Epistemologi Feminis

A.Pendahuluan
Sejak masa Yunani Kuno dan tradisi Yahudi-Kristen, telah berkembang streotipe bahwa laki-laki lebih aktif ketimbang perempuan, laki-laki lebih rasional dan perempuan emosional. Asumsi tersebut mendorong lahirnya pemikiran beberapa filsuf/ilmuwan yang memojokkan peran kaum perempuan. Salah satu asumsi yang cukup mengejutkan diaungkapkan oleh Bapak Rasionalisme Modern, Rene Descartes yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak rasional serta tidak kapasitas yang mumupuni untuk menggeluti bidang ilmu pengetahuan. Thomas Aquinas dalam Summa Theologia juga menyebutkan bahwa perempuan bukan makhluk yang diciptakan pertamakali dan karenanya tidak sempurna. Ketidaksempurnaan tidak boleh tidak perempuan harus mendekam dalam dunia privat. Lebih pesimistis lagi (untuk tidak mengatakan misoginis) juga diungkapkan Francis Bacon bahwa perempuan memiliki ciri/sifat yang buruk, menghalangi kesuksesan laki-laki serta tidak layak menduduki jabatan publik.

Perjalanan sejarah dan kebudayaan yang panjang yang telah menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, mendorong lahirnya pemberontakan yang menuntut emansipasi dan kesamaan hak dengan laki-laki. Gagasan ini merupakan pernyataan feminis paling awal di Inggris, yang pernah dilontarkan oleh Mary Wollstonecraft dalam bukunya A Vindication of the Rights of Women (1792). Gagasan ini pula menjadi salah satu entry-point yang mendorong lahirnya gerakan dengan ragam pemikiran dan aliran.

Menurut Rosemarie Tong, aliran-aliran feminis yang berkembang sejak pasca Renaisans dan Abad Pencerahan adalah: feminis marxis, feminis radikal, feminis psikoanalisis, feminis sosialis, feminis eksistensialis dan feminis pasca modernis. Sedangakan Sandra Harding mengelompokkan aliran feminis lebih bersifat epistemologis dengan mengunakan adanya tiga aliran yaitu; feminis empiris, feminis standpoint dan feminis posmodernis. Masing-masing aliran ini memberikan tekanan yang berbeda dalam hal subjek yang diperjuangkan.

B.Epistemologi Feminis
Bertolak dari kebedaan ragam dan aliran gerakan feminis, menunjukkan gerakan feminis sebagian besar dikonstruksi di atas kesadaran ilmiah. Studi-studi wanita yang lahir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menempatkan wanita sebagai pusat analisis. Tentu pertama-tama dengan mengkritisi kecenderungan ilmu pengetahuan yang menurut pandangan kaum feminis bersifat endrosentris/ phallosentris.

Kritik terhadap ilmu pengetahuan tradisional (positivisme) menjadi dasar untuk mengkontruksi teori-teori feminis berdasarkan pengalaman dan kepentingan kaum perempuan. Upaya untuk mengangkat perspektif wanita dalam bidang ilmiah juga merupakan pengakuan bahwa terdapat hubungan antara kuasa dan pengetahuan yang inheren dalam ilmu pengetahuan.

Dengan menyobek selubung ideologi-bias gender dalam pengetahuan modern, epistemologi dan riset feminis tak lain merupakan penyempurnaan dari Teori Kritis madzab Frankfurt dengan memasukkan konsep ilmu dan kepentingan atau ilmu dan ideologi dalam analisisnya mengenai masalah gender. Karena identitas gender tidak ditentukan secara biologis akan tetapi oleh produk dan konstruksi sosial. Hal ini sejalan dengan asumsi Geerit Huizer dan Bruce Mannheim (1979), bahwa pihak peneliti (biasanya laki-laki) selalu berada di atas objek yang diteliti dan ini harus di dekonstruksi dengan menggantikan pendekatan metodologi yang mengutamakan pandangan arus bawah. Dengan demikian, ilmuwan sosial secara sadar telah berpihak pada orang-orang yang bekerjasama dengan mereka dan berusaha melihat kenyataan dari cara pandang orang-orang yang ditelitinya.

Dengan mengancang bangunan epsiteme emansipatoris, yang peka terhadap hak-hak perempuan, tidak boleh tidak, yang harus dikuras lebih awal adalah ideologi ilmu pengetahuan modern (positivisme) yang berdimensi laki-laki. Ilmu pengetahuan modern yang secara metaforis dikemukan sebagai “ knowledge is power” menurut Harding, tidak lebih sebagai suatu bentuk pengetahuan laki-laki yang berdimensi penguasaan dan dominasi. Lalu, mungkinkah ilmu pengetahuan barat yang sangat borjuis dan endrosentris dapat digunakan untuk tujuan emansipatoris? Menurutnya, tentu tidak mungkin, karena itu harus dikonstruksi oleh epistemologi yang berspektif feminis.
Dalam mengembangkan teorinya, pendekatan feminis tidak menerima pendekatan positivis atau fungsionalis karena pertimbangan berikut:
1.Pendekatan positivis menekankan penemuan kebenaran universal dengan metode verifikasi.
2.Komitmenya pada objektivitas dan netralitas peneliti
3.Klasifikasinya yang dikotomis serta penekanannya pada prisip kausalitas.
4.Pandangan-pandangannya yang ahistoris.
5.Tidak melihat pemakaian bahasa sebagai media untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran, konsep-konsep dan teori-teori.
Epistemologi feminis justru mempertimbangkan faktor ras, etnis, sosial budaya dan historis dalam mengonstruksi epistemologinya. Janet Chavetz mengemukakan beberapa unsur yang terdapat dalam teori sosiologi feminis:
1.Masalah jenis kelamin sentral dalam semua teori
2.Hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai masalah
3.Hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai alamiah dan kekal
4.Kreteria teori sosiologi feminis dapat digunakan untuk menentang, meniadakan atau mengubah status quo yang merugikan atau merendahkan derajat perempuan.
C.Metodologi Feminis

Secara substansial, epistemologi feminis memberikan pendasaran pada satu bentuk metodologi yang mampu merekam situasi mental dan kondisi sosial yang disebabkan oleh ketertindasan dan ketidakadilan sistem sosial. Tentu untuk memenuhi maksud ini, Liz Stanley dalam Feminist Praxis, Research, Theory and Epistemology in Feminist Sociology (1992), memberikan tekanan dalam riset mengenai feminisme kepada empat aspek pokok, pertama, perlunya perubahan perspektif dari pria ke sudut pandang perempuan, kedua, dibutuhkan pergeseran dari metode ilmu-ilmu pengetahuan ke alaman (hard science) ke metode ilmu-ilmu pengetahuan sosial-budaya (soft science), ketiga, dialog feminis dan wacana persahabatan, yakni dialog yang bersahabat untuk membangkitkan nilai-nilai dan pengalaman feminis serta penelitian yang bersudut pandang bersahabat, bukan missogini, keempat, epistemologi yang mempertimbangkan aspek lokal, sosial, dan kedudukan perempuan.

Dengan memperhatikan beberapa askpek itu, peneliti lebih komunikatif, dan partisipatoris. Konsekuensi metodologi feminis ini mengandaikan, peniliti/partisipan memiliki kebebasan dalam mengarahkan proses collect data sebagai bahan dasar untuk mengancang sebuah perubahan sosial/emansipasi. Dalam hal ini, metodologi feminis secara umum identik dengan asumsi postmodernis yang mengahargai suatu kelompok yang lain (perbedaan), suara kaum perempuan pinggiran, suara perempuan local, etnis ras yang selama ini diabaikan. []

*)Tulisan ini sebagian besar didasarkan pada buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Tahun 2006.

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web