Kepentingan dan Konstruksi Metodologi Sains: Sebuah Tatapan Teori Kritis

A.Pendahuluan
Teori Kritis merupakan salah satu pemikiran yang sangat berpengaruh di abad ke-20, di samping Fenomenologi dan Filsafat Analitis. Aliran pemikiran ini lahir sebagai reaksi atas Positivisme Logis Lingkaran Wina (Wiener Kreis) yang begitu perkasa sampai sekitar tahun 1960-an. Teori Kritis mendapatkan inspirasinya dari kritik ideologi Marx yang dikembangannya saat masih muda. Karena itu, Teori Kritis juga sering disebut sebagai generasi kedua Marxisme Kritis setelah Marxisme Kritis pertama yang dipelopori Georg Lukacs dan Karl Korch lumpuh akibat represi ‘Stalinisasi’ pasca runtuhnya Tsarisme Russia pada 1917.

Tokoh kunci Teori Kritis adalah sekelompok sarjana yang berkerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Sehingga tak jarang Teori Kritis juga disebut Mazhab Frankfurt. Di antara tokoh institut yang menonjol adalah Frederich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama Institut), Max Horkheimer (Filsuf, Sosiolog, Psikolog dan direktur sejak 1930), Karl Waittfol (sejarawan), Theodor Wiesendrund Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), Leo Lowenthal (Sosiolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (filsuf), Franz Neumann (ahli hukum), Erich Fromm (psikolog sosial), Otto Kircheimer (ahli politik), Henryk Grossman (ahli ekonomi dan politik), Arkadji Gurland (ahli ekonmi dan sosiolog).




B.Latar Historis Pemikiran Mazhab Frankfurt
Sebagai generasi kedua Marxisme Kritis, Teori Kritis berupaya menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl Marx yang telah dibekukan dan menjadi alat ideologis Partai Komunis Uni Soviet. Pemikiran-pemikiran kritis Teori Kritis dikembangkan dari gagasan-gagasan Lukacs yang mengaitkan rasionalitas Weber dan konsep fetitisme komoditi Marx. Sebagai hasil dari kedua sistesis itu, Lukacs mengembangkan konsep reifikasi, yaitu pandangannya tentang adanya gejala hubungan antara manusia yang nampak sebagai hubungan antara benda-benda. Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran Teori Krtis mengenai rasio instrumental, kritik atas masyarakat modern dan rasionalitasnya. Sedangkan dari Karl Korsch, Teori Kritis mendapat inspirasi dari tentang ‘teori dengan maksud praktis’ sebagai kritik atas ilmu-ilmu borjuis. Hal itu akan nampak dalam kritik Horkheimer atas metodologi modern dengan memposisikan Teori Kritis dan Teori Tradisional secara biner.

Selain dua tokoh Marxisme Kritis, pemikiran Terori Kritis juga dibentot arus besar pemikiran filsafat Jerman, seperti Kantian dan Hegelian, Marxian dan Fruedian. Di sinilah Teori Kritis juga memperoleh pijakan epistemnya. Dengan epistem itulah, mereka menggugat saintisme dan positivisme sebagai ideologi ilmu pengetahuan modern serta berusaha menunjukkan bagaimana saintisme dan positivisme mengendap dalam ilmu pengetahuan modern dan menghasilkan masyarakat irrasional dan ideologis.

C.Pemikiran Generasi Pertama Mazhab Frankfurt

1.Kritik terhadap Positivisme
Untuk memahami Teori Kritis Mazhab Frankfurt, pertama-tama harus bertolak pada manifesto yang ditulis oleh Horkheimer dalam Zeitschrift pada tahun 1957. Dalam manifesto itu, Teori Kritis memperoleh pendasaran teoritisnya untuk menyobek selubung ideologi Teori Tradisional: teori-teori yang disinterested, saintisme atau positivistik.

Suksesnya metode empiris-analitis yang dianut ilmu-ilmu alam dalam menjelaskan fakta, merangsang lahirnya cita-cita Teori Tradisional untuk menciptakan suatu sistem ilmiah yang menyeluruh yang meliputi segala bidang keahlian, yang oleh para para pendukung teori ini, seperti para filsuf Lingkungan Wina, disebut dengan istilah unfied sciense (Einheitswissenschaft).

Teori Tradisional ini bekerja dengan cara dedukatif dan induktif. Dengan kedua metode itu, Teori Tradisional menjadi apa yang disebut Husserl ‘sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan’. Dengan menjadi ‘sistem tertutup’ ilmu-ilmu alam tidak hanya sukses menjelaskan fakta tetapi juga sukses memanipulasi obyek-obyek melalui teknologi sebagai terapan teori-teori. Sukses teori-teori ilmu-ilmu alam dalam memprediksi, memanipulasi atau mendayagunakan gejala-gejala alamiah mendorong para pemikir tentang gejala-gejala sosial kemanusiaan untuk menerapkan metode deduktif-induktif itu pada ilmu-ilmu sosial budaya dan ilmiah yang dilakukan oleh positivisme.

Selubung ‘ideologis’ yang membeku dalam Teori Tradisional, menurut Horkheimer dapat disingkap melalui tiga pengandaian dasar Teori Tradisional. Pertama, Teori Tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak ahistoris dan karenanya teori-teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial. Dengan cara ini, Teori Tradisional mengklaim dirinya mandiri terlepas dari konteks kegiatan masyarakat sehari-hari dan bebas dari kepentingan (disintersted). Pengandaian ini menekankan bahwa kegiatan berteori harus dilakukan dengan cara memisahkan atau menyingkirkan unsur-unsur subyektif dari teori-teori. Masyarakat sebagai obyek yang ingin diterangkan dalam teori harus dipandang sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif. Kedua, fakta atau obyek yang ingin diketahui harus bersifat netral. Pengandaian kedua ini tidak lain merupakan konsekuensi ahistoris sebuah teori atau pengetahuan, seperti disebut pertama. Di sini, pengandaian ketiga mendapat titik tolaknya. Teori Tradisional berasusmi bahwa teori terpisah dari praxis, termasuk tindakan-tindakan etis dan kepentingan.

Pengandaian-pengandaian Teori Tradisional tersebut jika diterapkan pada kenyataan sosial kemasyarakatan, menurut Horkheimer akan menjadi sangat ideologis dan melestarikan status quo dan penindasan dalam masyarakat. Horkheimer, Adorno, dan para pendiri Teori Kritis yang lain, menunjukkan bahwa irrasionalitas dan sifat ideologis kehidupan masyarakat modern berakar pada pemikiran-pemikiran yang dilatarbelakangi penerapan Teori Tradisional pada kehidupan sosial, politis dan budaya. Sifat ideologis itu tampak dalam tiga gejala. Pertama, dengan anggapan bahwa teori itu ahistoris, Teori Tradisional telah mengklaim dirinya universal. Klaim ini merupakan penipuan ideologis karena menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah memotret salah satu dari sekian proses kehidupan konkreat di dalam masyarakat.

Karena itu, teori tak mungkin dapat melampaui ruang dan waktu. Kedua, dengan anggapan bahwa teori itu bersifat netral, Teori Tradisional berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi obyeknya dan membenarkan keadaan tanpa mempertanyakannya. Dengan cara ini Teori Tradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan kenyataan itu. Ketiga, dengan memisahkan diri dari praxis Teori Tradisional mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memikirkan implikasi paraktis dari teori itu. Dengan jalan ini pula, Teori Tradisional tidak bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat.

Menyikapi selubung ideologis yang mengendap dalam Teori Tradisional, Horkheimer mengancang satu bangunan episteme (teori pengetahuan) yang disebut dengan Teori Kritis, yang berdiri secara biner dan diametral dengan Teori Tradisional. Ini bisa dipahami dari empat karakter Teori Kritis. Pertama, Teori Kritis bersifat historis. Artinya, Teori Kritis dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat. Kedua, Teori Kritis tidak netral dan karenanya bersifat ideologis. Jika Teori Tradisional menggantungkan kesahihannya pada verifikasi empiris, Teori Kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi. Ketiga, Teori Kritis bermaksud menelanjangi kedok-kedok ideologis yang dipakai untuk menutup-nutupi manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi-kontradiksi di dalam masyarakat. Keempat, Teori Kritis tidak memisahkan dirinya dari praksis. Teori Kritis dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat pada praksis sejarah tertentu. Pada titik ini, Teori Kritis diharapkan menjadi sebuah teori yang emansipatoris.

2.Positivisme Sebagai Titik Tolak Krisis Masyarakat ModernTeori Kritis juga melihat bahwa Teori Tradisional sebagai rancang bangun pengetahuan modern telah menjadi penyebab kebobrokan masyarakat modern. Asumsi ini berangkat dari, pertama, penelusuran Mazhab Kritis terhadap akar-akar munculnya cara berpikir positivistis masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi di dalam masyarakat Barat. Kedua, menunjukkan bahwa cara berpikir posivistis yang telah mewujudkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku sebagai ideologi yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern itu sendiri. Cara pertama terdapat di dalam Dialektik der Aufklarung, karya patungan Adorno dan Horkheimer. Cara kedua terdapat dalam buku Marcuse yang termasyhur, One Dimensional Man. Melalui dua cara itu mereka mengkritik bukan hanya masyarakat modern sebagai struktur yang menindas, melainkan cara berpikir posivistis yang menjadi ideologis dan mitos.
Adorno dan Horkheimer melihat cara berpikir saintisis yang menguasai masyarakat Barat telah menjebak peradaban Barat dalam proses pembusukan dan keruntuhannya sendiri. Peradaban yang dirintis sejak masa Yunani purba itu kini menghasilkan Perang Dunia II, fasisme, Stalinisme dan cara hidup konsumeristis. Fenomen-fenomen itu, dilatarbelakangi penerapan cara berpikir positivistis melalui teknologi dan ilmu pengetahuan pada masyarakat untuk mengontrolnya seperti alam. “Umat manusia, bukannya memasuki kondisi manusiawi yang sejati, tenggelam ke dalam barbarisme baru”.
‘Pencerahan budi’ sebagai cita-cita modernitas, yang sering dikenal sebagai abad Aufklarung, yang meliputi abad ke-18, menurut Adorno dan Horkheimer telah mendangkalkan obsesi manusia yang hanya berorientasi untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Seluruh rencana ‘pencerahan budi’ yang mewujud dalam proyek demitologisasi dan rasionalisasi itu tak lain meruapakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah ditaklukan. Dikatakan demikian, karena rasionalitas hasil pencerahan tersebut tidak berhasil memperoleh kemajuan apa-apa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjelma dalam industri telah memproduksi barang konsumsi secara berlimpah sehingga idam-idaman manusia untuk menciptakan welfare state telah terwujud, dan dengan jalan itu manusia dapat merealisasikan kebahagiaan dan kebebasannya. Tetapi, menurut Marcuse, kebahagiaan dan kebebasan itu tidak jadi terwujud karena ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi itu bukannya mengabdi pada manusia, melainkan justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia yang gandrung dengan ilmu dan teknologi tanpa disadarinya ditelan oleh kekuasaan ilmu dan teknologi sebagai sistem total yang merangkum berbagai bidang kehidupan manusia.

Memang, menurut Marcuse, masyarakat dewasa ini tidak lagi ditindas oleh manusia lain seperti yang terjadi di dalam zaman Marx. Tapi di zaman ini manusia ditindas oleh sesuatu yang anonim, yaitu ‘sistem teknologi’ yang menyeluruh dan mencengkeram keseluruhan proses alamiah sosial manusia. Segala hal dipandang rasional sejauh dapat diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan atau diperhitungkan secara matematis dan ekonomis. Dengan demikian, Marcuse telah menunjukkan rasio manusia telah menjadi sangat teknologis: ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah merampas kebebasan manusia sampai ke akar-akarnya.

D.Habermas: Pemikiran Generasi Kedua Mazhab FrankfurtJurgen Habrmas lahir di Dusseldorf pada tahun 1929 dan dibesarkan di Gummersbach. Ia belajar di Universitas di kota Gottingen dengan mempelajari kesusastraan Jerman, filsafat serta mengikuti kuliah-kuliah psikologi dan ekonomi. Kemudian ia meneruskan belajar filsafat di Universitas Bonn, dimana ia meraih doktor filsafat pada tahun 1954. Pada tahun 1956 ia bergabung dengan mazhab Frankfurt dan menjadi asisten Adorno antara tahun 1956-1959. Pada tahun 1964, ia menjabat sebagai professor filsafat di Universitas J. Von Goethe, Frankfurt. Antara tahun 1971-1981 ia menjabat sebagai direktur Institut Mack Planck. Kemudian menjadi profesor filsafat sampai sekarang di Universitas J. Von Goethe Frankfurt. Tahun 1982 ia kembali ke Frankfurt, dan tahun 1994 ia pensiun dan kemudian tinggal Starnberg.

1.Kepentingan Ilmu Pengetahuan
Sebagai tokoh terakhir dan barangkali terbesar dari Mazhab Frankfurt, Habermas mengikuti jejak Marx Horkheimer dan Theodor Adorno juga mengritik pandangan positivistis yang mengandaikan ilmu pengetahuan yang ahistoris, netral, dan bebas dari praksis. Habermas memperlihatkan bahwa manusia tidak memperoleh pengetahuan baru berdasarkan suatu hubungan netral terhadap kenyataan, tetapi bahwa dalam hal ini ia selalu dituntun oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini, Habermas membedakan tiga macam kepentingan: pertama, kepentingan teknis. Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan kepentingan teknis, seperti ilmu alam dan sosial-teknologis yang hanya dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis, tapi tidak berguna untuk melestarikan proses-proses komunikatif atau mengurangi ketidaksamaan kuasa.

Kedua, kepentingan praktis, seperti pengathuan tentang masa lampau yang dicari dalam ilmu sejarah dan pengertian yang diupayakan dalam ilmu-ilmu hermeneutis. Pengetahuan ini tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah-masalah teknis tetapi cocok untuk tujuan komunikatif: guna melestarikan tradisi dan memperdalam pengertian-diri terhadap suatu kebudayaan.

Ketiga, kepentingan emansipatoris, seperti pengetahuan psikoanalitis dan teori-teori kritis tentang masyarakat, yang berorientasi pada emansipasi atau pembebasan dari kekuasaan dan ketergantungan, dan karena itu hanya dapat dijalankan dalam konteks proses-proses yang bertujuan meningkatkan kesadaran emansipatoris.
Dengan demikian Habermas ingin menunjukkan bahwa pandangan ilmu pengetahuan positivistis dilatarbelakangi usaha memutlakkan kepentingan pengenalan teknis. Padahal, umat manusia masih mempunyai kepentingan-kepentingan fundamental yang lain daripada memperoleh pengetahuan teknis yang dapat diterapkan dalam proses-proses pekerjaan seperti dalam industri modern.


2.Kritik Terhadap Posmodernisme
Mengritik positivisme sebagai tulang punggung modernitas, tidak berarti harus meninggalkan modernitas yang penuh dengan anomali. Justru, anomali-anomali itulah yang harus diperiksa. Konsistensi itulah yang mengharuskan Habermas harus terlibat dalam polemik tentang Posmodernisme. Bagi Habermas, Posmodernisme harus dipahami sebagai kontinuitas dari modernitas yang terdistorsi dan mengalami erosi makna. Ini terjadi karena ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang disimpangkan oleh-oleh tendensi-tendensi historis tertentu. Untuk reduksi atau distorsi modernitas, Habermas menawarkan ‘rasio-komunikatif’ sebagai ganti ‘rasionalitas-tujuan’ yang telah membengkokkan cita-cita modernitas. Dengan rasio komunikatif, modernisasi akan menjamin integrasi kebudayaan, masyarakat dan sosialisasi. []

*) Tulisan ini mengacu pada dua buku utama, yaitu buku F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Buku Baik, 2003, dan buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006.

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web