Cultural Studies dan Multikulturalisme

A.Pendahuluan
Cultural Studies dan multikulturalisme adalah kajian sosial-budaya yang didasarkan pada epistemologi teori kritis, pos strukturalisme dan posmodernisme. Kajian Cultural Studies dan multikulturalisme berkaitan dengan perkembangan budaya kontemporer seperti yang dikembangkan oleh Robert Nozik, Taylor, Richard Rorty, Michael Sandel, John Rowls. Mereka merumuskan bahwa aliran/gerakan kiri dan kanan: kiri adalah gerakan yang percaya dan mengutamakan persamaan karena mendukung sosialisme, sementara kanan lebih menekankan kebebasan karena itu mendukung kapitalisme dan pasar, perpaduan keduanya menghasilkan gerakan liberal.

Dalam perkembangannya pluralitas nilai-nilai di atas menimbulkan masalah dalam bidang sosial politik yang tidak terselesaikan oleh filsafat politik yang monolitik, karena setiap nilai mengangap dirinya lebih tinggi. Namun dalam masyarakat plural dan multikultural kepentingan bersama harus menjadi pertimbangan penting ditengah perbedan dan kemajemukan.

Kelompok Birmingham memfokuskan perhatinya pada representasi gender, ideology kelas, ras, etnisitas dan nasionalitas dalam teks kebudayaan pendidikan, termasuk kebudayaan media. Begitu juga dengan Madzab Frankfurt memadukan persilangan budaya dengan ideology, kemudian melihat ideology dan hegemoni sebagai suatu hal yang penting dalam Cultural Studies. Ideologi disini oleh Gramsci dipahami sebagai ide, makna, praktek dan peta makna yang mendukung kelompok tertentu.

Di Inggris, cutural studies di samping memperhatikan sub-kultur dengan berbagai identitasnya, juga memperhatikan kultur kelas pekerja dan kultur generasi muda yang dianggap potensial melawan atau beroposisi terhadap bentuk hegemonik dominasi kapitalistis/neokapitalis, serta kajian tentang perilaku kelompok tertentu, seperti rocker, model gaya pakaian, rambut, musik dan ritual pesta mereka yang dianggap sebagai melawan simbolis terhadap kelompok yang dominan. Jadi, fokus Cultural Studies berkembang begitu luas dengan berupaya membongkar politik, ideologi yang ada serta kontruksi sosial ilmu pengetahuan. Ideologi disini oleh Althusser adalah kerangka konseptual yang melaluinya, kita menafsirkan dan memahami kondisi material kehidupan kita. Dengan kata lain, ideologi memproduksi budaya serta kesadaran kita tentang siapa dan apa diri kita.

Bagi Cultural Studies, teori kritis dan posmodernisme, pengetahuan bukan fenomena yang steril terhadap nilai, kepentingan, dan kuasa. Cultural Studies dapat diidentifikasi dengan karakteristik berikut:
1.Cultral studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek buadaya serta kaitannya dengan kekuasaan.
2.Cultral studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik akan tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik.
3.Cultral studies dikaji baik dari aspek objek maupun lokasi tindakan selalu dalam tradisi kritis.
4.Cultral studies berupaya mendekontruksi aturan-aturan, dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional lalu mendamaikan pengetahuan yang objektif-subjektif, universal-lokal.
5.Cultral studies tidak harus steril dari nilai-nilai akan tetapi melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta tindakan politik dan kontruksi sosial.

Perhatian Cultural Studies mengenai budaya popular berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.Narasi Cultural Studies berupaya untuk mengekplorasi bagaimana dan mengapa bentuk-bentuk budaya tertentu berkembang dan diterima dalam hubungan sosial kontemporer.
2.Narasi Cultural Studies berusaha mengekplorasi bagaimana hegemoni kelompok dominan, posisi dan fungsinya dalam dunia produksi berkembang dan bergerak
3.Asumsi betapa perlunya untuk menyikapi bagaimana hubungan hegemoni yang baru bisa dipraketkan dimasa yang akan datang.
4.Konsekwensi ketiga poin diatas bahawa Cultural Studies memberikan perhatian pada politik praktis yang seringkali mengambil tindakan yang simpati dalam mengidentifikasi resistensi terhadap hubungan dominasi dan kepemimpinan.


B.Cultural Studies, Multikuturalisme dan Posmodernisme
Cultural Studies bertolak pada hiterogenitas budaya yang membentuk identitas satu kebudayaan. Sedangkan multikulturalisme adalah gagasan yang berupaya untuk memahami hakekat kompleksistas kebudayaan serta saling berkaitan satu kultur dengan budaya lain yang menjadi unsur-unsur terwujudnya kebudayaan multicultural. Bertolak pada andaian ini, Cultural Studies dan kajian multikulturalisme berkaitan erat dengan pandangan atau keyakinan yang mengakui adanya banyak kultur yang memungkinkan suara-suara dan tuntutan yang berbeda satu dengan yang lain hidup secara berdampingan, di mana masing-masing kultur saling berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain secara intens. Begitu juga teori posmodernisme dan feminis mendukung gagasan di atas melalui persepektif polivokal dan mengabaikan perspektif ilmiah yang monovokal, seperti paradigma yang dominan dalam peradaban Barat.

Cultural Studies dan Multikulturalisme senantiasa beralas-dasar pada epistemologi postmodern. Bukti keterkaitan itu dapat dilihat pada karakteristik teori multikulturalisme yang dicirikan oleh Mary Rogers dalam paragraf berikut:
1.Penolakan terhadap nilai universalistik yang cenderung mendukung pihak yang kuat, sementara Cultural Studies teori multikulturalisme berupaya memberdayakan pihak yang lemah.
2.Teori multikulturalisme bersifat inklusif.
3.Teori multikulturalisme menerima ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai
4.Teori multikulturalisme berupaya mengubah dunia social akan tetapi juga pencerahan intelektual
5.Tidak membuat garis tegas dan jelas anatar teori dengan tipe narasi lainnya.
6.Bersikap kritis terhadap diri dan teori-teori lainnya.
7.Teoritisasi multikultural mengakui keterbatasan teori dan pandangan yang disebabkan faktor sejarah dan konteks sosial buadaya.

C.Metodologi Cultural Studies dan Multikuturalisme
Paradigma Cultural Studies dan kajian multikultural yang diangkat dari epistema posmodern tentu harus mempertimbangkan aspek politik, budaya dan kekuasaan. Pendekatan yang mempertimbangkan aspek-aspek tersebut diintrodusir oleh McGuigan yang disebut dengan metode ‘multiperspektif’. Pendekatan ini meneliti bagaimana hubungan antara ekonomi politik, representasi, teks dan audien bersama dalam keterlibatannya dengan kebijakan budaya.

Kellner merekomendasikan untuk memasukkan unsur ekonomi politik pada Cultural Studies dengan mengaitkan faktor ekonomi. Dengan demikian, maka kajian Cultural Studies dan kajian multikultural mengandung aspek berikut:
1.Dapat menunjukkan bagaimana produksi budaya berlangsung di dalam relasi historis, politik dan ekonomi yang secara khusus menstrukturkan makna tekstual.
2.Menunjukkan bagaimana masyarakat kapitalis diorganisir menurut cara produksi dominan yang terpusat komoditi dan upaya mengejar keuntungan.
3.Memperhatikan fakta bahwa budaya diproduksi di dalam faktor dominan dan subordinasi.
4.Membukan batas-batas dan cakupan diskursus dan teks ideologis dan politis yang mungkin terjadi pada alur historis tertentu.

Selain pendekatan yang ditawarkan McGuigan dan Kellner, pendekatan Konstruktivistis juga bisa menjadi alternatif. Pendekatan ini diintrodusir oleh beberapa golongan posstrukturalis dan posmodernis yang berasumsi bahwa teori bukan represesntasi akurat tentang realitas sosial-budaya. Karena kebenaran, makna, dikonstruksi oleh para aktor yang diakumulasi melalui observasi terlibat (parsipatoris), wawancara, diskusi, studi kasus, analisis tekstual. Sebuah kajian yang memberi tekanan khusus pada makana budaya, pencarahan dan emansipatoris, maka metode-metode kualitatif (etnografi, hermeneutika, semiotika, teori narasi, dekonstruksi, interaksi simbol) lebih tepat untuk kajian ini. []

*) Tulisan ini sebagian besar didasarkan pada buku Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epsitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme dan Cultural Studies, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, Tahun 2006.

0 komentar:

Design of Open Media | To Blogger by Blog and Web