagai profesor di Berlin (dari 1818 sampai wafat 1831), Hegel sangat termasyhur karena filsafat politik yang diajarkannya. Dalam filsafat politik itu, Hegel menempatkan rasionalitas dan kebebasan sebagai nilai tertinggi. Marx muda yang gusar dengan situasi politik Prussia akhirnya menemukan senjata intelektualnya dalam filsafat Hegel yang kemudian menentukan arah pemikirannya sekaligus mengantarkannya memperoleh gelar doktor pada usia 23 tahun, tepatnya 15 April tahun 1841, dengan tesis yang bertajuk ‘The Difference Between the Democritean and Epicurean Philosophy of Nature’. Namun, Marx harus menyerahkan disertasinya ke Universitas Jena, karena ia menyadari bahwa statusnya sebagai Kaum Hegelian Muda (Young Hegelian) yang radikal akan diterima dengan kesan buruk di Berlin.

2. Problem Sosial yang Mengiringi Pergumulan Intelektual Marx
Kebebasan berpikir yang menjadi spirit Marx sejak menjadi anggota Kaum Hegelian Muda, akhirnya menjadi senjata bumerang bagi perjalanan karirnya. Keinginan Marx untuk menjadi dosen terpakasa harus kandas karena pahamnya yang radikal dan tidak mudah berkompromi.

Di tengah situasi politik Prussia yang sangat reaksioner, tentu tidak akan ada tempat bagi Marx. Karena waktu itu, pengawasan berlangsung dengan sangat ketat. Tidak sedikit guru-guru besar universitas yang liberal ditahan. Pers disensor, bahkan undang-undang dasar yang dibuat sesudah peran Napoleon, yang memberikan banyak kebebasan kepada rakyat dihapus.

Dalam situasi seperti itu, akhirnya Marx ke Koln dan memilih menjadi wartawan sebagai medan artikulasinya. Di sana Marx menjadi pemimpin redaksi harian Die Rheinische Zitung, sebuah koran liberal-progresif. Karena kritiknya terlalu keras dan selalu menyerang absolutisme Prussia, akhirnya harian ini diberangus, Marx pun mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi dan memutuskan pindah ke Paris bersama Jenny, putri bangsawan Baron von Westphalen yang baru dinikahinya pada 1843.
Selama di Paris (1843-1845), Marx terlibat dalam kegiatan radikal. Pada waktu itu, Paris merupakan pusat liberalisme dan radikalisme sosial dan intelektual yang penting di Eropa. Kondisi ini memungkinkan Marx untuk berkenalan lebih intens dengan pemikir-pemikir penting dalam pemikiran sosialis Prancis, seperti St. Simon, Proudhon dan tokoh revolusioner, seperti Blanqui. Di Paris, Marx juga mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik Inggris, seperti Adam Smith dan David Richardo.

Peristiwa yang paling menentukan selama Marx menetap di Paris adalah pertemuannya dengan Friedrich Engels, yang akhirnya menjadi kawan kerja yang dekat sampai Marx meninggal. Sebagai anak seorang pengusaha Tekstil, Engels dapat memberikan informasi langsung kepada Marx mengenai gaya hidup borjuis dan kondisi-kondisi proletariat. Engels pernah menjadi seorang manajer dari salah satu perusahaan ayahnya, tetapi hubungan dengan Marx menjadi lebih penting daripada kesadaran kelas borjuisnya. Engels terkesan akan keberhasilan Marx dalam analisa ekonominya, seperti tercermin dalam Economic and Philosophical Manuscripts.

Selama di Paris, Marx dan Engels mulai menulis mengenai suatu interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai interpretasi alternatif terhadap filsafat sejarah Hegel. Dalam dalam tulisannya, kondisi-kondisi materil serta hubungan-hubungan sosial yang muncul dari kondisi-kondisi itu merupakan dasar perkembangan intelektual atau kekuatan yang mendorong perubahan sejarah, bukan munculnya ide atau pertumbuhan akal budi. Karya ini akhirnya diterbitkan dengan judul The German Ideology; kemudian Engels menggambarkannya sebagai titik tolak untuk prinsip-prinsip materislisme historis.

Tak lama kemudian, Marx diusir dari Paris tahun 1845 oleh pemerintah setempat. Sebagian alasannya karena tekanan dari pemerintah Prussia yang merasa terganggu oleh tulisan-tulisan Marx yang berbau sosialis. Marx akhirnya bertolak menuju Brussel. Di sana dia tenggelam dalam kegiatan-kegiatan sosialis Internasional. Dia mengadakan kontak dengan buruh-buruh dan juga kaum cendekiawan; di antaranya adalah pelarian Jerman, seperti dia sendiri. Banyak kenalan barunya yang terlibat dalam League of the Just: organisasi internasional yang revolusioner.

Pada tahun 1846 Marx dan Engels bertolak menuju Inggris. Tidak lama sesudah itu, mereka membentuk panitia urusan surat menyurat, supaya dapat mempertahankan kontak dengan sosialis Prancis, Jerman dan Inggris. Segera Marx dan Engels diundang untuk mengikuti Communist League, suatu organisasi revolusioner yang bermarkas di London dan dimaksudkan sebagai pengganti League of the Just. Sesudah perdebatan sengit antara Marx dan Weitling dalam organisasi itu mengenai waktu yang tepat untuk revousi proletariat dan mengenai peran persiapan kaum borjuis, Marx ditugaskan untuk menulis suatu pernyataan yang akan menjadi program teoretis untuk organisasi itu. Hasilnya berupa Manifesto Komunis, diterbitkan pada tahun 1847, dan bertahun-tahun lamanya merupakan bacaan yang paling laku dari tulisan-tulisan Marx yang lain.

Pada tahun 1848 Marx diundang lagi ke Paris oleh suatu pemerintahan yang baru. Ini merupakan masa-masa pergolakan, karena itu gerakan-gerakan revolusioner dengan cepat mendapat sambutan di seluruh Eropa. Sesudah tinggal sebentar di Paris, Marx kembali ke Jerman untuk menerbitkan Neue Rheinische Zeitung, dan dengan cara ini bermaksud mempengaruhi arah revolusi itu. Marx melihat periode tersebut sebagai awal suatu titik balik sejarah yang penting yang akan segera menuju ke satu kulminasi proses perubahan sosial yang mendasar yang sudah dimulai oleh Revolusi Perancis¬¬, baik serangan pada tahun 1789 maupun serangan tahun 1848 terhadap dominasi aristokratis tradisional, dipelopori oleh munculnya kelas borjuis. Tetapi revolusi-revolusi tahun 1848 diikuti oleh orang-orang kelas buruh yang lebih terorganisasi, lebih sadar diri, dan secara potensial lebih berpengaruh daripada yang terjadi Revolusi Perancis sekitar 50 tahun sebelumnya. Dalam keyakinan akan hasil akhirnya, Marx tidak seperti beberapa orang revolusioner mengenai kelas buruh, mendukung suatu gabungan antara kelompok borjuis dan proletariat, sampai dominasi aristokrasi dilenyapkan. Fase revolusi tersebut dimaksudkan mempersiapkan kondisi-kondisi materil dan sosial untuk kemenangan akhir kelas proletariat atas kelas borjuis.

Dengan perpindahannya ke kota London mulailah tahap baru dalam hidup Marx. Ia meninggalkan aksi-aksi konspiratif dan revolusioner dan memusatkan perhatiannya pada pekerjaan teoretis. Ia semakin menyadari dirinya sebagai pemikir dan penemu huku-hukum yang menentukan perkembangan masyarakat, sama seperti Newton menemukan hukum-hukum yang mendasari gerak materi. Sejak dari Paris Marx semakin memperhatikan ilmu ekonomi. Dalam pelbagai tulisannya, Marx memaparkan pokok-pokok pandangan materialis sejarah. Ia mengklaim dapat memastikan bahwa kapitalisme mengandung benih-benih keruntuhan dalam dirinya sendiri dan bahwa keruntuhan kapitalisme niscaya akan menghasilkan masyarakat sosialis.

Dengan demikian, Marx berada di bawah tekanan untuk memberikan bukti kebenaran klaimnya itu. Inti pandangan materialis sejarah adalah bahwa perkembangan masyarakat ditentukan oleh perkembangan dalam bidang ekonomi. Maka untuk membuktikan tesisnya, Marx harus memperlihatkan bahwa ekonomi kapitalis niscaya menuju kehancurannya. Maka Marx menenggelamkan diri dalam studi ilmu ekonomi. Ia harus membuktikan secara ilmiah bahwa ekonomi kapitalis memuat kontradiksi-kontradiksi yang niscaya akan meruntuhkannya.

Akhirnya, pada tahun 1867, terbitlah buku pertama dari karya utama Marx yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan keniscayaan sosialisme: Das Kapital, yang buku kedua dan ketiganya baru diterbitkan oleh Engels setelah Marx meninggal dunia. Beberapa buku catatan pinggir Marx diterbitkan oleh Karl Kautsky sejak permulaan abad ini dengan judul Teori-teori tentang Nilai lebih.

Meskipun Das Kapital mengecewakan banyak teman Marx—dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya—namun Marx semakin dikenal di kalangan para pemmpin gerakan buruh di benua Eropa. Pada tahun 1864 wakil-wakil pelbagai partai buruh nasional telah mendirikan Asosiasi Buruh Internasional Pertama yang lazimnya dikenal dengan nama Internasionale Pertama. Marx turut dalam dewan pimpinannya. Melalui Internasionale ini Marx dapat behubungan dengan gerakan-gerakan buruh terpenting di Eropa walaupun ia sendiri tidak pernah menduduki jabatan pimpinan. Ia sering dikunjungi dan dimintai nasehat. Kegiatan Internasionale ditandai oleh konflik yang makin tak terdamaikan antara Marx di satu pihak dan sayap anarkistik di bawah Mikail Bakunin di lain pihak. Karena konflik itu, sembilan tahun kemudian Internasionale Pertama bubar.

Dalam kehidupan pribadinya Karl Marx tergolong sebagai orang yang kurang beruntung. Meski kehidupan berkeluarga dengan istrinya cukup bahagia, namun mereka terus-menerus didera kemelaratan, bahkan sering kurang makan. Salah seorang anaknya mati karena kurang makan dan istrinya sering bereaksi histeris. Marx tidak mempunyai pendapatan yang tetap dan tidak tahu bagaimana berurusan dengan uang. Hanya karena kiriman bantuan dari Engels (yang memiliki sebuah pabrik tekstil di Manchester) mereka dapat bertahan. Apalagi Marx suka bersikap otoriter dan menyinggung perasaan orang lain, terutama rekan-rekan sosialisnya. Siapa yang tidak tunduk pada kepemimpinan teoretisnya akan diserang dengan gaya menghina, termasuk penjelekan nama pribadi mereka. Karena itu, hubungannya dengan hampir semua teman seperjuangan lama-lama ambruk. Hanya persahabatannya dengan Engels yang tetap bertahan. Sejak tahun 1860-an Engels mampu menyediakan kiriman uang bulanan tetap bagi Marx, sehingga 20 tahun terakhir keluarga Marx relatif bebas dari kesulitan ekonomis. Tahun-tahun terakhir hidupnya begitu sepi. Jenny, istrinya yang menyertai selama 40 tahun, meninggal pada 2 Desesmber 1881 setelah mengidap penyakit tanpa pengobatan yang cukup. Marx sendiri tidak dapat mengantar ke pemakamannya karena sedang sakit parah.

Sosok Marx setelah istrinya meninggal memang semakin lemah. Pada suatu pagi, 14 Maret 1883, Marx telah terbujur kaku di atas kursi depan meja belajarnya. Layar kehidupan telah tetutup baginya, tetapi sulit mengatakan kalimat yang sama bagi ide-ide yang ditinggalkannya. Engels, sahabat yang paling memahami Marx sepanjang hidupnya, dalam pidato dukanya memberikan gambaran ringkas, bahwa “Karl adalah orang yang paling dibenci, tetapi juga paling dikasihi banyak orang pada zamannya”.

C. Memahami Pemikiran Karl Marx
Seperti diketahui, pemikiran Karl Marx mengalami tahap-tahap perkembangan seiring usia dan problem-problem sosial yang mengitarinya. Karena itu, banyak ahli membagi pemikiran Marx menurut tingkat usia: Marx Muda dan Marx Tua. Masalahnya, apakah antara keduanya terdapat kontinuitas atau diskontinuitas? Louis Althusser dalam Pour Marx (1965), berpendapat bahwa pemikiran Marx Muda dan Marx Tua terjadi diskontinuitas, potongan (coupure) yang tajam. Marx pra-1846 adalah humanis, Marx pasca 1845 anti humanis atau ilmiah. Menurut F. Magnis-Suseno, pendapat itu dipengaruhi oleh pandangan strukturalis Althusser dan kecurigaan komunisme tulen terhadap filsafat Marx Muda, yang saat itu juga Althusser menjadi anggota komite sentral Partai Komunis Prancis.

Banyak juga para ahli yang menekankan kontinuitas antara pemikiran Marx Muda dan Marx Tua, seperti pernah diutarakan Jen Y-ves Calves SJ dalam La Pensee da Karl Marx (1956), Anthony Giddens dalam Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber (1986), dan Franz Magnis-Soseno dalam Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999).
Dari dua pendapat kelompok ahli tadi, tampaknya tulisan ini akan mengikuti anggapan kedua, yang akan memotret pemikiran Marx Muda dan Marx Tua sebagai suatu kontinuitas atau kesinambungan.

1. Marx Muda: Dari Dialektika Materialis Sampai Praksis Revolusioner
Seperti diurai di atas, bahwa Marx setiba di Berlin sangat terpesona pada filsafat Hegel dan langsung bergabung dengan Club Young Hegelian. Meski pada akhirnya Marx berbalik mengkritik Hegel, namun sampai akhir hayatnya ia mengakui bahwa Hegel seorang pemikir besar yang temasyhur. Sampai di hari tuanya ia dengan bangga mengakui, bahwa pemikirannya ditentukan oleh Hegel. Karena itu, untuk memahami secara utuh pemikiran Marx, lebih awal kita harus memahami beberapa unsur kunci dalam filsafat Hegel.

Dalam literatur filsafat Jerman, Hegel dianggap sebagai puncak pemikiran sekaligus perlambang idealisme Jerman, setelah Schelling, Fichte dan Kant. Yang membedakan filsafat Hegel dari filosof-filosof lain bukanlah apa yang dipikirkan, melainkan caranya. Bagi Hegel mengetahui adalah proses di mana obyek yang diketahui dan subyek yang mengetahui saling mengembangkan, sehingga tidak pernah sama dan selesai. Dengan kata lain, pengetahuan/realitas tak ubahnya sebuah ongoing proses, yang selalu disangkal atau dinegasi. Semua realitas atau pengetahuan saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Itulah yang disebut Hegel sebagai Dialektika.
Dari sini dapat dipahami, bahwa salah satu aspek penting berpikir dialektis adalah totalitas. Dengan artian, seluruh yang ada di dalamnya memiliki unsur-unsur saling bernegasi, saling berkontradiksi dan saling bermediasi, yang umunya dikenal dengan tahap, tesis, antitesis dan sintesis.

Dialektika sebagai wujud pengetahuan manusia merupakan realitas yang sedang aktif dan terus bergerak: dari sesuatu yang tidak sempurna menuju yang sempurna, dari pengetahuan sederhana ke pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut (sering juga disebut roh absolut) merupakan titik akhir filsafat yang dilebur dari segala fenomen pengalaman dan kesadaran. Semua unsur dunia, sejarah, penghayatan diri, pikiran, manusia, seni, agama, filsafat berhenti dan mengendap dalam pengetahuan absolut.
Hegel percaya, bahwa kekuatan yang mendorong perubahan sejarah dalah munculnya pengetahuan absolut yang menginisaisi kesempurnaan manifestasi ide-ide. Sehingga Hegel dan beberapa pengikutnya sampai pada satu asumsi, bahwa struktur sosial dan politik negara Prussia merupakan suatu perwujudan ide-ide. Di sini Marx dan para Hegelian muda yang kritis, menolak ajaran-ajaran gurunya yang sudah diterimanya. Karena bangunan politik negara Prussia yang dianggap Hegel sebagai pengejawantahan ide-ide yang menjunjung tinggi rasionalitas (melawan absolutisme penguasa) dan kebebasan (hak asasi manusia) tidak terwujud, bahkan makin konservatif dan otoriter. Namun demikian, Marx tetap menggunakan analisa dealektik Hegel dalam mengembangkan teori dan filsafatnya, tetapi dia menolak idealisme Hegel dan menggantinya dengan pendekatan materialistik.

Gagasan pokok yang diambil oleh Karl Marx dari Hegel, yaitu terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa segala sesuatu berkembang terus. Dua karakteristik dialektika Hegel ini kemudian digunakan Marx untuk perspektif lain, sebab teori asal hukum dialektika hanya berlaku terbatas pada dunia abstrak yang mengambil wadah dalam pikiran manusia. Marx justru membalik dialektika itu ke dalam dunia yang nyata (real), materi atau dunia benda konkrit. Dengan kata lain, segala sesuatu bersifat rohani merupakan hasil dari materi, bukan sebaliknya.
Dialektika materialisme yang mendasari kritik Marx terhadap idealisme Hegel, sebetulnya telah diintrodusir oleh Ludwig Feuerbach (1804-1872) dalam Das Wessen des Christentum (Essence of Chrsitianity): sebuah buku yang menimbulkan banyak protes dan kemarahan dari kaum Gereja, pada 1841. Dalam bukunya, Feuerbach mengakui filsafat Hegel adalah puncak rasionalisme modern, tetapi dalam suasana semacam ini dominasi agama, yang dalam terminologi Hegel disebut roh absolut, tetap mewarnai kehidupan, sehingga dunia materi khususnya “manusia” tidak ditempatkan pada martabat semestinya.

Feuerbach mengakui metode Hegel mengandung unsur pembebasan manusia melalui proses penyadaran roh yang kontinyu. Tapi pembebasan ini menurut Feuerbach tidaklah cukup, karena pikiran adalah tesis, sedang kenyataan (sebagai antitesis) tempatnya juga dalam pikiran. Artinya, all that real is rational, all that rational is real. Padahal menurut Feuerbach, yang nyata hanyalah materi, sedang pikiran (meski dalam bentuk yang paling murni) hanyalah merupakan alienasi dari kenyataan materil (alam). Karena itu, ide-ide yang menjelma dalam kesadaran (concience) tidak lain dari pernyataan alam, Singkatnya, ide menyusul alam dan bukan alam menyusul ide.
Pengandaian itulah yang mendasari “kritik agama” Feuerbach. Inti kritik tersebut adalah bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi sebaliknya Tuhan adalah proyeksi atau ciptaan angan-angan manusia. Namun manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri, sehingga manusia merasa takut dan perlu menyembah dan menghormati Tuhan. Disinilah agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, yang pada gilirannya manusia mengalami hambatan dalam merealisasikan hakekatnya yang sosial yang berimplikasi pada sikap-sikap intoleran dan fanatik. Keterasingan semacam itu, bagi Feuerbach, tidak dapat diakhiri tanpa meniadakan agama. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya. Teologi harus diganti menjadi antropologi: suatu agama tanpa Tuhan tapi agama cinta kasih. Namun, bagi Marx kritik agama Feuerbach tidak akan membebaskan manusia dari keterasingan, sebab pendekatan itu tidak praktis. Agama sebenarnya hanyalah gejala sekunder, penyebab keterasingan paling mendasar adalah struktur-struktur dalam masyarkat yang dikonstruksi oleh sistem ekonomi. Karena itu, yang terpenting bukan lagi memahami keterasingan, tapi bagaimana menghapusnya. Orientasi filsafat tidak hanya melulu berkutat pada bagaimana cara memahami atau menginterpertasi dunia, tapi yang terpenting bagaimana cara mengubahnya. Pada titik ini, lewat dialektika material yang dipungut dari Hegel dan Feuerbach, Marx mencanangkan filsafat sebagai praksis revolusioner.

2. Materialisme Historis: Fase Kematangan Pemikiran Marx
Dalam beberapa bagian tadi sudah disebutkan, bahwa agama bukanlah faktor mendasar yang menyebabkan keterasingan manusia, melainkan secara dominan disebabkan oleh kelas-kelas dalam masyarakat: kelas yang satu menindas kelas lainnya. Karena itu, keterasingan tidak cukup diatasi hanya dengan membubarkan agama, tetapi harus melalui perjuangan kelas.

Istilah “kelas” sebenarnya tidak didefinisikan secara tegas oleh Marx, tetapi dalam beberapa karyanya Marx sering menggunakan istilah “kelas” yang secara eksplisit selalu merujuk pada penggolongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi.

Bertolak dari interpretasi ini, Marx menurunkan tesis sejarah perkembangan masyarakat ke alam empat tahap: pertama, masyarakat komunal primitif, yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat sederhana. Alat-alat itu bukan milik perseorangan, tetapi milik komunal. Keadaan ini tidak berlangsung lama. Sebab, masyarakat mulai menciptakan alat-alat baru yang dapat memperbesar produksi. Periode zaman batu telah beralih pada penggunaan tembaga dan besi. Tentu, mau tak mau, kondisi semacam ini akan mengakibatkan perubahan sosial: pembagian kerja dalam produksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang mulai berkembang, dan keperluan produksi pun juga meningkat, sehingga dibutuhkan kaum pekerja dalam rangka produksi. Di sinilah mulai tercipta hubungan produksi dalam masyarakat komunal itu.

Kedua, masyarakat perbudakan (slavery). Dalam masyarakat ini, hubungan tercipta berkat hubungan produksi antara pemilik alat produksi dengan tenaga kerja. Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, upah budak/pekerja di bawah standar, dan pada saat yang sama pemilik alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Tapi akhirnya, budak sadar akan kedudukannya (manfaat tenaganya). Timbul ketidakpuasan yang kemudian menyulut perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.

Ketiga, masyarakat feodal. Perkembangan di tingkat ini bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilikan alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat—puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis—yaitu kelas feodal yang menguasai hubungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud.

Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feodal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor/bidang usahanya lewat pendirian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksinya yang semakin bertambah. Fenomena baru ini tidak dapat dibendung kehadirannya dan mendorong terbentuknya sistem kapitalis, yang menghendaki terhapusnya feodalisme.

Keempat, masyarakat kapitalis. Hubungan produksi dalam sistem masyarakat ini didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan kaum buruh, yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya. Fenomena baru dalam sistem kapitalis ini adalah adanya pembaharuan pabrik-pabrik, mesin-mesin dimodernisasi dengan menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran hasil produksi semakin ketat, sementara upah dan kesejahteraan yang didambakan kaum buruh tidak kunjung datang.

Pada tingkat perkembangan masyarakat ini, terdapat dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan: kelas bawah/proletar yang terdiri dari kaum buruh/pekerja dan kelas borjuis yang terdiri dari para majikan atau pemilik alat-alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak hingga akhirnya lahir pertentangan kelas.

Kelima, masyarakat sosialis. Tahap perkembangan ini merupakan formulasi akhir dari lima tahap perkembangan sejarah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberikan kebebasan bagi manusia dalam mencapai harkatnya yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Dengan lain kata, sebuah sistem yang menginginkan terhapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.

Setelah memahami sejarah perkembangan masyarakat, struktur masyarakat manakah yang membidani lahirnya keterasingan? Marx menunjuk masyarakat kapitalis. Sebab, keterbagian masyarakat ke dalam kelas atas dan bawah, majikan dan buruh, borjuis dan proletar, otomatis menunjuk masyarakat pada fungsinya dalam proses produksi. Kelas atas yang dihuni oleh para majikan memiliki alat-alat kerja: pabrik, mesin dan tanah. Kelas bawah yang dihuni oleh kaum buruh hanya memiliki tenaga yang dijual kepada kelas atas. Dengan demikian, hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan.

Bertolak dari analisa ini, kelas atas adalah kelas yang kuat dan kelas bawah adalah kelas yang lemah. Kelas atas dapat menetapkan syarat-syarat bagi mereka, bukan sebaliknya. Kelas bawah yang mati-matian mencari pekerjaan terpaksa menerima upah dan syarat-syarat kerja lain yang disodorkan oleh para kapitalis. Jadi, dalam sistem kalpitalis hubungan antara kelas atas dan kelas bawah adalah hubungan kekuasaan: yang berkuasa adalah kelas atas, para kapitalis, kaum borjuasi yang memiliki modal dan alat-alat produksi, sedang yang dikuasai adalah kelas bawah, kaum proletar atau para buruh. Dalam pola hubungan ini eksploitasi tidak dapat dihindarkan. Kelas atas bisa memanfaatkan pekerjaan kelas bawah untuk survive. Sementara kelas bawah diproyeksikan untuk mengerjakan apa yang menguntungkan kelas atas, bukan sebaliknya.

Sistem produksi kapitalis yang membidani lahirnya kelas atas dan kelas bawah, kini tidak hanya tercermin dalam bidang ekonomi tapi juga dalam bidang politik. Salah satu pokok teori Karl Marx yang mendasari asumsi ini adalah negara kelas: negara dikuasai—secara langsung atau tidak langsung—oleh kelas atas atau orang-orang yang menguasai bidang ekonomi.

Karena itu, menurut Marx, negara bukanlah seperti yang diimpikan Plato sebagai macro-antrophos, subyek besar yang bisa memayungi dan mengatur masyarakat tanpa pamrih, tapi tidak lebih sebagai perpanjangan tangan kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka. Negara bukanlah wasit yang netral yang melerai perselisihan yang timbul dalam masyarakat secara adil serta mengusahakan kesejahteraan umum. Sebagaimana ditulis Friedrich Engel, “Negara….. bertujuan untuk mempertahakan sayarat-syarat kehidupan dan kekuasaan kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai secara paksa”.
Dalam perspektif ini, maka negara adalah lawan masyarakat kecil. Karena itu, orang kecil tidak perlu mengharapkan keadilan atau bantuan yang sungguh-sungguh dari negara, karena negara justru wakil kelas-kelas yang menghisap tenaga orang kecil. Bahkan dalam meomen-momen tertentu, negara memungkinkan untuk memodifikasi kepentingan kelas atas seolah-seolah menjadi kepentingan umum. Selubung semacam ini disebut Marx sebagai ideologi.

Konsep “Ideologi” yang diintrodusir Marx menunjuk pada ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan, sedemikian rupa, sehingga orang menganggapnya sah terhadap sesuatu yang semestinya tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi.

Dalam beberapa karyanya, Marx memberikan contoh argumentasi kapitalisme yang khas ideologis. Misalnya, kapitalisme mengklaim sebagai sistem sosial-ekonomi pertama yang tidak mengenal privilese dan sangat menghormati kebebasan siapa pun yang mau berusaha untuk maju serta memberi imbalan atas setiap prestasi. Tapi kapitalisme mengabaikan kesamaan tidak mungkin terjadi. Apabila yang kuat dan yang lemah sama bebasnya, maka yang kuat selalu akan mendahului yang lemah. Begitu pula buruh, ia memang bebas untuk menerima atau tidak menerima pekerjaan yang ditawarkan, tetapi karena ia hanya dapat hidup apabila ia bekerja, ia terpaksa “dengan bebas” menerima pekerjaan dengan syarat-syarat yang ditetapkan sepihak oleh majikan.

Kritik ideologi Marx tidak hanya diproyeksikan untuk merobek selubung kapitalisme, tetapi dapat digunakan untuk menganalisis struktur kekuasaan dalam masyarakat, termsuk yang paling terkenal adalah kritik Marx terhadap agama. Menurutnya, agama adalah candu rakyat. Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan itu semu karena tidak mengubah situasi buruk si pecandu. Begitu juga agama, ia hanya dapat memberikan kepuasan semu tanpa mengubah situasi buruk orang kecil. Agama menjanjikan ganjaran di akhirat bagi orang yang tabah menerima “nasib” atau “salibnya”, sehingga rakyat kecil terbuai dan lupa untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Sebaliknya, mereka malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya, sutau sikap yang justru menguntungkan kelas-kelas yang menindas.

Pandangan-pandangan moral masyarakat, nilai-nilai budaya, filsafat dan seni juga ikut andil mensukseskan kepentingan kelas-kelas atas. Nilai kerukunan, misalnya, menguntungkan majikan karena atas nama nilai itu buruh dapat dilarang mogok: ia bersedia menerima kompromi, bukan memperjuangkan keadilan. Tuntutan moral agar kita bersikap ikhlas dan tidak mau menang sendiri, secara efektif juga dapat mematikan ambisi orang kecil untuk membebaskan diri dari ketertindasannya.

Mengapa agama, moralitas, nilai-nilai budaya dan sebagainya selalu dan dengan sendirinya menguntungkan kelas-kelas atas? Menurut Marx, “pikiran kelas penguasa sampai kapan pun sesak dengan hasrat untuk berkuasa. Di sini, selain sebagai kekuatan material masyarakat, kelas berkuasa juga berusaha menjadi kekuatan spiritual masyarakat”. Mengapa demikian? Karena hanya kelas-kelas yang “menguasai sarana-sarana produksi material yang sekaligus menguasai sarana-sarana produksi spiritual”. Hanya kelas-kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka. Kalaupun orang-orang kecil mempunyai pengertian sendiri (seperti masyarakat Jawa diwakili dalam wayang oleh para punakawan), pengertian itu tidak dapat disebarluaskan sehingga masyarakat yakin bahwa nilai-nilai orang-orang kraton lebih tinggi (dan para punakawan hanyalah abdi para ksatria). Pada umumnya nilai-nilai resmi masyarakat adalah nilai-nilai kelas-kelas atas.

Sampai di sini kita dapat memahami, bahwa kenyataan yang paling menentukan dalam sejarah perubahan dan perkembangan masyarakat adalah struktur kelas-kelas sosial. Kelas-kelas itu lahir dan terbentuk tidak dengan sendirinya, tapi merupakan usaha manusia untuk mengamankan dan mempertahankan hidupnya. Sehingga lahirlah kelas atas sebagai kelas penindas, dan kelas bawah sebagai kelas yang ditindas.

Untuk menghapus penindasan tersebut, menurut Marx, dibutuhkan hadirnya tatanan baru dalam masyarakat, yaitu sosialisme: sebuah sistem masyarakat yang meniscayakan adanya penghapusan hak milik pribadi. Marx percaya, hal ini pasti terjadi. Dalam banyak tulisannya Marx memperlihatkan, bahwa keruntuhan kapitalisme bukan sekedar ilusi, tetapi merupakan hukum sejarah obyektif. Pada titik ini, Marx mengklaim bahwa sosialismenya bersifat ilmiah. Klaim ini berangkat dari satu pengandaian bahwa sosialisme tersebut didasarkan pada pengetahuan tentang hukum-hukum obyektif perkembangan masyarakat. Pengetahuan itulah yang disebut “materialis sejarah”.
Dalam pandangan Marx, kapitalisme dengan segala kontradiksi internalnya yang akut, tidak akan dapat bertahan dan segera mengarah pada kehancurannya. Kontradiksi yang dimaksud Marx adalah kenyataan bahwa kapitalisme di satu pihak menciptakan proletariat sebagai sumber eksploitasi, tetapi di lain pihak proletariat sebagai ciptaan kapitalisme adalah kelas yang akan mengubur kapitalisme. Kesadaran rasa senasib dan sepenanggungan dalam kelas proletariat, makin lama makin mengkristal dan menjadi semangat juang yang kokoh dan tak terpatahkan. Mereka tidak akan membiarkan diri mati. Mereka akan memberontak dan melakukan revolusi sosialis, yang dapat membeaskan manusia dari keterasingan dan melahirkan struktur masyarakat tanpa kelas (clasless society), bukan revolusi seperti Revolusi Prancis yang hanya membebaskan manusia dari penghisapan feodal yang kemudian melahirkan struktur kekuasan baru yang mewujud dalam kekuasan kaum borjuasi.

Revolusi sosialis yang diluskikan Marx, pertama-tama dilakukan dalam ranah politis: proletariat merebut kekuasaan negara dan mendirikan “kediktatoran proletariat”. Artinya, proletariat menggunakan kekuasaan negara untuk memproteksi akses kaum kapitalis agar tidak memakai kekayaan dan fasilitas yang masih mereka kuasai serta untuk mencegah kemungkinan revolusi balasan dari sisa-sisa kaum kapitalis. Setelah itu hak milik atas tanah dan atas pabrik-pabrik serta alat-alat produksi lain dicabut dan dialihkan ke negara.

Apabila perbedaan kelas dalam masyarakat sudah hilang, dengan sendirinya kediktatoran proletariat juga hilang karena tidak ada kelas yang perlu diawasi dan ditindas lagi. Dengan demikian, proletariat akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas, negara sebagai “panitia untuk mengurus kepentingan borjusi” tidak mempunyai dasar lagi. Bukan berarti negara telah ‘dihapus’, tapi menjadi layu dan mati sendiri, kemudian lahirlah sosialisme dan komunisme; suatu keadaan masyarakat tanpa kelas pasca penghapusan hak milik pribadi atas alat-alat produksi.

D. Implikasi Pemikiran Marx
1. Terhadap Agama
Diakui atau tidak, filsafat Marx yang materialistis telah membawa dampak ateistik dalam perilaku masyarakat dunia. Dan Marx sendiri sejak awal kehadirannya dalam dunia filsafat mengaku sudah menjadi ateis. Dalam tesis doktornya di Universitas Jena sambil mengutip ucapan Promeatheus—dewa yang melakukan makar terhadap Zeus—bahwa ia tidak mau melepaskan sikap fasiknya dan tidak mau mengakui adanya Allah serta melakukan ibadah kepada ilah-ilah.

Dalam beberapa tulisannya, Marx mengkategorikan agama sebagai penunjang kepentingan kelas atas. Dari sinilah bermula segala kritik Marx, karena dilihatnya para pendeta dan pembesar gereja telah bersekutu dengan penguasa represif. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan penderitaan massa. Lembaga-lembaga agama dan pemimpin agama telah memainkan peranan di luar misi agama sebagai pengemban kasih dan pembela hak-hak kaum tertindas. Agama bukannya mendukung perubahan sosial yang akan membahagiakan lapisan mayoritas, tapi sebaliknya menjadi alat legitimasi yang menguntungkan segelintir elite. Pada tempat inilah—di luar pembahasan yang yang bersifat teologis—Marx menyebut agama dan penganjur agama sebagai pendukung status quo, dan dari sana Marx mengumandangkan bahwa “agama adalah candu masyarakat”.

2. Terhadap Komunisme
Masyarakat komunis merupakan tatanan masyarakat yang diramalkan Marx akan meruntuhkan tatanan masyarakat kapitalis. Meski prediksi itu tidak berbanding lurus dengan kenyataan, harus diakui bahwa komunisme saat ini telah menjelma sebagai salah satu ideologi dunia dengan pengikut separuh penduduk bumi. Ideologi ini menjelma sebagai universum symbolicum yang melegitimasi lahirnya Rusia, Cina dan yang lain. Mereka menyebut diri setia dengan beberapa tesis-tesis dasar Karl Marx, meski mereka juga tetap bertengkar memperebutkan kebenaran ideologi dan melontarkan tuduhan revisioner satu sama lain. Namun di tengah-tengah perkembangan dunia, kaum komunis tidak pernah melupakan cita-cita awalnya, yaitu merebut hegemoni dunia dalam rangka tercapainya masyarakat sosialis. Untuk maksud itu, tidak jarang revolusi diterjemahkan dengan mempersiapkan kekuatan militer dan senjata-senjata pemusnah peradaban. Semangat untuk mengeluarkan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan mengembalikannya pada posisi yang semestinya, kenyataannya justru sering berbalik menjadi pemicu lahirnya genocide dan pelanaggaran HAM.

3. Terhadap Perkemabangan Gerakan Buruh
Sampai saat ini, Marx adalah “tuhan” bagi gerakan politik kaum buruh. Pemikirannya yang tidak bermaksud sekedar memaparkan sebauah ajaran filosofis, tapi mengarah pada tindakan praksis, revolusi proletariat, telah menginisiasi lahirnya organisasi-organisasi kaum buruh.


4. Terhadap Filsafat Modern dan Kontemporer

Seperti telah banyak diurai, pemikiran Marx yang diacukan untuk tujuan praksis adalah untuk membunuh filsafat. Namun, tujuan tidak itu ternyata tidak dapat menemui kenyataan. Yang terjadi justru pemikirannya menjadi motor yang sangat menentukan dalam filsafat modern. Sartre adalah sosok yang dapat diambil sebagai contoh. Filosof abad 20 ini menggeluti filsafat eksistensialisme lebih dari separuh usianya. Di akhir hayatnya, ia mengakui keunggulan Filsafat KarlMarx: I consider Marxisme the one philosohy of our time wich we caonnot go beyond.

Filsafat modern atau bahkan kontermporer kembali dipenuhi oleh premis-premis yang pernah dilontarkan Marx. Ini bisa dilihat dengan munculnya usaha-usaha kreaatif dari filosof yang tergabung dalam Neo-Marxisme dan Sekolah Frankfurt, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas, dan Eric Fromm.
Di antara titik balik yang penting dari analisis Marx terhadap masyarakat kapitalis adalah tesis bahwa masayarakat Barat dewasa ini identik dengan masayarakat industri yang sakit karena menuju pada arah yang berdiemnsi tunggal (one dimension man), yaitu masyarakat yang represif dan totaliter. Pokok soal ini menjadi kritik Herbert Marcuse yang pisau analisisnya merupakan resonansi filosofis dari Karl Marx. []

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web