Teori Poskolonial kini menjadi teori yang seksis, khususnya bagi kajian akademis dunia Timur pada akhir abad ke-20. Teori Poskolonial sering juga disebut sebagai metode dekonstruktif terhadap model berpikir dualis, yang senantiasa memposisikan dua entitas secara biner, diametral atau vis a vis. Model berpikir dualis ini, sebenarnya sudah dikenal sejak masa Yunani. Plato memunculkan dualisme antara dunia idea versus dunia fisis/fenomenal, dualisme opini/doxa versus episteme, dualisme rasio versus empiris, dualisme tubuh versus jiwa, tuan versus budak. Pada abad pertengahan, dualisme antara “kepercayaan kita” versus “kepercayaan yang lain”, ilmu versus iman, menjadi konsep oposisional yang berkembang. Descartes melanjutkan dualisme rasio (res cogitans) dengan tubuh (res extensa).
Model berpikir oposisi biner di Abad Pertengahan, menurut Richard King berkembang lebih lengkap: publik versus privat, masyarakat versus individu, sains versus agama, agama institusional versus agama pribadi, sekular versus suci, rasional versus rasional/non rasional, laki-laki versus perempuan. Sejak Abad Pencerahan tampak representasi kebudayaan Barat sangat dominan dan mengagungkan kebudayaan “Apollonian”. Dominasi kebudayaan Barat ini terasa semakin dominan dalam teori ilmu sosial-budaya modern. Barat cenderung menahbiskan diri sebagai bangsa lebih rasional, beradab ketimbang Timur.
Model berpikir dualis yang mengendap dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur (orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah, self, pengamat, subyek dianggap memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur, yang notabene sebagai terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Dalam pandangan orang Barat modern, identitas mereka berbeda dengan identitas orang Timur, yang cenderung irasional, emosional, kekanak-kanakan, jahat dan berbagai istilah peyoratif yang lain.
B.Teori Poskolonial: Barat vs Timur
Lepas dari kontroversi pengertian poskolonial (pos = pasca atau kritik), di sini dapat dipahami bahwa Poskolonial merupakan satu ancangan teoritis untuk mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang merendahkan Timur (masyarakat jajahannya). Karena, meminjam pendapat Edward Said, pandangan dan teori-teori yang di hasilkan Barat tidaklah netral dan obyektif, tapi sengaja didesain melalui rekayasa sosial-budaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka. Dengan menggunakan pemikiran Derrida, Foucault, Gramsci dan Teori Kritis, Edward Said membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis.
Menurut Said, kritik terhadap modernisme dan munculnya pemikiran tentang “the other” (yang lain) di Eropa berasal dari wilayah jajahan (seperti dalam karya Eliot, Conrad, Mann, Proust, Woolf, Lawrence, dan Joyce). Karena itu, konsep Orient (Timur) dan Occident (Barat) merupakan istilah penting dalam teori poskolonial. Wacana Barat-Timur, menurut Hasan Hanafi bukanlah suatu yang baru, karena hubungan Timur dengan Barat sudah terjadi pada masa Islam selama lebih empat belas abad yang lalu. Bahkan bisa ditelusuri lagi sampai masa Yunani dengan dunia Timur, seperti Mesir.
Memang, menurut Hassan Hanafi, istilah Timur (orient) dan ketimuran (orientalism) memiliki pengertian yang berbeda. Pertama, istilah ‘orientalisme’ sebagai studi wilayah, yaitu studi tentang bahasa, sastra, antropologi, dan sosiologi mengenai dunia Timur. Saat kolonialisme tumbuh subur, dunia Timur umumnya berada pada posisi negara yang dijajah, sedangkan negara seperti Inggris, Belanda, Peancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain adalah negara penjajah. Karena itu hampir semua teks-tks sosial-budaya dan agama mengenai dunia Timur yang dihasilkan ilmuwan pada waktu itu disebut kajian ketimuran atau Oriental(is). Kedua, mengacu pada model atau gaya berpikir. Yaitu gaya berpikir orang Barat dengan gaya berpikir dunia Timur yang berbeda secara ontologis dan epistemologis.
Perbedaan cara berpikir antara Timur dan Barat dapat ditemukan bukan saja pada masa kolonialisme, tapi sampai sekarang. Misalnya Tulsi B. Saral mengemukakan beberapa kelemahan komunikasi antar budaya yang bersifat analitik-reduksionis dan kuantitafif antara lain:
1)Budaya Barat terlalu banyak indra visual dan auditif: ada kemungkinan perbedaan dalam mengindra stimulasi yang sama dari bangsa yang berbeda;
2)Fokusnya hampir terbatas pada penelitian yang obyektif-empiris, sehingga menghilangkan cara berpikir mitis.
3)Terlalu bertumpu pada kebenaran obyektif (objective truth), pandangan dunia yang tunggal serta tidak memahami asumsi-asums paradigma yang digunakan.
4)Pandangan dualistik: memilah secara tegas antara tubuh-jiwa, individu-lingkungan, kesadaran individu-kesadaran kosmis.
5)Kebanyakan penelitian (studi) didasarkan pada model linier yang mekanistik. Model ini dianggap tidak tepat untuk menjelaskan dan memahami komunikasi antar budaya yang holistik.
C.Teori Poskolonial Edward Said
Istilah orientalisme menurut Edward said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda:
1.Memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan epistemology dan ontology tertentu yang secara tegas membedakan antara timur dengan barat. Timur sebagai diskursus yang dihasilkan oleh bentuk tertentu kekuasaan dan pengetahuan kolonial.
2.Orientalisme dapat pula dipahami sebagai gelar akademis untuk mengambarkan serangkaian lembaga, disiplin dan kegiatan yang umumnya terdapat pada universitas barat yang peduli dengan kajian dan masyarakat kebudayaan timur.
3.Orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur.
Definisi-definisi di atas dihasilkan dari ketajaman analisis Edward Said dalam menyingkap selubung ideologis orientalisme yang tumpang tindih. Oreintalisme, menurutnya, telah menciptakan sejarah pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika. Orientalisme juga menciptakan streotipe dan ideologi tentang the Orient yang diidentikan dengan the Other, dari the Occident (Self). Dengan demikian, Timur dan Barat merupakan hasil konstruksi (representasi) ide atau gagasan berkaitan dengan realitas sosial budaya. Imaji Barat tentang Timur, kuasa dan pengetahuan saling kait-mengait studi kaum Orientalis.
Narsisme dan Kekerasan Epistemologi Barat
‘Narsisme’ adalah istilah yang dipinjam dari Sigmund Frued. Namun, Narsisme di sini ditekankan pada epistemologi/pengetahuan Barat yang mengagumi cara berpikirnya sendiri dan mengesampingkan cara berpikir lain (Timur) yang dianggap tidak selaras dan sehaluan. Meminjam istilah Gayatri C. Spivak, epsitemologi Barat memposisikan dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other).
Dapat diduga, buntut dari narsisme ini, menurut Spivak akan berujung pada epistemic violence (kekerasan epistemik) yang akan memposisikan yang lain sebagai subaltern. Hal ini pada dasarnya disebabkan oleh dua hal, pertama, mengakarya asumsi logosentrisme tentang logosentrisme tentang solidaritas kultural diantara masyarakat yang heterogen. Kedua, ketergantungan terhadap intelektual dan cara berfikir barat, sehingga ketika mereka bicar lebih menunjukkan suara/kepentingan barat dari suara kepentingan mereka sendiri.
Untuk mengatasinya, menurut Spivak tentu membutuhkan transformasi epistemologis dengan mematahkan imperalisme pemikiran yang akan membentuk pola mentalitas anak didik dengan menolak gagasan hegemonis tersebut.cara penolakannya adalah dengan menunda persetujuan melalui pembacaan kritis dengan intelektualitas dan dengan membenturkan teks yang satu dengan teks yang lain, sehingga pembca terhindar dari retakan-retakan epistemik dan jebakan imperialisme pemikiran. []